Gaza Pasca-Perang: Siapa Penguasa Baru Setelah Hamas & Israel?

Posted on

“Perang Telah Usai,” Klaim Trump: Masa Depan Gaza dalam Genggaman Gencatan Senjata?

“Perang telah usai.” Dengan nada bangga, Presiden AS saat itu, Donald Trump, mendeklarasikan keberhasilan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Perjanjian ini mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari sebagian wilayah Gaza serta pertukaran tahanan dan sandera dari kedua belah pihak.

Namun, di balik klaim kemenangan ini, tersimpan keraguan. Rincian penting dalam rencana Trump masih belum sepenuhnya tuntas, dan berpotensi mengancam kelangsungan gencatan senjata yang rapuh ini. Pertanyaan besar pun muncul: seperti apa masa depan Gaza, dan mungkinkah Hamas bersedia melucuti senjatanya?

Siapa yang Akan Memerintah Gaza Menurut Rencana Trump?

Rencana Trump mengusulkan pengelolaan Gaza oleh “komite Palestina yang teknokratis dan apolitis, yang bertanggung jawab atas operasional layanan publik sehari-hari”. Singkatnya, sebuah organisasi non-partisan yang bertugas menjalankan roda pemerintahan dan menyediakan layanan penting bagi warga Gaza.

Komite ini akan diisi oleh warga Palestina yang kompeten serta para ahli internasional, dan berada di bawah pengawasan badan transisi internasional baru yang disebut “Dewan Perdamaian”. Meskipun nama-nama anggota dewan belum diumumkan secara resmi, mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, disebut-sebut akan memegang peran penting di dalamnya.

Pasukan Stabilisasi Internasional: Kunci Keamanan Gaza?

Rencana tersebut juga menyerukan pembentukan pasukan stabilisasi internasional, hasil kerjasama antara AS dan negara-negara Arab serta internasional lainnya. Pasukan ini akan segera dikerahkan di Gaza untuk memberikan pelatihan dan dukungan kepada kepolisian Palestina.

Kepolisian Palestina inilah yang nantinya akan berkoordinasi erat dengan Yordania dan Mesir sebagai solusi keamanan internal jangka panjang. Inggris dan Prancis bahkan dikabarkan tengah menyusun resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mewujudkan pembentukan pasukan ini.

Hamas dan Pelucutan Senjata: Misi Mustahil?

Salah satu tuntutan utama Israel adalah pelucutan senjata Hamas. Trump, setelah kunjungannya ke Timur Tengah, menyatakan, “Jika mereka tidak melucuti senjatanya sendiri, kami yang akan melucuti senjata mereka. Dan itu akan terjadi dengan cepat, mungkin dengan kekerasan…”

“Saya berbicara dengan Hamas, dan saya berkata, ‘Anda akan melucuti senjata, kan?’ Mereka menjawab, ‘Ya, Pak, kami akan melucuti senjata.’ Itulah yang mereka katakan kepada saya,” imbuhnya.

Namun, pernyataan Trump ini berbanding terbalik dengan pernyataan seorang pejabat Hamas yang dikutip oleh kantor berita *AFP*. Pejabat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pelucutan senjata adalah “tidak mungkin dan mustahil.”

Lebih lanjut, pejabat yang tidak disebutkan namanya itu juga mengatakan bahwa Hamas tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan Gaza selama masa transisi. Meskipun demikian, ia menekankan bahwa Hamas akan tetap menjadi “bagian inti dari struktur Palestina.” Hamas juga menyuarakan keraguan atas keterlibatan internasional, terutama potensi peran Tony Blair.

Keberadaan Anggota Hamas Setelah Gencatan Senjata

Rekaman video dan foto dari Gaza menunjukkan keberadaan para pejuang Hamas di jalanan, setelah penarikan mundur pasukan Israel. Sumber-sumber lokal bahkan melaporkan kepada BBC bahwa Hamas telah mengerahkan ribuan personel untuk merebut kembali kendali atas wilayah-wilayah yang baru-baru ini ditinggalkan oleh pasukan Israel.

Namun, Hamas membantah memiliki niat untuk kembali mengambil alih kendali penuh atas Gaza.

Konflik Internal: Bentrokan Antara Hamas dan Klan Lokal

Setelah gencatan senjata, bentrokan keras pecah antara pejuang Hamas dan anggota klan tertentu, mengakibatkan puluhan korban tewas dan luka-luka. Trump, dalam kunjungannya ke Timur Tengah, mengklaim bahwa Hamas telah menerima lampu hijau untuk melakukan “operasi keamanan internal” di Gaza.

Trump menambahkan bahwa Hamas ingin “menghentikan masalah” dan telah “diberi wewenang untuk melakukannya secara sementara”. Namun, ia kemudian mengklarifikasi bahwa “kami” dalam pernyataannya tidak mengacu pada pasukan AS.

Analis Palestina, Jihad Harb, kepada BBC mengatakan bahwa masa depan Gaza hanya memiliki dua pilihan: membiarkan Hamas mengendalikan Jalur Gaza dengan persetujuan Israel, atau secara bertahap mengalihkan kewenangan kepada Otoritas Palestina (PA)—meskipun opsi ini ditolak oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Dukungan Israel Terhadap Klan Lokal

Pada bulan Juni, Netanyahu mengindikasikan bahwa Israel telah “mengaktifkan klan” di Gaza untuk melawan Hamas. Hamas menuduh klan-klan tersebut bekerja sama dengan Israel.

Menanggapi laporan bahwa Israel memberi senjata kepada kelompok pimpinan Yasser Abu Shabab, Netanyahu membela diri, “Apa yang salah dengan [pemberian senjata] ini?” dalam sebuah video di X. Ia berdalih bahwa tindakan tersebut semata-mata demi menyelamatkan nyawa tentara Israel.

