
Warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, menggugat korporasi penyedia bahan bangunan terkemuka, Holcim, atas perkara krisis iklim. Permohonan gugatan mereka diterima di Pengadilan Kanton Zug, Swiss—sebuah babak baru dalam menjemput keadilan.
Kondisi Pulau Pari saat ini berbeda dengan dua dekade silam manakala Asmania pertama kali menginjakkan kakinya. Asmania berkisah bahwa dulu ekosistem di pulau itu masih cukup terjaga.
Segala jenis biota laut, mulai dari ikan, udang, kerang, hingga rajungan, tersebar di berbagai sudut; tumbuh baik sekaligus subur. Mendapatkannya pun bukan perkara sulit.
“Sekarang sudah mulai tidak ada,” kata Asmania dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Selasa (23/12).
Penyebabnya, menurutnya, yaitu kombinasi antara sejumlah aktor: abrasi, banjir rob, serta geliat pembangunan yang wajahnya bisa disimak melalui reklamasi untuk pendirian resor pariwisata.
“Dulu, [di] pulau ini enggak pernah abrasi sampai segitunya. Kalau sekarang, setiap bulan pasti abrasi,” imbuh Asmania.
“Sementara banjir rob juga sering terjadi. Bahkan di bulan kemarin itu, November, dalam satu bulan terjadi tiga kali rob.”
Munculnya masalah-masalah tersebut, tak pelak, membikin penghidupan masyarakat di Pulau Pari perlahan terkikis, Asmania meyakini.
“Kebetulan saya juga punya tambak ikan. Tambak ikan itu, biasanya, kami bisa panen delapan atau sembilan bulan sekali,” jelasnya.
“Nah, sekarang itu sudah enggak bisa.”
Asmania pernah menyebar kurang lebih 1.000 benih ikan kakap balong atau kerapu. Hasilnya, “selalu mati,” dia menegaskan.
Kenyataan itu “sangat berdampak” bagi masyarakat di Pulau Pari secara keseluruhan lantaran mayoritas dari mereka mengandalkan isi laut guna menyambung nasib.
Pemandangan tidak jauh berbeda ditemukan saat warga mengembangkan budidaya rumput laut. Kualitas rumput laut yang masyarakat kelola “tidak sebagus masa lampau,” sebut Asmania.
Di tengah kegamangan yang menyelimuti hari-hari sebab tekanan yang menyerang Pulau Pari, Asmania kini mampu sedikit tersenyum.
Dalam beberapa tahun terakhir, dia bergabung dengan kelompok warga yang berupaya mencari solusi terhadap keberlangsungan Pulau Pari.
Tak ingin situasi di Pulau Pari bertambah gelap, mereka mengambil keputusan menggugat korporasi internasional yang dianggap berkontribusi memperparah efek krisis iklim lewat emisi karbon.
Berjarak lebih dari 10.000 kilometer dari Pulau Pari, pengadilan di kota di Swiss, Zug, mengabulkan seluruh permohonan gugatan Asmania beserta tiga warga lainnya. Dengan demikian, jalan untuk pemeriksaan ke pokok perkara, cepat atau lambat, bakal terbuka lebar.
“Ini kemenangan pertama, dan saya pribadi berharap bisa lahir kemenangan-kemenangan berikutnya,” tandas Asmania.
‘Kita dapat membawa masalah ini ke ranah hukum’
Pada 2015, petani asal Peru bernama Saúl Luciano Lliuya mengajukan gugatan melawan perusahaan energi Jerman, RWE.
Pangkal masalahnya adalah Saúl memandang emisi karbon yang dikeluarkan dari operasional RWE menyumbang porsi signifikan dalam mencairnya gletser—bongkahan es—di Peru.
Tatkala itu dibiarkan, gletser bakal berubah wujud menjadi gelombang banjir yang kelak menenggelamkan kampung halamannya di Huaraz.
Empat tahun setelah Saúl, giliran koalisi organisasi lingkungan dan lebih dari 17.000 warga Belanda yang menempuh aksi serupa kepada korporasi minyak Shell.
Poin gugatannya yaitu meminta Shell menurunkan emisi karbon sampai 45% pada 2030 dan menyentuh nol di 2050—sejalan dengan Perjanjian Iklim Paris.
Kelompok penggugat menyatakan emisi karbon yang diciptakan Shell bertentangan dengan upaya mitigasi krisis iklim sekaligus melanggar hak asasi manusia.
