Debat panas seputar kompensasi fantastis bagi Elon Musk di Tesla mencapai puncaknya. Besok, para pemegang saham Tesla akan berkumpul di Texas untuk mengambil keputusan krusial: apakah sang CEO pantas menerima paket kompensasi senilai US$1 triliun, atau setara dengan sekitar Rp16.000 triliun hingga Rp16 kuadriliun, sebuah angka yang memicu gelombang perdebatan dan kontroversi di berbagai kalangan.
Lebih dari sekadar nominal yang mencengangkan, inti dari polemik ini adalah kendali atas masa depan Tesla. Jika paket kompensasi ini disetujui, porsi saham Musk dengan hak suara di Tesla akan melesat hingga sekitar 25 persen. Meskipun belum mencapai mayoritas mutlak, angka tersebut diyakini akan secara efektif membentengi kebijakan-kebijakannya dari intervensi dewan direksi atau investor lain.
Transformasi besar sedang diusung Tesla; dari raksasa mobil listrik, kini perusahaan berambisi menjadi pionir di bidang robot humanoid dan taksi otonom. Dalam sebuah pertemuan investor Oktober lalu, Musk secara terang-terangan menyatakan bahwa ia “membutuhkan kendali penuh atas Tesla dan ‘tentara robot’ yang akan dibangun perusahaan.” Pernyataannya di platform X (sebelumnya Twitter) yang berbunyi “Kendali atas Tesla bisa memengaruhi masa depan peradaban” semakin menggarisbawahi betapa pentingnya keputusan ini bagi sang visioner.
Dewan direksi Tesla secara aktif mendorong persetujuan paket kompensasi ini, dengan argumen bahwa hal tersebut adalah cara esensial untuk memotivasi Musk dalam merevolusi perusahaan. Namun, banyak pihak menyuarakan keraguan terhadap independensi dewan, mengingat komposisinya yang mencakup saudara Musk serta beberapa teman lamanya. Ketua Dewan, Robyn Denholm, menepis kritik tersebut dengan menegaskan dalam wawancara The New York Times, “Dewan kami sangat aktif dan independen. Dunia luar sering kali tidak melihat kenyataan itu.”
Paket kompensasi Musk dirancang dalam 12 tahap, dengan pembayaran penuh hanya akan diberikan jika Tesla mencapai serangkaian target operasional yang luar biasa ambisius. Ini termasuk menjual 10 juta langganan perangkat lunak autopilot dan melambungkan pendapatan sebelum depresiasi (EBITDA) menjadi 400 miliar dolar AS, sebuah lonjakan drastis dari 17 miliar dolar AS tahun lalu. Denholm dengan tegas menyatakan, “Ia tidak akan menerima kompensasi apa pun jika tidak bisa mencapai target.” Namun, terkuak adanya celah: dewan memiliki kewenangan untuk tetap memberikan sebagian saham jika Musk gagal memenuhi target akibat faktor eksternal seperti bencana alam, perang, atau intervensi pemerintah. Laporan dari Glass Lewis, sebuah firma penasihat investasi, mengungkap bahwa “Musk bisa saja memperoleh tiga tahap pertama paket saham tanpa memenuhi satu pun target operasional,” yang masing-masing bernilai puluhan miliar dolar.
Kontroversi ini semakin meruncing dengan rekomendasi penolakan paket gaji dari dua firma penasihat besar, Glass Lewis dan ISS Stoxx. Musk sendiri dalam panggilan konferensi bulan lalu menuding kedua firma tersebut melakukan “terorisme korporasi.” Polarisasi perdebatan ini juga mencerminkan lanskap politik Amerika Serikat; investor institusional besar dari negara bagian berhaluan Demokrat seperti California dan New York menentang keras, sementara investor dari negara bagian berhaluan Republik seperti Florida justru mendukungnya. Bahkan Paus Leo XIV disebut-sebut ikut menyoroti kasus ini sebagai cerminan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin.
Menurut Ann Lipton, profesor hukum korporasi di Universitas Colorado, intensitas kampanye ini menunjukkan tekad dewan Tesla untuk meraih suara mayoritas signifikan dan meredakan gelombang kritik. Meskipun banyak analis memprediksi paket ini akan disetujui, sebagian besar karena Musk berhak memberikan suara untuk 15 persen sahamnya sendiri, dukungan yang kurang dari setengah investor luar dapat mengancam reputasi Tesla. Lipton menambahkan bahwa “Mitos Elon Musk bergantung pada persepsi bahwa para pemegang saham Tesla masih sepenuhnya setia padanya.”
Pekan lalu, Denholm bahkan melontarkan peringatan keras kepada para pemegang saham: jika paket gaji ditolak, Musk berpotensi mengundurkan diri. “Kami berisiko kehilangan waktu, bakat, dan visi beliau,” tulisnya. Bagi para pendukung Musk, ancaman mundur ini dipandang sebagai bagian dari strategi negosiasi. Namun, Randall Peterson, seorang profesor dari London Business School, menyoroti bahaya laten dari ketergantungan Tesla pada satu figur. “Kuburan dunia bisnis dipenuhi orang-orang yang dulu dianggap tak tergantikan,” ujarnya, sebuah peringatan tegas tentang kefanaan kehebatan individu dalam konteks korporasi.



