caristyle.co.id JAKARTA. PT BUMA Internasional Grup Tbk (DOID), emiten di sektor jasa pertambangan, menghadapi tantangan berat dengan kinerja keuangan yang belum menggembirakan hingga kuartal III-2025. Di tengah ketidakpastian yang melingkupi industri batu bara, DOID dituntut untuk bekerja ekstra keras dalam upaya pemulihan.
Sebelumnya, terungkap bahwa pendapatan DOID mengalami penurunan signifikan sebesar 16% *year on year* (yoy), menyusut menjadi US$ 1,13 miliar pada kuartal III-2025. Penurunan ini disebabkan oleh volume bisnis kontraktor tambang yang lebih rendah, dampak dari gangguan operasional yang terjadi pada kuartal I-2025.
Di sisi lain, *Average Selling Price* (ASP) atau harga jual rata-rata DOID terbilang stabil, hanya mengalami penurunan tipis sebesar 1% yoy. Hal ini ditopang oleh porsi kontrak *rise-and-fall* yang lebih besar, yang efektif meredam dampak pelemahan harga batu bara.
Namun, DOID masih harus menanggung rugi bersih yang cukup besar, mencapai US$ 81 juta pada kuartal III-2025. Angka ini membengkak hingga 376% yoy dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Faktor utama penyebab kerugian ini adalah EBITDA yang lebih rendah dan pencadangan piutang untuk operasional di Australia. Untungnya, kerugian ini sebagian diimbangi oleh keuntungan nilai wajar dari investasi di 29Metals, beban bunga yang lebih rendah, manfaat pajak, dan pergerakan kurs mata uang yang menguntungkan.
Intip Rekomendasi Saham Mitra Adiperkasa (MAPI) di Tengah Sinyal Pemulihan
Realisasi *capital expenditure* (capex) atau belanja modal DOID tercatat sebesar US$ 149 juta pada kuartal III-2025, meningkat 12% yoy. Dari jumlah tersebut, 54% dialokasikan untuk menjaga keandalan dan kesiapan armada, sementara 46% lainnya digunakan untuk mendukung pertumbuhan melalui peningkatan kapasitas di sejumlah lokasi utama di Indonesia.
Meskipun demikian, jika dilihat secara kuartalan, kinerja keuangan DOID menunjukkan pertumbuhan positif. Pendapatan perusahaan meningkat 6% *quarter on quarter* (qoq) menjadi US$ 400 juta pada kuartal III-2025.
Rugi bersih DOID juga berhasil ditekan menjadi hanya US$ 1 juta khusus pada kuartal III-2025. Penurunan ini didukung oleh peningkatan EBITDA dan keuntungan nilai wajar (fair value gains) dari investasi DOID di 29Metals.
Iwan Fuad Salim, Direktur BUMA International Group, menyatakan bahwa kinerja pada kuartal ketiga ini mengindikasikan pemulihan DOID yang semakin kuat. Peningkatan jam kerja efektif, siklus waktu yang lebih singkat, dan pengendalian biaya yang lebih ketat telah menghasilkan volume yang lebih baik, biaya per unit yang lebih rendah, dan EBITDA yang lebih kuat, meskipun kondisi pasar masih penuh tantangan.
Investor Wajib Tahu: Ini Penyebab Saham Aneka Tambang (ANTM) Turun 14% dalam 3 Bulan
“Memasuki akhir tahun, fokus kami tetap pada mempertahankan capaian perbaikan ini, menjaga margin, dan memperkuat keunggulan operasional di seluruh bisnis,” ujarnya dalam keterbukaan informasi pekan lalu.
Kepala Riset Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, memperkirakan bahwa hingga akhir 2025, kinerja DOID berpotensi masih akan tertahan seiring dengan produksi batu bara nasional yang belum pulih sepenuhnya.
Namun, prospek DOID pada tahun 2026 diyakini akan tumbuh lebih baik asalkan harga batu bara stabil di kisaran US$ 100–US$ 120 per ton dan volume *overburden removal* (OR) kembali meningkat.
“Peluang untuk kembali mencetak profit tetap ada, tetapi sangat tergantung pada pemulihan volume kontrak dan *cost discipline*,” ujarnya pada hari Kamis (4/12).
Oleh karena itu, DOID perlu secara aktif melakukan efisiensi biaya produksi, renegosiasi tarif dengan klien, mengontrol biaya bahan bakar, dan menjaga utilisasi alat berat tambang. Kontrak jasa tambang dengan margin yang solid diyakini dapat menstabilkan pendapatan DOID.
Wafi juga menyoroti rencana DOID untuk menerbitkan surat utang global senilai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 8,31 triliun di Bursa Efek Singapura.
Dari jumlah tersebut, sekitar US$ 223 juta rencananya akan digunakan untuk melunasi utang yang jatuh tempo pada tahun 2026, yang meliputi pinjaman bank sebesar US$ 105 juta, obligasi dan sukuk dalam denominasi rupiah sebesar US$ 75 juta, serta fasilitas sewa guna usaha sebesar US$ 44 juta.
Selain itu, dana sekitar US$ 150 juta akan digunakan untuk mendanai sebagian kebutuhan belanja modal (*capex*) dan modal kerja DOID.
Menurut Wafi, penerbitan obligasi ini bisa menjadi stimulus jangka pendek untuk memperkuat *capex* dan menjaga arus kas ketika menggarap proyek-proyek besar. Akan tetapi, konsekuensinya adalah kenaikan *leverage* dan biaya utang, serta tekanan terhadap neraca keuangan yang harus diwaspadai.
“Kalau obligasi dipakai untuk proyek dengan *rate* bagus, dampaknya positif. Tapi kalau tidak, itu justru memperberat beban liabilitas,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Wafi merekomendasikan untuk membeli saham DOID dengan target harga di level Rp 420 per saham.