Kedua gugatan yang dilayangkan tersebut gagal berakhir dengan kemenangan.
Kendati begitu, kehadirannya menginspirasi langkah sejenis di Indonesia, tepatnya dalam kasus di Pulau Pari.
“Ini memang kami mau melihat bahwa ini, ternyata, ada klasifikasi bisnis [yang bisa digugat]. Yang memang emisi terbesarnya ada di minyak, gas, kemudian energi. Dan yang terakhir adalah semen,” papar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Suci Fitriah Tanjung, kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/12).
WALHI sendiri merupakan organisasi nonpemerintah yang mendampingi masyarakat Pulau Pari.
Tali relasi WALHI dengan warga terdampak di Pulau Pari terikat setidaknya sejak 2015.
Kala itu, WALHI menemani penduduk dalam menghadapi isu konflik agraria berupa privatisasi lahan di sekitar Kepulauan Seribu.
Perlahan, jangkauan masalahnya meluas hingga krisis iklim karena warga di Pulau Pari mulai merasakan dampak nyatanya.
Edukasi yang senantiasa ditekankan adalah apa yang dialami masyarakat—banjir rob, abrasi, atau jenis kerusakan lainnya—bukan “sesuatu hal yang alami melainkan akumulasi emisi karbon yang besar,” ungkap Suci.
Suci mengatakan intensitas advokasi maupun membangun strategi untuk merespons permasalahan krisis iklim terbangun pada 2019.
Dua tahun berselang, WALHI memberi sinyal kepada warga Pulau Pari: kita bisa menarik persoalan ini ke ranah hukum.
“Ada peluang untuk bisa menggugat. Kemudian kami melihat, juga mengaitkannya dengan kerugian, kerusakan, yang diterima masyarakat Pulau Pari,” terang Suci.
“Akhirnya, dari situ, masyarakat siap.”
Seperti gugatan pada umumnya, terdapat subjek hukum yang mesti dipenuhi. Proses diskusi WALHI dan masyarakat Pulau Pari mengerucut ke satu nama: Holcim.
Pemilihan Holcim, perusahaan semen dari Swiss, telah melewati rangkaian assesment yang cukup panjang, menurut keterangan Suci. Termasuk di dalamnya perihal penilaian risiko.
“Bukan kemudian diputuskan bahwa ini langsung kita gugat Holcim saja, begitu,” ucapnya.
Salah satu rujukan yang dijadikan bahan pengambilan keputusan ialah riset keluaran Climate Accountability Institute.
Dalam penelitian itu dijelaskan Holcim merupakan satu dari ratusan korporasi global penyumbang emisi karbon terbesar.
Skala operasi Holcim yang sangat masif, mencakup lebih dari 200 pabrik maupun penggilingan di seluruh dunia, berbanding lurus dengan permintaan akan kebutuhan untuk infrastruktur.
Semakin kencang laju pembangunan, emisi karbon yang dilepaskan juga sangat tinggi—dan Holcim dianggap memegang peran krusial di sini.
Setelah pemilihan Holcim rampung, WALHI dan masyarakat Pulau Pari lalu merumuskan isi dari gugatan yang hendak dijalankan.
Ada tiga substansi yang dikemukakan, mengacu mekanisme yang termaktub di Perjanjian Iklim Paris—adaptasi, mitigasi, serta loss and damage.
Pertama, di level mitigasi, penggugat mendesak Holcim untuk mengurangi emisi karbon sampai 69% per 2040.
Kedua, adaptasi, Holcim diminta membantu masyarakat di Pulau Pari dalam mengembangkan mangrove serta pelindung pantai yang basis pembangunannya tidak menggunakan semen.
“Dan yang ketiga yakni ganti rugi kepada masyarakat yang mengalami kerugian dengan sejumlah rupiah yang sebenarnya juga enggak besar,” ucap Suci.
Mengapa melayangkan gugatan ke Swiss?
Materi gugatan ini diserahkan ke otoritas pengadilan di Swiss pada 2023.
Alasan mengapa Swiss, bukan Indonesia, sebagai lokasi gugatan diklaim Suci lantaran Swiss mempunyai undang-undang keadilan iklim. Sedangkan di Indonesia, aturan serupa belum ditemukan.
Keberadaan beleid itu dipercaya Suci “memberi peluang untuk menang.”
“Walaupun hakimnya sendiri, sebetulnya, masih struggling untuk bisa memahami konteks keadilan ini,” tambah Suci.
