Penggemar K-pop, atau fandom, di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang begitu pesat, seiring dengan semakin terbukanya akses internet, menjamurnya platform media sosial, dan ekspansi industri hiburan Korea Selatan. Dimensi fandom K-pop tidak lagi sekadar hubungan satu arah antara penggemar dan idola, melainkan sebuah ekosistem kompleks yang jauh lebih luas.
Adalah Kim Seok-jin, salah satu personel dari grup musik Korea Selatan, Bangtan Boys atau yang lebih dikenal dengan BTS, yang berhasil merebut hati Kerigit, seorang perempuan muda di Jakarta. Rasa suka Kerigit kepada BTS ini bersemi ketika Jin, nama panggung Kim Seok-jin, melantunkan lagu berjudul “Epiphany.”
Ketertarikan awal Kerigit murni pada musikalitas lagu tersebut, tanpa memahami lirik atau pesan mendalamnya karena ditulis dalam bahasa Korea. Namun, rasa penasaran mendorongnya menggunakan mesin penerjemah untuk mengungkap makna di balik “Epiphany.”
Begitu makna lagu itu tersingkap, “aku langsung suka dan beralih ke lagu Jin yang lain,” kenang Kerigit. Di titik itulah ia mulai mengenal dan terpikat pada BTS secara utuh.

Kerigit menuturkan bahwa “Epiphany” mengisahkan tentang pentingnya mencintai diri sendiri, sebuah pesan yang menyentuh relung perasaannya secara mendalam. “Mungkin pada saat itu momennya pas. Aku lagi ngerasa jatuh sekali. Lagi ada masalah pribadi juga,” ungkap Kerigit kepada BBC News Indonesia.
Jin dan lagu “Epiphany” menjadi jembatan yang mendekatkan Kerigit dengan BTS. Ia mengaku belajar memahami koneksi antarpersonel grup vokal tersebut. Meskipun usia para member BTS masih terbilang sangat muda saat Kerigit pertama kali mengenal mereka, ia memandang mereka sebagai figur yang bijaksana.
Sebagai contoh, Kerigit belajar dari Jin bahwa “kita tidak perlu mengejar pengakuan orang lain,” melainkan yang terpenting adalah “kita mengakui diri kita sendiri sebaik mungkin.” Ia mengagumi perjalanan Jin, yang, meskipun “di antara semua member BTS, dia adalah yang paling tidak punya background untuk menjadi idol. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari. Tapi, dia belajar, dan akhirnya, sekarang, kalau konser, misalnya, suara Jin itu yang paling stabil.”
“Jadi, aku belajar kayak begitu. Maksudnya, I’ve done my job, and I’ve done my best. That’s it,” tuturnya, menyiratkan inspirasi personal yang didapatnya.
Bagi Kerigit, BTS, melalui lagu-lagu yang mereka ciptakan, mengajak pendengar dan penggemar K-pop untuk berefleksi tentang berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan sudut pandang personal. Ia bahkan menyamakan pengalaman mendengarkan dan mengikuti karya BTS sebagai sebuah pengalaman spiritual.
Kerigit meyakini bahwa BTS telah menyelamatkannya dari keputusasaan. “Andaikata dulu tidak mengenal BTS, mungkin sekarang aku sudah masuk ke ‘jurang’ yang paling dalam,” katanya. Ia menjelaskan, “lagu-lagu mereka ada saat aku menemukan kebahagiaan, pada saat aku menemukan ketenangan, pada saat aku merasa mereka itu berada di dalam hampir semua situasi yang aku alami sehari-hari.”
“Dan itu yang membuat aku semakin into BTS, menjadi seorang ARMY,” ucap Kerigit.

ARMY adalah sebutan bagi fandom yang terafiliasi dengan BTS. Menurut Kerigit, ARMY bukan hanya sekadar komunitas penggemar, tetapi juga representasi relasi sesama penggemar yang dilandasi solidaritas kuat, yang mereka sebut, “ARMY jaga ARMY.”
