
Mohamed Hamdan Dagolo, yang lebih dikenal dengan panggilan Hemedti, telah muncul sebagai sosok sentral dan dominan dalam pusaran politik Sudan. Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di bawah kepemimpinannya kini mengklaim kendali atas separuh wilayah negara yang terus bergejolak dalam konflik Sudan.
Dalam beberapa pekan terakhir, RSF berhasil merebut sebagian besar kota el-Fasher, sebuah pencapaian signifikan yang menempatkan kota itu di bawah kontrol mereka. El-Fasher merupakan benteng terakhir yang dipertahankan oleh militer Sudan dan para sekutunya di wilayah Darfur bagian barat. Tragisnya, warga el-Fasher kini menghadapi krisis kelaparan parah, buah dari pengepungan RSF selama 18 bulan terakhir, sebuah fakta yang telah dikonfirmasi oleh para pakar ketahanan pangan yang diakui PBB pada Senin (03/11).
Sosok Hemedti memancarkan aura yang kompleks, di mana ia secara bersamaan dihormati dan dibenci oleh lawan-lawannya. Namun, di mata para pengikutnya, ia justru dipuja “karena keteguhan, kekejaman, dan janjinya untuk menghancurkan Sudan“, sebuah gambaran yang menegaskan betapa kontroversialnya ia.
Hemedti lahir dari latar belakang yang sederhana, tumbuh dalam komunitas suku Mahariya, bagian dari kelompok Rizeigat. Anggota komunitas ini secara tradisional dikenal sebagai penggembala unta, mengembara di antara wilayah Chad dan Darfur untuk mencari nafkah.
Kelahiran Hemedti diperkirakan terjadi sekitar tahun 1974 atau 1975. Sama seperti banyak penduduk di daerah pedesaan di kawasan tersebut, tanggal dan lokasi kelahirannya tidak tercatat secara resmi. Bersama pamannya, Juma Dagolo, komunitasnya melakukan migrasi besar-besaran ke Darfur selama dekade 1970-an dan 1980-an. Perpindahan ini didorong oleh upaya melarikan diri dari konflik bersenjata serta pencarian padang rumput yang lebih subur dan tempat tinggal yang stabil.

Di usia remaja, Hemedti memutuskan putus sekolah dan mulai mencari nafkah sebagai pedagang unta, menjelajahi gurun hingga ke Libya dan Mesir. Pada masa itu, Darfur adalah wilayah Sudan yang dilanda kemiskinan, jauh dari jangkauan hukum, dan terasa terabaikan oleh pemerintahan Presiden Omar al-Bashir.
Pada periode tersebut, milisi Arab yang dikenal sebagai Janjaweed mulai beraksi, termasuk pasukan di bawah pimpinan paman Hemedti, Juma Dagolo, yang terkenal menyerang desa-desa suku Fur. Siklus konflik bersenjata dan kekerasan yang berkelanjutan ini memuncak menjadi pemberontakan besar-besaran pada tahun 2003. Pasukan yang dipimpin suku Fur lantas bersatu dengan kelompok Masalit, Zaghawa, dan berbagai faksi lainnya, didorong oleh perasaan terpinggirkan oleh elite Arab di Sudan.
Menanggapi pemberontakan tersebut, Presiden Bashir secara besar-besaran memperluas kekuatan Janjaweed untuk memimpin operasi kontra-pemberontakan. Milisi ini dengan cepat dikenal “karena membakar, merampok, memperkosa, dan membunuh”, sebuah reputasi kejam yang tercatat dalam sejarah. Pasukan yang dipimpin oleh Hemedti sendiri merupakan salah satu bagian integral dari milisi Janjaweed yang terlibat dalam tindakan-tindakan tersebut.
Berdasarkan laporan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika, pada November 2004, pasukan Hemedti menyerang dan menghancurkan Desa Adwa, menewaskan 126 orang, termasuk 36 anak-anak. Pemerintah Amerika Serikat, melalui penyelidikannya, kemudian menyatakan bahwa Janjaweed bertanggung jawab atas kejahatan genosida. Konflik bersenjata di Darfur ini lantas dirujuk ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), di mana tuntutan diajukan terhadap empat individu, termasuk Bashir, meskipun ia bersikeras membantah tuduhan genosida tersebut.