“Nah, ternyata apa yang dituntut dari para penggugat itu seluruhnya dikabulkan atau seluruhnya diakui. Jadi artinya ini adalah strategi yang jitu.”
Selain faktor instrumen legal, penetapan Swiss sebagai tujuan pemrosesan gugatan juga diambil berlandaskan bahwa Holcim berbasis di sana sehingga—harapannya—apa yang ditempuh masyarakat Pulau Pari “dapat menarik mata dunia internasional,” sambung Suci.
Bagi Suci, gugatan ke Holcim adalah “bentuk pertanggung jawaban dan akuntabilitas perusahaan yang harus dituntut.”
Pengaruh aktivitas perusahaan telah meninggalkan efek yang tidak sedikit kepada masyarakat di pulau-pulau kecil, ungkap Suci.
Holcim: ‘Kami akan mengajukan banding’
Dalam tanggapan resmi yang dikirimkan ke BBC News Indonesia, pihak Holcim mengatakan “telah mengantisipasi putusan semacam ini” serta “akan mengajukan banding.”
Holcim menegaskan ruang pengadilan “bukan forum yang sesuai untuk membahas tantangan global seperti krisis iklim,” di samping menambahkan urusan penanggulangan emisi gas karbon “menjadi kewenangan legislatif dan bukan pengadilan perdata.”
“Kami tidak dapat berkomentar lebih lanjut tentang proses hukum yang sedang berlangsung,” ucap mereka.
Terpisah dari konteks gugatan warga Pulau Pari, Holcim mengaku “berkomitmen penuh” guna mewujudkan nol emisi pada 2050 mendatang dengan “keberlanjutan sebagai nyawa dari strategi kami.”
“Kami mengikuti pendekatan berbasis sains yang ketat untuk mencapai nol emisi yang selaras dengan jalur 1,5°C, yang target jangka pendek maupun panjang divalidasi secara eksternal oleh inisiatif Target Berbasis Sains (SBTi),” ujar perusahaan.
Holcim percaya perusahaan sudah mengupayakan yang ideal dalam rangka pencegahan dampak krisis iklim, terbukti lewat penghargaan yang diberikan lembaga pemeringkat independen tersohor, Carbon Disclosure Project (CDP), atas langkah-langkah keberlanjutan.
“Laporan tahunan Holcim, secara transparan, telah mengungkapkan detail tentang kemajuan dekarbonisasi dan peta jalan nol emisi selama lebih dari dua dekade. Fokus kami tetap pada percepatan dekarbonisasi lingkungan melalui inovasi sekaligus solusi berkelanjutan,” tutup Holcim.
‘Kami yang menanggung semua dampaknya’
Edi Mulyono tidak mampu menyembunyikan kegembiraannya tatkala pengadilan di Swiss mengabulkan permohonan gugatan masyarakat Pulau Pari.
Diterimanya gugatan warga menandakan “hak asasi kami dihargai,” sebut Edi, yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan.
Memori Edi seketika mengajak mundur ke belakang, sekira tujuh tahun yang lalu, saat banjir rob diakuinya mulai menggulung dengan dahsyat.
Kemunculan banjir rob, sejak waktu itu, kemudian serupa kepahitan yang mesti ditelan masyarakat Pulau Pari dari tahun ke tahun.
“Kerugiannya, buat kami, warga enggak bisa menggunakan sumur yang tadinya dipakai untuk mandi, cuci piring, sampai memasak karena airnya menjadi kotor,” ceritanya.
Belum beres masalah banjir rob, Edi beradu dengan persoalan lain: cuaca ekstrem. Imbasnya, nelayan di Pulau Pari kesusahan mencari ikan.
Kedatangan wisatawan, yang notabene penyangga perekonomian warga di luar melaut, turut terpukul.
Edi membandingkan realita hari ini dengan masa lalu yang menurutnya sangat berlawanan.
Apabila dulu masyarakat Pulau Pari menjalani rutinitas dengan tenang tanpa takut banjir rob, sekarang sebaliknya. Warga Pulau Pari seperti diapit ketidakpastian.
Atas apa yang terjadi, Edi paham ke mana telunjuk diarahkan.
“Perusahaan-perusahaan besar memang berkontribusi terhadap emisi, dan mereka harus mengurangi emisinya. Karena kalau tidak kami, masyarakat kecil, yang menanggung semuanya,” tegas Edi.
Ilmuwan mempercayai peningkatan emisi gas karbon yang dikeluarkan oleh energi fosil maupun gemuruh pembangunan berpengaruh terhadap lahirnya kenaikan permukaan air laut, gelombang tinggi, sampai banjir rob.