Sikap saling menjaga ini terwujud nyata, misalnya saat BTS mengadakan konser. Di lokasi konser, para ARMY akan membagikan berbagai kebutuhan, mulai dari minum, makanan, hingga aksesoris, kepada sesama ARMY secara gratis. Bahkan, saat ada ARMY hamil di tengah keramaian pertunjukan, mereka akan dengan sigap membuka antrean agar yang bersangkutan dapat segera masuk ke arena dengan aman.
Serangkaian “aksi kecil” semacam itu, bagi Kerigit, merupakan gambaran nyata bagaimana ARMY mengimplementasikan pesan-pesan yang disebarkan BTS melalui lagu-lagu mereka. “Biasanya yang penggemar yang berbuat negatif mengidolakan member sampai tidak melihat pesan yang disampaikan BTS secara keseluruhan. Bahkan ada juga yang, misalnya, sampai saling jelek-jelekin segala macam,” kata Kerigit.
Kerigit menyadari bahwa kecintaan pada K-pop, atau dalam kasusnya “kegemaran terhadap BTS,” sering kali diasumsikan sebagai sikap fanatik yang rela membela idola mati-matian. Meskipun mengakui “cinta dengan BTS,” Kerigit kerap mengingatkan sesama anggota ARMY “untuk tetap bernalar dan waras.”
“Aku selalu bilang sama teman yang lain: mereka [personel BTS] itu manusia. Seperti halnya manusia pada umumnya, mereka juga bisa bikin salah,” tegas Kerigit.
Fandom K-pop Erat dengan Stigma
Antara tahun 2019 hingga 2020, kelompok penggemar K-pop menjadi motor penggerak dalam meramaikan tagar-tagar penting, berdasarkan riset peneliti media sosial Drone Emprit. Pada kurun waktu tersebut, demonstrasi meluas terjadi di Indonesia dengan tajuk ‘Reformasi Dikorupsi’ dan ‘Mosi Tidak Percaya’, masing-masing merespons revisi Undang-Undang KPK dan penolakan Undang-Undang Cipta Kerja.
Temuan Drone Emprit menunjukkan bahwa tagar #MosiTidakPercaya digaungkan oleh akun-akun dengan foto idol K-pop. Akun-akun tersebut, menurut Drone Emprit, “dalam waktu singkat bersatu mengangkat tagar tersebut dan tagar-tagar lain sehingga menjadi trending topic dunia.”
Riset berjudul Break the Structure: BTS ARMY Digital Activism and State Surveillance in Indonesia’s Omnibus Law Protest, yang disusun oleh Karlina Octaviany, menjelaskan fenomena ini terjadi karena fandom K-pop mampu meruntuhkan hierarki sistem sosial. Langkah ini memfasilitasi budaya partisipatoris dalam mempraktikkan nilai kolektif. “Fandom K-pop, yang mayoritas perempuan, bertumbuh seperti rhizoma yang egaliter, tanpa komando, dan dalam identitas internet yang anonim,” jelas Karlina kepada BBC News Indonesia.

Karlina juga menguraikan bahwa fandom K-pop di Indonesia telah mengalami lokalisasi dengan kekhasan yang mudah dikenali. Di luar aktivisme digital yang muncul saat protes ‘Reformasi Dikorupsi’ atau penolakan UU Cipta Kerja, fandom K-pop juga identik dengan lelucon, meme, fanedit ala sinetron, bahkan donasi untuk Palestina.
Namun, Karlina melihat bahwa kehadiran fandom K-pop sering dimaknai tidak utuh. “Selayaknya fandom K-pop maka dia erat dengan stigma patriarki dan diskriminasi gender seperti histeris, obsesif, bocil gila, sampai budhe kurang kasih sayang,” ujarnya. Ironisnya, “fandom K-pop juga kerap mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Media di Indonesia pun menarasikan stigma ini dalam pemberitaan.”
Menurut Karlina, publik tidak semestinya menyalahkan fandom tanpa mengkritisi sistem patriarki dan perlindungan komunitas di media sosial. Berdasarkan pemantauannya, fandom K-pop, yang sebagian besar perempuan, justru berada dalam situasi terjepit.