Pada saat itu, Hemedti, sebagai salah satu dari banyak komandan milisi Janjaweed, dianggap terlalu junior untuk menjadi target jaksa penuntut ICC. Satu-satunya sosok yang dibawa ke pengadilan adalah Ali Abdel Rahman Kushayb, yang dijuluki “kolonel para kolonel”. Oktober lalu, Kushayb dinyatakan bersalah atas 27 dakwaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan vonis yang akan dijatuhkan pada 19 November mendatang.
Pasca puncak kekerasan tahun 2004, Hemedti menunjukkan kecerdikan yang luar biasa, dengan cepat meniti karier dari seorang komandan milisi menjadi pemimpin pasukan paramiliter yang kuat, mengendalikan berbagai korporasi, dan bertransformasi menjadi kekuatan politik yang berpengaruh. Kisahnya adalah cerminan sempurna dari oportunisme dan semangat kewirausahaan. Ia bahkan sempat memberontak, menuntut pembayaran gaji tertunda bagi pasukannya, promosi, serta posisi politik untuk saudaranya. Kabar menyebutkan bahwa Bashir memenuhi sebagian besar tuntutan tersebut, sehingga Hemedti kembali ke barisan pemerintah.
Ketika faksi lain dari milisi Janjaweed memberontak, Hemedti memilih untuk memimpin pasukan pemerintah. Ia berhasil mengalahkan milisi pemberontak tersebut, dan dalam prosesnya, mengambil alih tambang emas tradisional terbesar di Darfur, yang terletak di Jebel Amir. Setelah akuisisi ini, perusahaan milik keluarga Hemedti, Al-Gunaid, dengan cepat berkembang menjadi eksportir emas terbesar di Sudan.
Pada tahun 2013, Hemedti berhasil memperoleh status resmi sebagai kepala kelompok paramiliter baru, Rapid Support Forces (RSF), yang ditempatkan di bawah komando langsung Bashir. Milisi Janjaweed kemudian dilebur ke dalam RSF, mendapatkan seragam baru, kendaraan, serta persenjataan yang lebih modern. Untuk memperkuat kekuatan milisi ini, sejumlah perwira dari tentara reguler militer Sudan turut ditarik masuk.

RSF pernah mencatat kemenangan penting melawan pemberontak di Darfur, namun mereka menghadapi tantangan yang lebih besar dalam menumpas pemberontakan di Pegunungan Nuba, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Sudan Selatan. Selain itu, RSF juga dikontrak sebagai milisi pengaman perbatasan dengan Libya. Ironisnya, di bawah dalih menekan migrasi ilegal dari Afrika ke Mediterania, para komandan di bawah komando Hemedti justru terlibat dalam pemerasan dan praktik perdagangan manusia.
Pada tahun 2015, pemerintah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab meminta tentara Sudan untuk mengirim pasukan guna memerangi Houthi di Yaman. Pasukan ini dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, seorang veteran perang Darfur yang kini menjadi kepala angkatan bersenjata utama yang berhadapan dengan RSF. Melihat adanya peluang, Hemedti lantas bernegosiasi untuk sebuah kesepakatan terpisah dan rahasia dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, menawarkan pasukannya sebagai tentara bayaran. Hubungan dengan Uni Emirat Arab terbukti paling krusial bagi Hemedti, menandai awal dari kedekatan yang kuat dengan presiden negara tersebut, Mohamed bin Zayed.
Daya tarik upah tunai sekitar Rp100 juta saat mendaftar mendorong ribuan pemuda dari Sudan dan negara-negara tetangga berbondong-bondong membanjiri pusat-pusat perekrutan RSF, mencari peluang ekonomi di tengah konflik.
Hemedti juga membentuk kemitraan strategis dengan Grup Wagner dari Rusia. Sebagai imbalan atas pelatihan militer, RSF terlibat dalam berbagai transaksi komersial, termasuk perdagangan emas. Dalam kunjungan ke Moskow untuk meresmikan kesepakatan tersebut, Hemedti dilaporkan berada di kota itu saat Rusia melancarkan serangannya ke Ukraina. Namun, setelah pecahnya perang di Sudan, ia membantah tegas bahwa RSF menerima bantuan dari Wagner.