Di Pulau Pari, mengacu temuan Greenpeace Indonesia dan The SMERU Research Institute, abrasi serta banjir rob adalah keniscayaan.
Pantai Bintang, yang terletak di barat Pulau Pari, ambil contoh, mengalami abrasi sejauh delapan sampai sembilan meter sejak 2019. Intensitas banjir rob besar didapati melonjak dengan kuantitas 2 hingga 3 kali dalam setahun.
Konsekuensi dari akumulasi peristiwa tersebut ialah “kerusakan pantai, fasilitas wisata, dan gangguan ekonomi,” tulis Greenpeace Indonesia serta SMERU.
“Intrusi air asin akibat banjir rob memaksa warga membeli air bersih untuk kebutuhan harian. Dampak abrasi dan banjir rob juga signifikan dirasakan di Pantai Rengge dan beberapa warung di Pantai Perawan,” imbuh kedua organisasi itu.
Dalam kacamata yang lebih lebar, kerentanan tidak sekadar dirasakan Pulau Pari, melainkan pulau-pulau kecil atau sedang di Indonesia.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan sebanyak 115 pulau berukuran kecil dan sedang berpeluang lenyap pada 2100. Satu dari sekian pemicunya: meningginya permukaan air laut.
Sayangnya, masalah yang mengintai pulau-pulau kecil tidak berhenti di krisis iklim.
Digempur pembangunan
Catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menunjukkan sekitar 226 pulau kecil mengalami privatisasi per pertengahan 2023.
Privatisasi ini digalakkan demi memenuhi kepentingan pariwisata, konservasi, sampai pertambangan.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyodorkan 218 izin usaha pertambangan “telah mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia.” Luas konsesinya menyentuh di atas 250.000 hektare.
Jatam menyatakan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil merupakan rupa eksploitasi yang “memperparah kerentanan alami yang dihadapi masyarakat pesisir—krisis iklim dan bencana alam.”
Dampak yang terang terlihat dari operasional tambang di pulau kecil ini, mengacu Jatam, meliputi pencemaran air tanah sampai laut, tergerusnya produksi pangan, perampasan lahan, hingga hilangnya wilayah tangkap nelayan.
“Beberapa contoh atas ini terjadi di Pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara), Pulau Gebe, Gee, Pakal, dan Mabuli (Maluku Utara), Pulau Gag (Papua Barat), dan Pulau Bunyu (Kalimantan Utara),” jelas Jatam.
Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor, Yoppie Christian, menambahkan pengelolaan atas pulau-pulau kecil, secara garis besar, senantiasa dilihat melalui dua sudut pandang terhadap nilai dalam suatu aset: tukar dan guna.
Dalam konteks “nilai guna,” pulau-pulau kecil dimanfaatkan untuk menunjang ekosistem sampai melindungi dari abrasi—pengikisan air laut.
“Nah, pemerintah lalu melihat daripada tidak diapa-apakan, tidak menghasilkan apa-apa, pulau-pulau kecil itu disewakan, dijual, dikelola dengan swasta sehingga sebagai aset, mereka bisa punya nilai tukar,” papar Yoppie kala diwawancarai BBC News Indonesia.
Dari sini, kebijakan yang dikeluarkan, pada akhirnya, menjustifikasi cara pandang itu.
Ketentuan pembagian porsi 70% dan 30% yang ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), sebagai contoh, dinilai tidak seimbang, ucap Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati.
Pasalnya, dia menuturkan, “70%—untuk swasta—itu bukan angka sedikit.”
“Kalau satu pulau, katakanlah, 70% dimiliki [pihak] privat, otomatis nyaris 70% itu [membuat] nelayan tidak bisa singgah di sekitar area itu,” imbuhnya.
“Sudah pasti mereka akan diusir.”
Eksistensi pulau-pulau kecil, Yoppie menyatakan, dipengaruhi oleh lanskap yang sempit dengan daya dukung masing-masing pulau yang tidak sama antara satu dan lainnya.
Alhasil, pemberian jatah 70-30 menunjukkan betapa ketentuan tersebut “masih mengikuti logika pengelolaan tanah di kota [darat],” tandas Yogi.
Hitung-hitungan untung serta rugi menempatkan nelayan serta ekosistem lingkungan di pulau-pulau kecil sebagai elemen yang paling terdampak.