Media sosial, kata Karlina, memelihara algoritma berdasarkan tingkat engagement konten yang tinggi, termasuk “merekomendasikan fan war dan ujaran kebencian terhadap fandom tertentu.” Beragam topik yang menyenggol K-pop, menurut Karlina, turut menjadi ajang netizen dan brand mendulang viralitas, “tidak terkecuali komentar yang negatif.”
“Platform media sosial merekomendasikan paparan konten negatif secara terus-menerus karena potensi viralitas itu tadi sehingga sulit untuk melihat penyebab awalnya,” kata Karlina. “Hanya tampak ujung ketika terjadi fan war, misalnya, hingga konten itu yang terus mengemuka.”

Keadaan ini, lanjut Karlina, “makin sulit dihentikan sebab keterlibatan buzzer yang meniru anonimitas avatar K-pop dalam mengatur pengalihan narasi yang trending.” Ia menemukan, “ketika terjadi avatar K-pop tiruan, justru fandom yang bisa mendeteksi karena lingo dan konteks tentang idol mereka sudah khatam. Tapi, sulit untuk menjelaskan ketika misinformasi beredar di luar komunitas, apalagi ketika dikompori opini stigma negatif fandom tertentu.”
Kekhawatiran Karlina makin meluas seiring posisi fandom K-pop di Indonesia yang, menurutnya, “sudah menjadi aktor non-negara dengan kekuatan siber yang penting mengingat jumlahnya besar di media sosial.” Partisipasi aktif fandom K-pop di beberapa kesempatan politis membikin peran mereka tidak sebatas pembahasan atau permasalahan K-pop semata.
Fenomena aktivisme digital fandom K-pop ini tidak menutup kemungkinan lahirnya pengawasan sistematis (surveillance), manipulasi konten dalam rangka memancing kemarahan (rage baiting), hingga doxxing maupun perisakan terstruktur. “Padahal fandom bisa menjadi ruang aman kebebasan berekspresi dan merasakan emosi, meregulasi emosi tanpa takut penghakiman,” pungkas Karlina.

‘Saya Dituduh Memprovokasi Serangan Kepada ARMY’
Prasetya, seorang pekerja di Jakarta, awalnya melihat keributan antarpenggemar K-pop sebagai sesuatu yang lumrah. Dia sering menyaksikan fandom K-pop saling berdebat panjang di media sosial untuk membela masing-masing idol mereka, menganggapnya sebagai bagian dari “dinamika kelompok ketika sebuah komunitas terbentuk.” “Tapi, selama itu hanya ribut-ribut di media sosial, seharusnya tidak terlalu signifikan dampaknya ke dunia nyata. Itu enggak terlalu saya pusingin,” cerita Prasetya kepada BBC News Indonesia.
Ternyata, Prasetya keliru.
Dalam beberapa hari belakangan, jagat platform X (dulunya Twitter) diramaikan keriuhan yang melibatkan ARMY—pendukung BTS—dengan warganet. Pemicunya adalah tudingan ARMY kepada netizen yang dianggap merisak pentolan BTS, Kim Nam-joon, atau yang biasa dipanggil RM. Tudingan ARMY ini ramai-ramai dibantah oleh netizen, memicu perdebatan sengit.
Perdebatan tersebut meluas ke platform lain ketika sebuah brand perawatan melakukan sesi live di TikTok. Kebetulan, Prasetya sedang mengikuti live tersebut untuk mencari diskon, namun ia merasakan keanehan. “Saya melihat jumlah pesertanya naik tinggi banget. Yang awalnya cuma puluhan, ini sampai ratusan. Dan komentarnya berisi kemarahan. Mereka menyebut BTS,” ujarnya.
Prasetya kemudian beralih ke platform X, berupaya mengurai asal-usul kemarahan itu. ARMY menganggap brand tersebut turut ikut serta mengolok-olok RM. Namun, Prasetya tidak mendapati tudingan para ARMY. “Ketika saya baca lagi, enggak ada mengejek. Karena memang sebuah brand, bagi saya, untuk bisa marketing mereka akan mencoba relevan [terhadap yang lagi ramai],” tuturnya.
Keramaian di sesi live dari brand itu terus berlanjut. Prasetya mulai tidak nyaman lantaran komentar-komentar yang ditujukan justru mengganggu pembawa acara live yang, menurut Prasetya, tidak ada sangkut pautnya dengan keributan di X. Sang host bahkan sampai meminta maaf kepada akun-akun yang menyambangi live.
Dari situ, Prasetya merekam bentuk-bentuk gangguan di sesi live dan mengunggahnya ke X. Ia mengingatkan agar ARMY tidak mengusik pekerjaan host bersangkutan. Unggahan Prasetya viral, dan huru-hara kian panjang.
Yang tidak diperkirakan Prasetya adalah posting-an di X tersebut mendorong beberapa ARMY untuk melaporkannya ke kantor tempatnya bekerja. Ia dituding melakukan manipulasi opini publik, dan atasannya diminta menegurnya. Tidak hanya melalui email, ARMY juga menelepon kantor Prasetya dengan tujuan yang sama.
“Di awal email, pengirim ini mengaku adalah individu biasa yang merasa sangat resah. Tapi, setelahnya muncul kalimat bahwa perilaku saya menimbulkan keresahan serta memprovokasi serangan kepada komunitas ARMY dan BTS,” papar Prasetya. Ia menambahkan, “Kemudian di email itu saya juga mengecek bahwa penerima email ada BIGHIT dan Hybe, dua-duanya label dan agensi BTS.”
Prasetya bingung dengan kemunculan email tersebut, mengklaim ia semata-mata ingin meredam aksi yang dianggapnya sudah tidak kondusif. Kantor Prasetya kemudian merespons laporan itu melalui investigasi internal, mencari kebenaran atas tuduhan “provokasi” serta “manipulasi opini publik.” Hasilnya: Prasetya tidak melakukan hal seperti yang disebut pengirim email, membuatnya hanya bisa tertawa. Di luar surat yang membawa embel-embel ARMY, perbincangan di linimasa X masih bersambung, bahkan berujung saling doxxing (pembukaan identitas) antara dua kubu: warganet dan mereka yang mengaku ARMY.
‘Kalau Pengin Viral Sentil Saja K-pop’
Perkenalan Nabiri Tata dengan dunia K-pop dimulai lebih dari satu dekade yang lalu, tepatnya pada 2011. Kala itu, Tata, panggilan akrabnya, terpukau saat menyaksikan video musik BIGBANG, merasa lagu-lagu mereka “tidak biasa.” Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapuk diri sebagai penggemar BIGBANG yang akrab disebut ‘V.I.P.’
Intensitasnya terhadap dunia K-pop perlahan tumbuh seiring keterlibatannya dalam interaksi sesama penggemar. Tata, bersama V.I.P. lainnya, aktif membahas album BIGBANG, proyek masing-masing personel, konser, bahkan beragam rumor yang menerpa grup tersebut.
Pada taraf tertentu, komunikasi antara penggemar dapat berujung perdebatan sengit. Lingkup “perang” antar-fans ini menyasar dua jangkauan, menurut Tata. “Dulu kebanyakan perang antara fandom. Tapi, war juga bisa terjadi di satu fandom yang sama,” terangnya saat dihubungi BBC News Indonesia.
Dalam konteks war semacam ini, pemicunya tidak pernah tunggal dan biasanya berkutat seputar “kualitas.” “Misalnya fans BIGBANG ngerasa lagu paling keren, ya, [punya] BIGBANG. Apa itu Super Junior yang cuma joget-joget doang,” cerita Tata. “Padahal kalau mau dilihat, dua grup ini berbeda. Enggak bisa disamakan. War-nya kayak begitu.”