Meskipun unit tempur inti RSF telah mencapai tingkat profesionalisme yang tinggi, organisasi ini juga menaungi koalisi longgar dari milisi etnis tradisional, yang kerap memiliki keterikatan yang lebih fleksibel.
Ketika rezim Sudan menghadapi gelombang protes massa yang kian membesar, Bashir memerintahkan pasukan yang dipimpin Hemedti untuk bergerak ke ibu kota, Khartoum. Presiden Sudan bahkan menjuluki Hemedti dengan sebutan “himayti” yang berarti “pelindungku”, memandang RSF sebagai penyeimbang terhadap potensi kudeta dari angkatan bersenjata reguler dan keamanan nasional. Namun, perhitungan itu ternyata keliru. Pada April 2019, ribuan demonstran mengepung markas militer, menuntut demokrasi. Ketika Bashir memerintahkan tentara untuk menembaki demonstran, para pemimpin RSF, termasuk Hemedti, justru bersekutu dan memutuskan untuk menggulingkan Bashir, sebuah langkah yang disambut gembira oleh gerakan pro-demokrasi.

Untuk sesaat, Hemedti dipuji sebagai simbol harapan baru bagi masa depan Sudan. Citranya yang muda, ramah, dan aktif berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial menempatkannya sebagai penantang serius bagi elite politik tradisional negara. Ia berupaya mengubah haluan politiknya, namun transformasi ini hanya berlangsung selama beberapa minggu yang singkat.
Ketika Hemedti dan pimpinan Dewan Militer Penguasa Sudan, Burhan, menunda penyerahan kekuasaan kepada pemerintah sipil, gelombang demonstrasi semakin membesar. Merespons hal tersebut, Hemedti mengerahkan RSF, yang kemudian dilaporkan telah membunuh ratusan orang, melakukan pemerkosaan, dan melemparkan jasad laki-laki ke Sungai Nil. Menurut Human Rights Watch (HRW), para korban yang ditemukan di sungai tersebut bahkan diikat dengan batu bata di pergelangan kaki mereka. Meskipun demikian, Hemedti membantah keras bahwa RSF melakukan kejahatan perang.
Di bawah tekanan kelompok lintas negara yang bertekad “mempromosikan perdamaian dan demokrasi” di Sudan—termasuk AS, Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—para jenderal dan kekuatan sipil akhirnya menyepakati kompromi yang dirancang oleh mediator Afrika. Namun, selama dua tahun berikutnya, Sudan terjerumus dalam ketidakstabilan yang kronis antara kelompok militer dan kabinet sipil. Sebuah komite, yang ditunjuk oleh kabinet untuk menyelidiki berbagai perusahaan yang dimiliki oleh militer, keamanan, dan RSF, sedang menyelesaikan laporan akhirnya. Laporan tersebut bertujuan untuk membongkar bagaimana Hemedti dengan cepat memperluas kerajaan korporasinya, serta bagaimana ia, bersama Burhan, secara efektif memecat para pejabat sipil dan merebut kendali penuh atas kekuasaan.
Akan tetapi, perpecahan tak terhindarkan muncul di antara para pemimpin kudeta. Burhan bersikeras menuntut agar RSF berada di bawah komando militer, sebuah permintaan yang ditolak mentah-mentah oleh Hemedti.

Hanya beberapa hari sebelum batas waktu April 2023 untuk penyelesaian isu krusial ini, RSF melancarkan gerakan masif, mengepung markas besar militer, merebut basis-basis kunci, dan istana nasional di Khartoum. Namun, upaya kudeta tersebut gagal total, mengubah Khartoum menjadi medan perang jalanan saat pasukan rival saling bertempur. Kekerasan brutal juga meletus di Darfur, di mana milisi RSF melancarkan serangan kejam terhadap suku Masalit. PBB memperkirakan setidaknya 15.000 warga sipil tewas dalam konflik Sudan ini, dan Amerika Serikat bahkan menggambarkannya sebagai genosida, tuduhan yang tetap dibantah oleh RSF.