Bagi nelayan, ruang gerak mereka dalam menangkap ikan kian terjepit. Lalu pembangunan yang timbul berkat penguasaan terhadap tanah di pulau-pulau kecil membikin aspek ekosistem menjadi terancam.
Riset berjudul Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil (2018) yang disusun Yoppie beserta dua koleganya, Arif Satria dan Setyawan Sunito, menerangkan pulau-pulau kecil mempunyai karakter yang berbeda dengan wilayah lain berupa “keterpisahan” (insularitas) dari daratan utama.
Dari sisi biodiversitas, “keterpisahan” memengaruhi sumber daya hayati di pulau-pulau kecil menjadi bernilai lebih tinggi. Sementara dari aspek sosial, “keterpisahan” merupakan kerentanan berskala besar.
“Ketika kerentanan ini bertemu dengan kuasa dan orientasi yang memandang kekayaan hayati sebagai komoditas, maka kekayaan ekologis tersebut bisa jadi akan menghadapi tekanan,” tulis penelitian itu.
Pembangunan yang dominan mengarah ke profit, lanjut riset Yoppie, hanya kian meletakkan pulau-pulau kecil dalam periferi—tepi atau batas luar suatu objek—perluasan “pertumbuhan kota yang memiliki tingkat risiko yang tinggi.”
Yoppie berpandangan eksploitasi pulau-pulau kecil—termanifestasi dengan penambangan nikel, kemunculan resor, sampai reklamasi—merupakan bagian dari agenda pembangunan pemerintah dan kepentingan kapital yang telah solid bersekutu pasca-1998.
“Sebelumnya kita melihat bagaimana hutan hujan tropis dikeruk habis-habisan, lalu diteruskan ke hutan-hutan di dataran rendah yang mayoritas untuk keperluan [perkebunan] sawit. Makin ke sini, trennya berubah lagi ke pesisir,” jelasnya.
“Kini, kita melihat pulau-pulau kecil jadi sasaran tembak karena secara potensial begitu tinggi.”
Situasi bertambah runyam belaka tatkala, Yogi berpendapat, “pemerintah tidak pernah menjalankan regulasi secara konsekuen.”
Bahwa, secara garis besar, pulau kecil ialah ruang khas yang membutuhkan perlindungan.
Susan mencontohkan kondisi di sekitar Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang, menurut pengamatannya, “sudah diprivatisasi dan rata-rata itu adalah hasil reklamasi.”
“Jadi mereka ambil pasir, karang, dari sekitar pulau. Kemudian mereka membuat daratan baru. Terus kemudian apakah negara pernah mengawasi resor-resor nakal ini? Tidak pernah sama sekali. Itu masalah sebenarnya,” ucap Susan.
Kebijakan pembangunan secara masif, beserta efek buruk yang mengiringinya, diprediksi Yoppie bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang, sekaligus menjadi wajah keberpihakan pemerintah yang pro-pengusaha dan aliran modal.
Dalam taraf tertentu, ketika semua saluran sudah dijajaki dan tidak ada lagi hasil yang memuaskan, pemerintah maupun korporasi, ucap Yoppie, akan mengurai pintu-pintu lain yang bahkan tujuan utamanya bukan untuk merusak, melainkan melestarikan.
Yoppie menyebutnya sebagai green grabbing, metode atau pola perampasan ruang hidup dengan topeng segala hal yang ‘hijau’—membawa jargon transisi energi terbarukan serta mitigasi krisis iklim.
Sumber pendapatan utama bagi masyarakat Pulau Pari ialah tangkapan ikan, Asmania memberi tahu BBC News Indonesia.
Hasil melaut, dia melanjutkan, terbukti menopang kehidupan warga secara turun-temurun.
Tapi, berbagai permasalahan yang dihadapi warga membuat saluran pemasukan ekonomi kian terjepit, dan sebagai resultannya dia beserta para perempuan di Pulau Pari mesti berjibaku dengan berbagai usaha menjemput kesempatan.
“Ketika kalau enggak berpenghasilan, berarti untuk biaya hidup jadi nunggak dulu,” ungkapnya.
Pintu tambahan uang terbuka melalui pekerjaan mencari kerang atau berdagang makanan. Selama dapat menghasilkan pendapatan, para perempuan di Pulau Pari akan menjalaninya.
Pada saat bersamaan, para perempuan di Pulau Pari tetap dipasrahi ‘tugas’ domestik seperti mengurus kebutuhan anak serta rumah.
Di titik ini, Asmania mengaku punya “beban ganda.”