Pandangan di Israel Terhadap Peran Hamas

Jurnalis Israel, Eli Nissan, kepada BBC News Arabic mengatakan bahwa ia tidak melihat adanya peran bagi Hamas dalam pemerintahan Gaza di masa depan. “Bukan hanya karena sikap yang berlawanan dengan Israel, tetapi juga karena ketidakpuasan penduduk Gaza setelah dua tahun perang,” ujarnya.

Sikap resmi Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu adalah menolak pemberian peran apa pun bagi Hamas dalam pemerintahan Gaza. Israel juga menentang kembalinya Otoritas Palestina (PA) untuk mengelola Gaza.

Posisi ini semakin menguat setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang, yang kemudian disusul aksi militer Israel yang menewaskan sedikitnya 67.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.

Netanyahu dan Rencana Pengalihan Kekuasaan ke “Pasukan Arab”

Dalam wawancara dengan *Fox News* pada bulan Agustus, sebelum kesepakatan gencatan senjata tercapai, Netanyahu mengungkapkan bahwa Israel berencana mengambil kendali penuh atas Gaza dan kemudian menyerahkannya kepada “pasukan pemerintahan Arab” yang tidak disebutkan namanya.

Netanyahu mengatakan bahwa Israel bermaksud menyerahkan pemerintahan Gaza kepada “pasukan Arab yang akan menjalankannya dengan benar, tanpa menimbulkan ancaman bagi kami, sekaligus menjamin kehidupan yang layak bagi penduduk Gaza.”

Otoritas Palestina: Harapan atau Hambatan?

Otoritas Palestina (PA) saat ini mengendalikan Tepi Barat dengan kewenangan terbatas. Dalam rencananya, Trump membayangkan Otoritas Palestina akan mengambil alih kendali Gaza.

Menurut rencana tersebut, hal ini akan terjadi setelah Otoritas Palestina menyelesaikan program reformasi “sebagaimana diuraikan dalam berbagai proposal, termasuk rencana perdamaian Trump pada 2020 dan inisiatif (perundingan damai yang digagas) Saudi-Prancis.” Reformasi yang diinginkan AS mencakup pengurangan dugaan korupsi oleh Otoritas Palestina.

PA sendiri menyambut baik inisiatif Trump. Perdana Menteri Otoritas Palestina, Mohammad Mustafa, kepada kantor berita *Reuters* mengatakan, “Kami sudah ada di sana [di Gaza]”, seraya menekankan bahwa “pengaturan internasional untuk bantuan dan pemantauan adalah satu hal, tata kelola dan pengiriman sebenarnya adalah hal lain”.

Ia menambahkan bahwa banyak negara, termasuk negara-negara Arab, percaya bahwa Otoritas Palestina harus “bertanggung jawab” atas Gaza karena itulah “satu-satunya cara praktis untuk menyelesaikan masalah”.

Visi Trump untuk Gaza: Dulu dan Sekarang

Donald Trump berulang kali menegaskan bahwa Hamas harus dikalahkan untuk mengakhiri konflik, tetapi seiring waktu visinya untuk masa depan Gaza pasca-perang telah bergeser.

Sebelumnya, Trump melontarkan ide mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”, lengkap dengan resor hotel, serta merelokasi penduduk ke Mesir atau Yordania. Ide-ide ini tidak ada dalam rencana terbarunya.

Namun, bagaimana dengan detail rencananya? Siapakah para teknokrat Palestina yang dimaksud? Dan apa yang kita ketahui tentang “Dewan Perdamaian”?

Rencana Trump tidak memberikan rincian yang jelas tentang badan internasional ini, meskipun media telah menyebarkan nama-nama tokoh non-Palestina yang diyakini dipertimbangkan untuk menjadi anggota. Belum ada konfirmasi resmi yang dikeluarkan, dan Trump baru-baru ini mengatakan ia tidak yakin apakah Tony Blair “cukup populer untuk peran tersebut”.

Saat bepergian ke Timur Tengah, Trump menghindari memberikan jawaban langsung atas pertanyaan BBC tentang pasukan multinasional tersebut. Dia hanya mengatakan:

“Ini akan menjadi pasukan yang besar dan kuat. Ini tidak akan sering digunakan, karena orang-orang akan berperilaku dengan baik.”

Ia menambahkan bahwa “Dewan Perdamaian” yang mengawasi transisi Gaza “akan siap sesegera mungkin.” Ketika ditanya tentang solusi dua negara, Trump menjawab:

“Banyak orang lebih suka satu negara, beberapa lebih suka dua negara. Kita lihat saja nanti. Saya belum berkomentar tentang itu.”

Peran Mediator: Mesir dan Qatar

Mesir dan Qatar—dua mediator utama dalam konflik ini—telah mendukung kerangka kerja internasional yang dikenal sebagai Deklarasi New York. PBB mengadopsinya sebagai bagian dari upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan memajukan solusi dua negara.

Deklarasi New York menyerukan pembentukan komite administratif transisi di Gaza di bawah naungan Otoritas Palestina. Deklarasi ini menekankan bahwa tata kelola dan penegakan hukum di seluruh wilayah Palestina—termasuk Gaza—harus berada di tangan Otoritas Palestina.

Visi ini sejalan dengan pernyataan pejabat Mesir dan Qatar yang mengaitkan masa depan Gaza dengan pembentukan negara Palestina.

Apakah Otoritas Palestina akan mendapatkan kesempatan untuk membuktikan seberapa sukses mereka dalam mengelola Gaza? Itu akan bergantung pada banyak faktor di luar kendali mereka saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *