Strategi Danantara Indonesia menempatkan dividen ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) sempat memicu tanda tanya besar, terutama dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Namun, langkah ini ternyata selaras dengan praktik umum yang diterapkan oleh sejumlah Sovereign Wealth Fund (SWF) ternama di berbagai belahan dunia, sebuah fakta yang perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Menurut Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani, mekanisme penempatan dana serupa lazim diadopsi oleh lembaga sekelas SWF. Ia menegaskan bahwa investasi di SBN merupakan strategi yang lumrah, khususnya pada fase awal pembentukan dana atau periode ramp-up sebuah SWF global.
Ajib Hamdani menjelaskan bahwa proyek-proyek strategis berskala besar, seperti pengembangan energi baru, infrastruktur, atau industri teknologi, tidak dapat langsung menerima pembiayaan secara instan. Proyek-proyek semacam itu memerlukan tahapan studi kelayakan, koordinasi yang matang, dan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, sambil menanti kesiapan proyek-proyek tersebut, dana yang tersedia harus tetap produktif, tidak menganggur begitu saja di rekening.
Memilih instrumen seperti SBN yang memiliki likuiditas tinggi dan berdenominasi rupiah menjadi langkah strategis untuk menjaga nilai modal negara, sekaligus menghindari risiko yang belum terukur. Ini adalah langkah jangka pendek yang esensial untuk memastikan dan memperkuat kemampuan keuangan jangka panjang Danantara.
Alokasi dana ke pasar publik ini tidak hanya berlaku di tahap awal. Ajib Hamdani menggarisbawahi bahwa porsi investasi pada instrumen publik akan tetap dipertahankan secara permanen dalam portofolio, meskipun proporsinya mungkin akan menyesuaikan atau menurun seiring dengan peningkatan alokasi pada investasi langsung di proyek-proyek strategis. Ini adalah praktik standar di dunia SWF, di mana entitas seperti Norges, GIC, dan Temasek, tetap mempertahankan sebagian portofolio mereka di public markets sebagai jangkar likuiditas dan diversifikasi risiko.
Lebih jauh, Ajib Hamdani mencontohkan bahwa Temasek di Singapura, Kuwait Investment Authority, hingga Abu Dhabi Investment Authority juga mengawali perjalanan investasi mereka dengan menanamkan modal pada instrumen publik seperti obligasi dan saham, sebelum secara bertahap merambah ke proyek-proyek di sektor riil. Meskipun demikian, ia juga mengakui bahwa tidak semua SWF memiliki fokus yang identik; ada yang lebih menekankan pelestarian modal, sementara yang lain berorientasi pada pembiayaan pertumbuhan nasional.
Dengan demikian, pembelian SBN oleh Danantara bukanlah sebuah penyimpangan, melainkan bagian integral dari tahapan normal dalam pembangunan portofolio dan tata kelola investasi jangka panjang SWF. Seringkali publik keliru mengira bahwa dana besar dapat langsung ditanamkan ke proyek, padahal kenyataannya, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) saja bisa membutuhkan waktu enam tahun konstruksi dan sepuluh tahun untuk mencapai titik impas. Mengucurkan seluruh dana sekaligus justru akan menempatkan investasi pada risiko yang sangat tinggi.
Selama masa transisi ini, penempatan dana di SBN memiliki dua implikasi positif: pertama, likuiditas dana tetap terjaga; kedua, uang negara secara berkelanjutan berputar di dalam sistem keuangan nasional, memberikan dampak yang signifikan bagi ekonomi.
Ke depan, komposisi antara public investment dan private investment diproyeksikan akan semakin seimbang, mengikuti panduan Strategic Asset Allocation (SAA) yang telah disusun oleh Danantara. Meskipun public market tetap memegang peranan penting, porsinya akan menjadi lebih proporsional seiring dengan mulai berjalannya berbagai proyek strategis.
Ajib Hamdani menegaskan bahwa kritik dari publik terhadap Danantara seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi mengenai peran dan mekanisme kerja SWF. Ia mengingatkan bahwa Sovereign Wealth Fund bukanlah lembaga yang mengejar keuntungan instan, melainkan entitas yang bertanggung jawab untuk menjaga nilai aset negara lintas generasi. Mandat Danantara tetap teguh, yakni membiayai industrialisasi dan memperkuat kemandirian ekonomi, namun untuk mencapai tujuan mulia ini diperlukan waktu dan proses yang jelas, yang semuanya sedang dibangun saat ini.
Sebelumnya, kritik tajam memang dilontarkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Danantara. Ia mempertanyakan keputusan Danantara untuk menempatkan sebagian dananya di SBN dengan ungkapan, “Anda ini dapat dividen dari BUMN, lalu uangnya diparkir lagi ke SBN. Uang kembali lagi ke pemerintah. Lantas keahlian Anda apa?” Komentar ini sontak menyulut perdebatan sengit mengenai apakah Danantara hanya sekadar memutar uang tanpa benar-benar menciptakan nilai tambah.