“Karena harus ngurus ini dan itu secara bersama-sama. Terkadang capek, tapi kalau tidak begini juga susah buat bertahan,” responsnya.
Bertahun-tahun Asmania melawan situasi di Pulau Pari yang disebutnya “menjauhkan masyarakat dari keadilan,” tidak terkecuali ketika dia turut serta dalam melayangkan gugatan kepada korporasi besar yang ditudingnya berperan atas nelangsa banyak orang.
Secara prinsip, dia tak pernah keberatan melakoninya lantaran yang diperjuangkan mencakup urusan hidup dan mati.
Dia berharap keadaan segera membaik, dan cara mewujudkan itu, menurut Asmania, tidak kelewat sulit, asalkan para pemegang kekuasaan dan pemodal benar-benar menghormati keberadaan orang ‘kecil’ sepertinya.
“Seharusnya setiap pembangunan itu, kebijakan-kebijakannya, berpihak kepada nelayan atau penduduk setempat,” pungkas Asmania.
- Kisah perempuan adat Yenbuba merestorasi terumbu karang Raja Ampat yang rusak akibat insiden Caledonian Sky tujuh tahun lalu
- Nasib puluhan pulau kecil selain Raja Ampat yang terancam tambang
- Kisah perempuan Papua di balik peristiwa viral Save Raja Ampat – ‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
- Jakarta akan tenggelam: Sepuluh cara yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim
- Banjir rob dengan ketinggian ‘sangat ekstrem’ melanda pantai utara Jawa – ‘Inilah tolok ukur mitigasi pemerintah’
- Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan
- ‘Ekosida’ di Pantura: Pengembangan industri ancam pesisir utara Jawa makin cepat tenggelam – ‘Banjir sudah puluhan tahun, ini pembiaran sistematis’
- Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan
- Warga kampung kota di utara Jakarta mencari pantai, sekaligus keadilan
- ‘Ekosida’ di Pantura: ‘Kongkalikong’ yang menggerus ruang hidup warga pesisir utara Jawa
- ‘Ekosida’ Pantura: Bagaimana konversi lahan tani ke industri membunuh mimpi swasembada pangan
- ‘Dunia semakin dingin’ dan empat mitos iklim lainnya yang viral di media sosial, mana yang benar?
- Enam hal yang perlu diketahui tentang suhu Bumi yang semakin panas
- Ancaman siklon tropis di Bali-Nusa Tenggara – Bagaimana persiapan dini yang perlu dilakukan?
- Bagaimana kaum muda Indonesia melawan perubahan iklim
- ‘Tamatnya bumi akibat iklim’ termasuk kebinasaan manusia tidak dipandang cukup serius, kata para ilmuwan
- Kisah keluarga yang bertahan sendirian di tengah desa yang tenggelam
- Gletser-gletser di dunia mencair lebih cepat akibat perubahan iklim
- Pagar laut ‘misterius’ sepanjang 30 kilometer di pesisir Tangerang, apakah kelanjutan proyek reklamasi di Jakarta?
- Tambang emas ilegal di Pulau Sangihe ‘makin masif beroperasi’ – ‘Air laut dulunya jernih, sekarang keruh’
- Warga bersihkan Laut Jawa yang tercemar tumpahan minyak dan gas: Warga ‘Nganggur, rumah perlu biaya hidup’
- Proyek ratusan vila di Pulau Padar – ‘Warga sakit hati karena peminggiran bertahun-tahun’
- Nasib warga di megaproyek ‘hijau’ terbesar dunia di Kalimantan – ‘Jangan mati dulu, kuburanmu nanti digusur’
- MK tolak dalil perusahaan nikel, DPR dan pemerintah – ‘Aktivitas tambang tak boleh masuk pulau kecil’
- ‘Penderitaan dan kerusakan lingkungan’, nelangsa warga dan alam di wilayah lingkar tambang
- ‘Perusahaan masuk tanpa penjelasan, jadi kami anggap mereka sebagai pencuri’ – Apakah pertambangan sejahterakan orang asli Papua?
- Segudang masalah ‘ancam’ pembangunan yang semakin masuk ke laut
- Mengapa kebijakan ekspor pasir laut ditolak pegiat lingkungan dan negara mana yang diuntungkan?
- Jerit warga yang hidup dalam kepungan polutan beracun PLTU
- Gurita tambang mineral milik China: Warga diancam tindakan hukum karena dituding mengganggu Proyek Strategis Nasional