Sepengalaman Tata, fandom K-pop pada eranya “jarang berdebat gara-gara urusan fisik,” merujuk pada klaim siapa penyanyi K-pop yang paling rupawan. Kecintaan terhadap K-pop, di sisi lain, Tata tuangkan pula dalam ranah akademis. Tugas akhirnya membahas soal fan fiction, salah satu medium yang dipakai para penggemar untuk menyusun cerita fiksi dengan idola mereka bertindak sebagai karakternya.
Lambat laun, fokus Tata tak sepenuhnya ditujukan untuk K-pop. Kesibukan bekerja serta berkeluarga, diakuinya, “membuat euforia terhadap K-pop sudah habis.” “Sekarang cuma suka dengar-dengar saja. Tapi, untuk tahu ini grup mana, sudah enggak tahu lagi,” tuturnya disusul gelak tawa. Meskipun demikian, ada satu grup yang dia familier: BTS.
Bagi Tata, dinamika dalam dunia fandom K-pop tidak mengalami perubahan signifikan dari pertama kali ia terjun hingga situasi saat ini. Keributan sesama fandom atau di luar penggemar masih sering menyeruak ke permukaan. Tata berpandangan “keriuhan” fandom K-pop, yang tak jarang disebut bernuansa negatif, didorong setidaknya oleh tiga faktor.
Faktor pertama yaitu karakter fandom yang “terlalu cepat memberikan reaksi” terhadap penghinaan-penghinaan yang diterima idol mereka. “Karena merasa memiliki, karena merasa harus membela, mereka masih banyak tenaga untuk melakukan itu,” tandasnya. Tata mendeskripsikan penggemar seperti ini ke dalam kategori “fans tahap awal.” Sifat meledak-ledak yang lahir di fase pertama bergabung ke fandom K-pop bakal berkurang seiring pertambahan usia, jelas Tata.
Lalu yang kedua yakni ketersediaan platform media sosial yang semakin beragam. Tata berkisah, dulu komunikasi antarpenggemar mayoritas dibangun di Facebook dan Twitter (X). Kini, “ada Instagram, YouTube, sampai TikTok,” ucap Tata, bahkan “sampai ke fitur live segala.” Dengan keberadaan platform yang beragam, distribusi perbincangan yang melibatkan fandom akan menemui audiens yang berlipat, menjadikannya viral.
Dan terakhir, ketiga, Tata melihat sifat reaksioner fandom K-pop tersebut “dimanfaatkan banyak pihak guna memperoleh exposure.” Pendek kata: provokasi penggemar K-pop kerap menjadi jalan pintas menuju ‘ketenaran’ di media sosial. “Kalau pengin viral di Indonesia, sentil saja konsep agama atau penggemar K-pop. Rumusnya kayak begitu, kalau dari aku,” katanya.

Saat BIGBANG begitu tenar di kalangan anak muda Indonesia, Tata mengingat seorang stand-up comedian “mencari gara-gara” dengan ‘menyenggol’ penggemar BIGBANG. Tak lama, sorot perhatian ke komika itu meningkat. “Nah, untuk sekarang ini yang ‘kena’ adalah ARMY. Karena apa? Dia fandom paling besar dan reaksinya juga cukup cepat,” terang Tata.
Tata tidak menampik pernah berada dalam posisi yang disebutnya “fanatisme berlebihan.” Ia berpendapat hal itu mampu menuntun kepada tindakan-tindakan yang merugikan seperti perisakan atau penyebaran identitas pribadi tanpa persetujuan (doxxing). Ia berharap penggemar K-pop bisa menahan diri agar tidak terjebak dalam siklus yang berulang: perdebatan maupun keributan tanpa henti di media sosial.
Penggemar K-pop, dalam pandangan Tata, “mesti mulai melihat dunia secara lebih luas dan dari banyak sudut pandang.” “Aku sendiri juga mengakui K-pop itu kalau bereaksi memang terlalu cepat. Kami itu terlalu cepat kepancing,” tegasnya. “Pada intinya adalah jika menyukai sesuatu kalau terlalu berlebihan, apa pun itu, memang enggak baik.”
Tidak sekadar kepada fandom K-pop, Tata juga mengingatkan “untuk pihak luar yang tidak menggemari K-pop” bahwa—pertama-tama—tidak perlu merespons fandom secara agresif. Pasalnya, “kita berada di sepatu yang berbeda,” ujar Tata. “Misalnya kalian menganggap mereka lebay banget dari dulu, itu mungkin berlebihan untuk kalian, tapi itu wajar untuk mereka.” Ia menambahkan, “Kalau, misalnya, kegiatan fangirling itu bisa menjadi wajah seseorang untuk healing, untuk mendapatkan hiburan, untuk seseorang bisa menenangkan hati dia, ya sudah biarkan saja. Kita punya dunia sendiri-sendiri.”

Fandom di Antara Hallyu dan ‘Kesamaan Nilai’
Kultur fandom K-pop hari ini jejaknya dapat dilacak sejak 1996, bersamaan dengan debut boyband H.O.T. yang berada di bawah agensi SM Entertainment, demikian kata dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Annisa Pratamasari. “Meskipun kalau lagu [K-pop], mungkin, sudah ada dari Seo Taiji and Boys pada 1992 sampai 1996. Cuma, kalau maksudnya dari prototipe fandom culture-nya yang punya warna, kultur fandom seperti menulis fan fiction atau menjodohkan member, itu dimulai dari H.O.T.,” Annisa menjelaskan kepada BBC News Indonesia.
Perkembangan fandom K-pop kemudian mengikuti pembagian babak periode. Setidaknya, sejauh ini, terdapat lima generasi fandom.
- Generasi pertama muncul pada awal 1990 hingga 2002 dengan grup seperti H.O.T., SECHSKIES, sampai SHINWA.
- Generasi kedua, yang masa debutnya mulai 2004 sampai 2011, diisi kelompok musik seperti BIGBANG, Girls Generation, KARA, SHINee, Super Junior, hingga Secret.
- Generasi ketiga, dimulai pada 2011 hingga 2017, diisi BTS, EXO, Blackpink, Red Velvet, sampai NCT.
- Sedangkan generasi keempat, 2018 sampai 2023, memuat NewJeans, Aespa, TREASURE, hingga Rocket Punch.
- Dan terakhir, generasi kelima, diperkirakan muncul pada 2023, menyertakan nama-nama seperti BABYMONSTER, BOYNEXTDOOR, hingga ZEROBASEONE.

Kelahiran fandom K-pop, pada saat yang sama, tidak terlepas dari gelombang hallyu (hallyu wave) tatkala produk budaya populer Korea Selatan—film, musik, series—diekspor ke mancanegara. Indonesia bukan pengecualian. Penerimaan positif atas hallyu disebut Annisa karena cultural proximity, kedekatan budaya. Masyarakat menilai kebudayaan Indonesia serta Korea Selatan tidak jauh berbeda lantaran masih sama-sama berasal dari Asia.
Dalam konteks K-pop, Annisa melanjutkan, “musiknya sendiri sebetulnya sudah digabung dengan hip-hop serta pengaruh genre dari Barat sehingga audiens Indonesia tidak susah menerimanya.” “Ada yang disebut cultural hybridity. Jadi kultur ini meskipun dia Korea Selatan, meskipun dia menyanyi dengan bahasa Korea, tapi ini sesuatu yang terlihat seperti Hollywood,” ucap Annisa.
Annisa, yang turut meneliti fenomena budaya pop Korea Selatan, melihat fandom dulu dan sekarang mirip belaka. Komunikasi sesama penggemar K-pop terbentuk atas dasar kesukaan terhadap boyband atau girlband. Mereka rajin mengoleksi album, mendatangi konser, serta tidak ragu bergesekan dengan fandom lainnya. Geliat fandom yang kian masif, menurut Annisa, didorong oleh kemunculan teknologi media sosial.
“Kalau saya melihatnya karena kebanyakan orang Indonesia punya akses ke media sosial. Dengan begitu, kita jadi semakin mudah mengakses informasi atau join ke fandom tertentu,” tandasnya. Laporan We Are Social pada 2024, misalnya, menunjukkan pengguna internet di Indonesia menyentuh 185,3 juta orang, naik 0,8% dari tahun sebelumnya. Penggunaan smartphone (dan internet) untuk media sosial berada di angka 97,8%, tertinggi daripada kebutuhan lain seperti streaming, berita, atau musik.

Fenomena fandom K-pop, dalam perspektif Annisa, tidak seharusnya ditempatkan di balok yang berbeda. Kemunculan fandom K-pop, pada dasarnya, “sama seperti fans di bidang lainnya,” ujar Annisa. Eksistensi fandom apa pun, entah itu sepakbola, musik, atau film, “diikat oleh satu common value [kesamaan nilai] yang membikin mereka kompak,” jelas Annisa. “Kalau orang suka Manchester United, walaupun dia kalah terus, fans akan tetap di situ karena seperti itulah model fans,” kata Annisa.
‘Semua Sengaja Didesain oleh Industri K-pop’
Data yang disusun Chartmetric pada 2024 memperlihatkan Indonesia merupakan pangsa pasar K-pop terbesar di dunia, sekitar 18,47%. Indonesia mengungguli Amerika Serikat, Filipina, bahkan negara asal K-pop itu sendiri: Korea Selatan. Riset Katadata Insight Center yang dilakukan Juni 2022 menunjukkan K-pop berada di posisi kedua serta ketiga jenis hiburan Korea Selatan yang paling dinikmati responden di Indonesia, dengan angka 55,1% untuk boyband dan 50,5% untuk girlband. Di atas K-pop, terdapat K-drama dengan 60,3%.
Jika dibedah lebih lanjut, BTS menjadi boyband yang paling digemari (46%), unggul dari NCT (26%), EXO (21%), Super Junior (14%), dan Seventeen (11%). Dari sisi girlband, Blackpink jawaranya dengan 46,3%—melewati TWICE (17,4%), Girls’ Generation (17,3%), Red Velvet (16,6%), serta ITZY (11,8%).
Sementara dari aspek fandom, ARMY paling dominan (32,3%), disusul BLINK (Blackpink), EXO-L (EXO), dan NCTZen, masih mengacu pada temuan Katadata Insight Center. Keempatnya merupakan penggemar dari idol generasi ketiga. Selain mereka, fandom dari idol generasi kedua yang masuk 10 besar adalah E.L.F (Super Junior) serta SONE (SNSD). Sisanya diisi fandom generasi empat: STAY (Stray Kids), MOA (TXT), MY (aespa), dan Teume (Treasure).

Masifnya fandom K-pop di Indonesia sangat dipengaruhi oleh desain industri K-pop yang berorientasi kepada keuntungan, atau profit, ungkap dosen Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya, Amalia Nur Andini. Industri K-pop, terang Andini, menyediakan berbagai elemen dalam strategi pemasarannya guna menarik sebanyak-banyaknya orang bergabung menjadi seorang fans.
“Mereka jualan merchandise seperti lightstick atau tawaran membership. Keduanya seperti wajib dipenuhi kalau kita sudah masuk fanbase NCT, Super Junior, atau BTS,” ujar Andini yang beberapa kali meriset perihal K-pop. “Semakin kita banyak mengumpulkan perintilan-perintilan itu, semakin mengokohkan identitas kita sebagai fans K-pop sejati.”
Indikator lainnya tersaji melalui konstruksi “kedekatan” emosional antara idol dengan fandom yang sejak awal, lagi-lagi, dirancang menjadi pintu masuk untuk mengumpulkan massa dalam volume yang besar, tambah Andini. Hubungan yang terjalin antara idol dan fandom kerap didefinisikan sebagai parasosial. Artinya, Andini menuturkan, fans “merasa mempunyai kedekatan emosional kepada idol mereka.”
“Walaupun idol-nya juga bahkan enggak tahu kita itu siapa. Mereka enggak kenal kita. Tapi, di sini, kita merasa sedekat itu dengan idol,” ujarnya. Cara industri K-pop memupuk sisi emosional tersebut yakni dengan menyodorkan konten-konten di luar profesi idol, seperti aktivitas keseharian atau behind the scene, supaya semakin merekatkan kedekatan bersama fandom.
“Kalau dulu waktu awal-awal generasi dua, saya melihat idol itu ada dance practice. Dari situ kita bisa lihat kehidupan idol di luar panggung itu seperti apa. Tahu cara mereka ngomong, hobinya apa, makanan favoritnya apa, bahkan warna kesukaannya apa,” sebut Andini. “Hal-hal seperti ini, yang kemudian membikin fandom jadi seperti obsesif, itu memang sengaja dilakukan dari industri K-pop.”
Andini menambahkan bahwa melihat fandom K-pop tidak seharusnya bertumpu semata hanya pada individu-individu di dalamnya. Segala konsekuensi yang dilahirkan fandom, baik positif maupun negatif, merupakan output dari pengelolaan, atau kapitalisasi, industri K-pop.

Andini menganggap dinamika fandom akan senantiasa bergulir, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan perseteruan, perisakan, atau “pembelaan yang berlebihan.” Walaupun demikian, langkah preventif tetap dapat diambil, menurut Andini. “Salah satu cara untuk mencegah ini adalah dengan memperkuat relasi digital dan hubungan di dalam fandom itu sendiri, dan saya melihat pentingnya peran admin [grup fandom] karena dia yang memoderasi informasi yang masuk,” paparnya.
“Kalau dari platform media sosial, kita bisa responsif untuk report ketika ada akun-akun yang, misalnya, menyulut emosi atau ada peluang melakukan bullying.”
- Mimpi pengemis di Korea Utara jadi idola K-pop di Korea Selatan
- Kpop Demon Hunters: Masa depan budaya pop Korea di tangan grup virtual
- ‘Saya bisa saja menjadi bintang K-Pop, tapi saya memutuskan untuk mundur’
- BTS: Sejauh mana satu-satunya K-pop yang dapat menembus AS ini bisa bertahan?
- BTS di sampul majalah Time: grup K-Pop yang ‘ambil alih’ dunia
- BTS ikut wajib militer Korsel, ‘Army’: ‘Saya bisa menunggu’
- Jonghyun ‘Shinee’ dan ‘sisi gelap’ industri musik K-pop
- Mimpi pengemis di Korea Utara jadi idola K-pop di Korea Selatan
- K-pop mendorong lonjakan kursus bahasa Korea
- Ketika para penggemar K-pop seluruh dunia mendukung aksi protes di AS
- Bintang K-Pop rekam adegan seks pakai kamera pengintai, penyintas: ‘Saya diintimidasi’
- Jambore Pramuka Dunia ditutup konser K-Pop, rakyat Korsel minta maaf
- Kampung di Buton meminjam aksara Korea demi lestarikan bahasa Cia-Cia yang terancam punah – Berhasilkah mereka?
- Kafe-kafe Korsel kewalahan meladeni para mahasiswa yang belajar berjam-jam
- Minimarket jadi tempat mengusir kesepian warga Korea Selatan
- Tingkat kelahiran Korsel terendah di dunia, tapi klinik fertilitas laku keras
- Squid Game berakhir, warga Korea Selatan kembali pada kenyataan
- Toko tanpa pelayan semakin banyak di Korsel, apa untung dan ruginya?
- Kesaksian guru-guru Korea Selatan yang jadi korban pornografi deepfake – ‘Saya depresi, harus minum lima pil sehari’
- Kisah anak-anak ‘hilang’ Korsel yang dikirim ke luar negeri untuk diadopsi – ‘Anak-anak kami diambil’
- Sugianto, ‘pahlawan’ dari Indramayu yang selamatkan warga Korea Selatan dari bencana kebakaran hutan – ‘Saya menorehkan sejarah untuk bangsa Indonesia’
- Kisah para perempuan Korsel yang menjadi seniman tato
- Angka pernikahan rendah di Korsel, biro jodoh dan pemerintah jadi ‘Mak Comblang’
- Di balik kasus pornografi deepfake yang menyasar siswi di ratusan sekolah Korea Selatan