Para komandan RSF secara terang-terangan menyebarkan video yang menunjukkan pasukannya menyiksa dan membunuh, sebuah tindakan yang menggarisbawahi kejahatan dan status kebal hukum yang mereka nikmati. Di seluruh Sudan, RSF dan milisi sekutunya merajalela, menjarah pasar, universitas, hingga rumah sakit. Banjir barang jarahan ini kemudian diperdagangkan di pasar-pasar yang dikenal sebagai “dagolo markets”, dengan rantai pasokan yang meluas hingga ke Chad dan negara-negara tetangga Sudan lainnya. Meski demikian, RSF tetap membantah keterlibatan pasukannya dalam aksi penjarahan tersebut.
Di tengah kekacauan itu, Hemedti sempat terperangkap di istana kepresidenan yang menjadi sasaran artileri dan serangan udara. Ia dilaporkan mengalami luka parah pada minggu-minggu awal konflik dan menghilang dari pandangan publik. Namun, ketika ia muncul kembali berbulan-bulan kemudian, Hemedti tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan atas kejahatan perang yang terjadi, justru menegaskan tekadnya untuk memenangkan perang di Sudan.

RSF kini diperkuat dengan persenjataan modern, termasuk drone canggih, yang telah digunakan untuk menyerang ibu kota de facto Burhan, Port Sudan, dan memainkan peran krusial dalam penyerangan ke el-Fasher. Laporan investigasi oleh surat kabar New York Times mendokumentasikan bahwa senjata-senjata ini diangkut melalui landasan udara dan berbagai lokasi yang dibangun oleh pemerintah Uni Emirat Arab di dalam wilayah Chad. Namun, Uni Emirat Arab membantah keras tuduhan mempersenjatai RSF.
Dengan dukungan persenjataan modern ini, RSF kini terlibat dalam kebuntuan strategis dengan mitra lamanya, tentara Sudan. Di sisi lain, Hemedti gencar berupaya membentuk koalisi politik, menggandeng berbagai kelompok sipil dan gerakan bersenjata, bahkan termasuk musuh lamanya di Pegunungan Nuba. Ia bahkan telah mendeklarasikan “Pemerintah Perdamaian dan Persatuan”, menobatkan dirinya sendiri sebagai ketuanya.
Dengan keberhasilan penaklukan el-Fasher, RSF kini menguasai hampir seluruh wilayah berpenghuni di sebelah barat Sungai Nil. Menyusul laporan pembunuhan massal yang kian santer dan gelombang kecaman luas, Hemedti mengumumkan akan melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan pasukannya selama penaklukan kota tersebut. Warga Sudan kini menduga bahwa Hemedti memiliki ambisi besar untuk menjadi presiden dan menguasai seluruh negeri.
Hemedti kemungkinan besar memandang masa depannya sebagai seorang elite politik yang berpengaruh, seorang pimpinan konglomerasi yang mengendalikan bisnis, tentara bayaran, dan partai politik. Dengan strategi ini, meskipun mungkin tidak diterima sebagai representasi sah Sudan, ia tetap mampu menarik benang-benang kekuasaan. Ironisnya, bahkan saat pasukannya membantai warga sipil di el-Fasher, Hemedti tampaknya yakin ia menikmati kekebalan hukum di tengah dunia yang seolah acuh tak acuh terhadap nasib Sudan.
Alex de Waal adalah Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Fletcher School of Law and Diplomacy, Tufts University, Amerika Serikat.
- Konflik Sudan: Evakuasi tahap keempat, 107 WNI telah tiba di Jeddah dari Port Sudan
- Riwayat dua jenderal yang bertikai di jantung konflik Sudan
- Lima hal kunci untuk memahami apa yang terjadi di Sudan
- Lebih dari 100.000 orang melarikan diri dari Sudan, warga sipil terancam ‘malapetaka besar’ jika pertempuran tidak diakhiri
- Lima hal kunci untuk memahami apa yang terjadi di Sudan



