Emiten Batubara: Prospek Akhir Tahun Cerah? Permintaan Pulih!

Posted on

Kabar baik menghampiri emiten batubara di Indonesia. Potensi peningkatan permintaan batubara global menjelang akhir tahun kembali membuka peluang bagi mereka untuk mendongkrak kinerja emiten. Meski harga batubara saat ini masih berada di level US$106 per ton, analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzati, menyoroti pola historis: kebutuhan akan komoditas ini melonjak di pengujung tahun, terutama di negara-negara importir besar seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan, seiring datangnya musim dingin. Lonjakan musiman ini diperkirakan akan menjadi pendorong positif, khususnya bagi emiten batubara yang mengandalkan pasar ekspor.

Tidak hanya faktor musiman, beberapa sentimen makroekonomi turut membayangi prospek emiten batubara. Kebijakan impor dari raksasa ekonomi seperti Tiongkok dan India, serta fluktuasi nilai tukar rupiah, menjadi perhatian utama. Pelemahan rupiah, misalnya, justru dapat menguntungkan para eksportir batubara. Lebih lanjut, pergerakan harga energi substitusi seperti gas dan minyak juga memainkan peran krusial. Ketika harga energi alternatif ini naik, daya tarik batubara sebagai sumber energi yang lebih terjangkau akan meningkat, memberikan keuntungan kompetitif bagi emiten batubara.

Namun, di balik peluang tersebut, ada tantangan yang tak bisa diabaikan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kinerja ekspor batubara nasional masih kurang meyakinkan. Hingga Agustus 2025, nilai kumulatif ekspor batubara mencapai US$15,91 miliar, turun signifikan 20,99% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang menyentuh US$20,13 miliar. Tak hanya nilai, volume ekspor batubara nasional juga merosot 5,16% menjadi 251,13 juta ton per Agustus 2025. Praska Putrantyo, Chief Executive Officer Edvisor Provina Visindo, menilai hasil ini sebagai sentimen negatif tambahan, khususnya bagi emiten produsen batubara yang sangat bergantung pada pasar ekspor.

Menyikapi kondisi tersebut, Praska menyarankan agar emiten tidak terpaku pada pasar lama, melainkan mulai melirik potensi ekspor batubara ke negara lain atau bahkan mengoptimalkan pasar domestik. Dampak pelemahan ekspor ini juga dirasakan langsung oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Christopher Fong, Advisor BUMI, mengakui bahwa musim panas yang berkepanjangan dan masalah ekonomi di beberapa negara tujuan telah menghambat kelangsungan ekspor batubara perusahaan. Meski demikian, BUMI tetap optimistis dan “melihat potensi pertumbuhan,” dengan harapan faktor musim dingin dapat menyeimbangkan target tahunan mereka. Perusahaan menargetkan penjualan batubara antara 76 juta hingga 78 juta metrik ton pada tahun 2025, dengan harga rata-rata US$60-US$62 per ton. Namun, pada semester I-2025, penjualan batubara BUMI telah berkurang 5% secara tahunan menjadi 34,8 juta metrik ton.

Menghadapi tekanan yang terus berlanjut di industri ini, para analis merekomendasikan beberapa strategi kunci bagi emiten batubara. Penguatan efisiensi biaya dan optimalisasi kontrak jangka panjang menjadi langkah fundamental. Selain itu, diversifikasi pasar ekspor, dengan menargetkan negara-negara berkebutuhan energi tinggi, juga dianggap krusial. Beberapa emiten juga dapat mengoptimalkan produksi sesuai kuota Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), namun perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan kelebihan pasokan yang justru menekan harga batubara. Arinda Izzati menambahkan, diversifikasi bisnis ke sektor hilir, seperti gasifikasi atau pembangunan pembangkit listrik berbasis batubara, adalah strategi efektif untuk memperkuat basis pendapatan.

Meski dibayangi tantangan, sektor batubara masih menarik untuk disoroti para investor. Praska Putrantyo menyoroti bahwa semakin banyaknya emiten batubara yang aktif melakukan diversifikasi bisnis menjadikan sektor ini tetap relevan. Senada, Arinda Izzati menekankan daya tarik saham batubara dari tradisi pembagian dividen yang besar dengan payout ratio tinggi, menjadikannya pilihan ideal bagi investor pemburu dividen. Selain itu, valuasi saham batubara yang relatif murah disertai neraca keuangan yang kuat, menurut Arinda, menjadikannya menarik untuk strategi value investing jangka menengah.

Namun, investor juga harus cermat memperhitungkan risiko jangka panjang. Arinda mengingatkan adanya tren pelemahan harga batubara seiring dengan percepatan transisi energi global. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa sektor batubara lebih tepat dipandang sebagai sumber dividen dan peluang jangka menengah, bukan sebagai sektor pertumbuhan jangka panjang. Untuk itu, Arinda merekomendasikan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dengan target harga Rp23.425 per saham dan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) di Rp8.500 per saham. Sementara itu, Praska menyebut saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) patut dipertimbangkan oleh investor, dengan target harga masing-masing Rp1.800 per saham dan Rp2.500 per saham.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *