Nasib Malang Nur Amira: Dicabut Kewarganegaraan, Ditolak Malaysia, Kini Terancam Deportasi dari Indonesia
Nur Amira, seorang wanita berusia 43 tahun, kembali merasakan dinginnya ruang detensi Kantor Imigrasi Agam sejak Jumat (19/09). Status kewarganegaraannya dicabut setelah diketahui bahwa ia adalah warga negara asing (WNA). Ironisnya, setelah dideportasi ke Malaysia, ia justru ditolak oleh otoritas setempat karena data kewarganegaraannya sudah digunakan oleh orang lain. Kini, ia kembali dideportasi ke Indonesia dan terancam dideportasi lagi.
Perempuan yang bekerja di sebuah peternakan burung puyuh di Situjuah, Kabupaten 50 Kota, ini kehilangan kewarganegaraannya setelah Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya dicabut oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Awal mula masalah ini terjadi pada Oktober 2024, ketika Nur Amira dilaporkan sebagai imigran gelap asal Malaysia kepada pihak imigrasi. Menindaklanjuti laporan tersebut, Imigrasi Agam segera melakukan penyelidikan dan memanggil Nur Amira untuk diinterogasi mengenai status kewarganegaraannya.
Kepada petugas Imigrasi Agam, Nur Amira menjelaskan bahwa ia memang berasal dari Malaysia. Namun, ia telah tinggal dan menetap di Payakumbuh sejak 28 tahun silam. “Saya dulu dibawa ke sini oleh ibu saya bersama ayah tiri saya yang memang orang asli sini,” ungkap Nur Amira kepada Halbert Caniago dari BBC Indonesia, Rabu (01/10). “Saat itu umur saya baru sekitar delapan tahun, tepatnya tahun 1996.”
Ia menceritakan bahwa kedua orang tuanya telah berpisah dan ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang pria Indonesia bernama Martius. “Waktu pertama kali datang ke sini, saya memiliki paspor Malaysia dan akta kelahiran yang dikeluarkan oleh rumah sakit di Malaysia,” ujarnya.
Namun, selama bertahun-tahun, Amira tidak pernah melapor ke Imigrasi. Ia mengaku tidak pernah diberi tahu bahwa sebagai seorang WNA, ia wajib melaporkan diri secara periodik.
Sembilan tahun setelah menetap bersama ibu dan ayah tirinya di Payakumbuh, Amira akhirnya mendapatkan KTP saat berusia 17 tahun. “Saya mendapatkan KTP itu pada tahun 2006 setelah masuk dalam Kartu Keluarga (KK) ayah tiri saya,” katanya. Amira dan ibunya, Nuraini, kemudian mendapatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai WNI tanpa melalui prosedur yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
Berbekal KTP tersebut, Amira bahkan sempat berpartisipasi dalam pesta demokrasi di Indonesia. Ia mengaku telah mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) sejak 2009 hingga terakhir pada 2019.
Pada tahun 2009, Amira menikah dengan seorang pria WNI asal Payakumbuh dan dikaruniai seorang putri bernama Zahira. Sayangnya, pernikahan tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 2015, Amira bercerai dan harus membesarkan putrinya seorang diri.
Amira menjalani hidup seperti warga Indonesia pada umumnya, hingga akhirnya status WNA-nya terungkap ke pihak Imigrasi pada tahun 2024. “Saya dilaporkan ke Imigrasi oleh seseorang yang mengetahui status saya, dan saya pun dipanggil,” jelasnya.
Pada Oktober 2024, Amira dijemput di tempat tinggalnya di Situjuah oleh tim Imigrasi Agam. Amira dan ibunya kemudian dibawa ke Kantor Imigrasi untuk diproses. Setelah melalui proses tersebut, Imigrasi Agam mendeportasi Amira pada 25 Oktober 2024, setelah sebelumnya mendeportasi ibunya pada 12 Juni 2024.
Setibanya di Malaysia, Amira berencana mengurus dokumen kependudukannya sebagai warga negara Malaysia. Namun, ia mendapati bahwa data-datanya sebagai warga negara Malaysia telah hilang.
“Menurut pernyataan pemerintah Malaysia saat saya melakukan pengurusan, data tersebut memang ada, tetapi bukan atas nama saya,” ungkap Amira. Ia diminta mencari orang yang telah menggunakan identitasnya untuk membuktikan bahwa data tersebut memang miliknya. “Semuanya sama, hanya saja nama Noor Amira yang ada di data Malaysia itu fotonya bukan saya dan orangnya sudah melakukan pendataan,” jelasnya. Karena tidak mengetahui siapa orang yang telah menggunakan datanya dan di mana orang itu berada, Amira tidak bisa berbuat apa-apa.
Lima bulan terlunta-lunta di Malaysia, nasib buruk kembali menimpanya. “Saya ditangkap oleh polisi pantai di Malaysia yang mencurigai saya sebagai pendatang gelap. Saya dibawa ke kantor polisi dan diperiksa,” tuturnya. Saat pemeriksaan, Amira mengaku sebagai warga negara Malaysia yang telah dideportasi oleh Imigrasi Indonesia pada Oktober 2024.
Namun, polisi tidak mempercayainya dan menggeledah telepon genggamnya. Di sana, mereka menemukan fotokopi KTP Indonesia milik Amira dan langsung menjebloskannya ke penjara. Setelah menjalani persidangan, Amira harus mendekam di penjara Malaysia selama dua bulan karena dianggap sebagai pendatang gelap.
“Mereka juga melakukan pengecekan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru dan menemukan bahwa saya terdaftar sebagai WNI,” tukasnya. Akhirnya, Imigrasi Malaysia mendeportasi Amira kembali ke Indonesia dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang dikeluarkan oleh KJRI Johor Bahru.
Berbekal SPLP tersebut, Amira kembali ke Indonesia melalui pemeriksaan Kantor Imigrasi Yos Sudarso Dumai dan melanjutkan perjalanan ke Payakumbuh. Ia akhirnya tiba di Payakumbuh dan kembali berkumpul dengan putrinya, Zahira, yang telah merindukannya selama enam bulan terakhir. Setelah sampai di Situjuah, Amira kembali bekerja di peternakan burung puyuh.
Namun, masalah baru muncul ketika Amira berencana memindahkan data kependudukannya dari Pemerintah Kota Payakumbuh ke Pemerintah Kabupaten 50 Kota. Saat melakukan pengurusan tersebut, ia mendapati bahwa data kependudukannya telah diblokir. Ia kembali menghadapi masalah kewarganegaraan. Setelah NIK yang ia dapatkan pada 2006 diblokir oleh Dukcapil, Amira resmi tidak memiliki kewarganegaraan.
“Untuk membuka blokir itu, saya disuruh meminta surat keterangan telah menjadi WNI dari Imigrasi oleh Disdukcapil Payakumbuh,” katanya. Karena ingin memindahkan data kependudukannya, Amira mengunjungi Kantor Imigrasi Agam untuk meminta surat keterangan WNI berbekal SPLP dari KJRI Johor Bahru yang telah ia kantongi.
“Saat saya sampai di sana, petugas Imigrasi terkejut melihat saya dan menanyakan kenapa saya bisa kembali lagi ke sini. Saya langsung memperlihatkan SPLP yang diberikan sebelumnya,” katanya. Pihak Imigrasi Agam kemudian meminta Amira menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkan SPLP tersebut.
“Saya ceritakan semuanya sesuai dengan apa yang saya alami kepada petugas Imigrasi Agam. Setelah itu, mereka menyuruh saya pulang dahulu sementara mereka akan mengurus surat yang saya minta,” katanya.
Sebulan kemudian, Amira mendapatkan panggilan dari Imigrasi Agam pada Jumat (19/09). Ia berharap panggilan tersebut terkait dengan surat keterangan WNI yang ia ajukan. Namun, harapannya pupus ketika mengetahui bahwa ia dipanggil bukan untuk menerima surat keterangan WNI, melainkan untuk menerima surat pencabutan SPLP yang diberikan oleh KJRI Johor Bahru.
“Saya kaget SPLP itu dicabut, dan saya langsung ditahan di Imigrasi Agam dan dimasukkan ke dalam ruangan detensi. Saya sangat tidak menyangka akan seperti ini,” katanya. Amira mengaku takut jika ia harus dideportasi lagi, karena datanya sudah tidak berlaku lagi di Malaysia dan seluruh datanya di Indonesia juga telah dicabut. “Saya hanya berharap saya bisa diizinkan tinggal di sini bersama anak saya. Karena anak saya masih membutuhkan sosok ibu. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain saya,” harapnya.
‘Jangan Pisahkan Zahira dengan Mama’
Zahira, putri tunggal Nur Amira yang berusia 15 tahun, sangat tertekan dengan situasi yang menimpa ibunya. Bahkan, remaja yang menjabat sebagai Ketua OSIS di SMPN 1 Situjuah itu memilih untuk tidak bersekolah sementara waktu karena masalah yang dialami ibunya. Siswi berprestasi ini memutuskan untuk tidak mengikuti ujian tengah semester yang sedang berlangsung di sekolahnya.
“Guru Zahira mengizinkan untuk mengikuti ujian nanti saja saat masalah ini sudah selesai supaya Zahira bisa fokus dalam mengikuti ujian dan nilainya nanti tidak terpengaruh,” kata siswi kelas 9 itu. Selain karena tidak fokus belajar, Zahira juga harus menggantikan pekerjaan ibunya di peternakan yang terbengkalai setelah ibunya ditahan oleh Imigrasi Agam. Beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan Zahira antara lain membersihkan rumah, membersihkan kandang burung puyuh, dan mencari rumput untuk makanan kambing.
“Biasanya Zahira membantu bekerja di kafe saja. Tapi sekarang karena mama tidak bisa, Zahira berinisiatif melakukan semua pekerjaan mama,” tuturnya. Zahira menceritakan bahwa ia sudah khawatir sejak ibunya dipanggil oleh petugas Imigrasi Agam. Ia takut ibunya akan kembali ditahan dan bahkan dideportasi. “Perasaan Zahira saat mama pergi ke sana itu sudah tidak enak,” ungkapnya.
Firasat yang ditakutkan remaja juara umum di sekolahnya itu ternyata benar. Amira ditahan di Imigrasi Agam dan tidak kembali lagi ke rumah sederhana mereka di Situjuah. “Mama tidak pulang lagi dan tidak bisa bersama Zahira. Zahira sangat takut kehilangan mama lagi seperti tahun lalu,” katanya sambil menahan tangis. Air mata Zahira akhirnya tumpah saat mengingat keadaan ibunya.
Meskipun sedih, Zahira tetap berangkat ke sekolah keesokan harinya. Ia harus bangun pukul 05.00 WIB untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan ibunya sebelum berangkat ke sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. “Tapi di sekolah Zahira tidak semangat untuk belajar. Selalu teringat tentang mama. Zahira sangat takut kalau mama dideportasi kembali dan meninggalkan Zahira lagi,” katanya.
Karena ingin membantu ibunya, remaja yang ditinggalkan ayahnya sejak kecil itu berinisiatif melakukan sesuatu agar Amira tetap bersamanya dan tidak dideportasi ke Malaysia. “Zahira berinisiatif membuat surat untuk Kepala Imigrasi Agam dan meminta agar mama Zahira tidak dideportasi. Karena hanya mama yang Zahira punya. Kalau mama dideportasi nanti Zahira tinggal sendiri,” tuturnya.
Surat yang dibuat pada 26 September itu tidak hanya ditujukan kepada Kepala Imigrasi Padang, tetapi juga ditembuskan kepada Ombudsman Sumbar dan disebarkan kepada awak media, sehingga kisah ini menjadi viral di media sosial. Zahira dibantu oleh Fadhilla Putri, pemilik Dhila Farm tempat Amira bekerja.
Dhila sedang mengupayakan bantuan dengan menyurati Kementerian Hukum agar dapat membantu menyelesaikan masalah yang dialami Amira. “Selain itu, ada juga teman-teman dari LBH Padang yang membantu untuk mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang dialami oleh Amira saat ini,” katanya.
Kuasa hukum dari LBH Padang, Elfin Mahendra, mengatakan bahwa pihaknya telah menemui Kepala Kantor Imigrasi Agam, Disdukcapil, dan Komnas HAM untuk melakukan koordinasi. “Melihat peristiwa ini, ada beberapa peluang bagi kita. Pertama, klien kami ini memiliki keluarga di sini seperti anak dan dua saudara se-ibu. Kalau dilihat pada pasal 63 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, saudaranya ini nanti akan bisa menjamin klien kami ini,” katanya.
Upaya selanjutnya adalah dengan menyurati lembaga negara serta berkoordinasi dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait izin tinggal Amira di Indonesia. “Yang terpenting, kalau nanti memang dilakukan deportasi, pemerintah harus bisa memastikan kewarganegaraan yang jelas untuk Amira,” tukasnya.
Kantor Perwakilan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sumatra Barat juga terlibat untuk “memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh lembaga negara terhadap Nur Amira”. Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sumbar, Sultanul Arfin, mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kepala Kantor Imigrasi Agam dan Nur Amira untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan dalam proses deportasi atau penindakan lainnya.
Kenapa Imigrasi Agam mendeportasi Amira?
Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Agam, Putu Agus Sugiarto, mengatakan bahwa penahanan terhadap Amira dilakukan karena ia dinyatakan sebagai WNA ilegal yang masuk ke Sumatera Barat. “Pada Oktober 2024 lalu, kami mendapatkan laporan terkait adanya WNA ilegal yang tinggal di daerah Payakumbuh. Setelah itu, tim langsung melakukan pemantauan dan penyelidikan,” katanya.
Putu menjelaskan bahwa Nur Amira, yang bernama asli Noor Amira binti Ramli, adalah warga negara Malaysia. Ia lahir di Melaka, Malaysia, pada 28 September 1988. “Ibu kandungnya bernama Nuraini, warga negara Singapura. Adapun ayah kandungnya bernama Ramli, warga negara Malaysia yang meninggal pada 2012,” katanya.
Menurut Putu, ayah tirinya membawa Nur Amira, ibunya, dan adik tirinya ke Indonesia pada 24 Agustus 1996. Nur Amira, yang saat itu berusia sekitar delapan tahun, masuk ke Indonesia secara resmi dengan paspor Malaysia yang diterbitkan Imigrasi Melaka dengan masa berlaku 12 Agustus 1996 hingga 12 Agustus 2001.
“Selama 28 tahun, Nur Amira tumbuh dan besar di Indonesia. Bahkan, ia mendapatkan KTP sejak 2006 dan KK Indonesia serta menikah secara resmi dengan pria Indonesia di Payakumbuh pada 2009, cerai 2015, dan melahirkan anak bernama Zahira,” lanjutnya.
Setelah mengetahui status WNA Amira, Imigrasi Agam melakukan tindakan dengan mendeportasinya pada 25 Oktober 2024 melalui Bandara Internasional Minangkabau. “Sebelumnya, kami juga telah mendeportasi Nuraini, ibu Nur Amira, ke negara asalnya, Singapura, pada 12 Juni 2024,” lanjutnya.
Setelah melakukan deportasi, Putu mengatakan bahwa Kantor Imigrasi Agam langsung menyerahkan KTP Nur Amira ke Disdukcapil Payakumbuh pada 29 Oktober 2024. “Pada 21 Agustus 2025 lalu, Nur Amira datang ke Kantor Imigrasi Agam untuk meminta surat keterangan WNI sebagai syarat mengaktifkan KTP Indonesia yang telah dinonaktifkan oleh Disdukcapil Payakumbuh,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa Amira kembali ke Indonesia dengan menggunakan SPLP Indonesia yang dikeluarkan KJRI Johor Bahru pada 27 Maret 2025. “Dari pengakuannya, Amira masuk ke Indonesia melalui pemeriksaan imigrasi Yos Sudarso di Dumai,” ujar Putu.
Karena telah mengetahui status WNA Amira, pada 28 Agustus 2025, Kantor Imigrasi Agam bersurat ke KJRI Johor Bahru soal penerbitan SPLP. “Pada 17 September 2025, Kantor Imigrasi Agam mendapatkan surat dari KJRI Johor Bahru pemberitahuan pembatalan dokumen SPLP Nur Amira,” katanya.
Karena hal tersebut, pihaknya langsung memanggil Amira untuk diperiksa terkait pembatalan dokumen SPLP tersebut dan memperoleh keterangan bahwa Amira ditangkap Imigrasi Malaysia di Johor Bahru. “Dari keterangannya, memang sudah mengaku sebagai warga negara Malaysia, tetapi Imigrasi Malaysia di Johor Bahru tidak mempercayai dan mendeportasinya ke Indonesia,” katanya.
Putu mengatakan bahwa pada 30 September 2025, pihaknya mendapatkan email dari Konsulat Jenderal Malaysia di Medan agar Kantor Imigrasi Agam membawa warga negara Malaysia atas nama Nur Amira untuk proses penerbitan *emergency passport*.
“Saat ini kami menunggu Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk menerbitkan dokumen perlakuan cemas yang akan digunakan untuk pendeportasian ke Malaysia,” katanya. Putu menyatakan bahwa dalam waktu dekat, Imigrasi Agam akan memberangkatkan Nur Amira ke Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk pembuatan dokumen perlakuan cemas dan selanjutnya akan dideportasi. “Nanti di sana dia akan mengambil foto biometrik, sidik jari, dan lainnya hingga dokumen perlakuan cemas itu diterbitkan oleh Konsulat Jenderal Malaysia di Medan,” lanjutnya. Namun, Putu belum bisa memastikan kapan pihaknya akan membawa Amira ke Konsulat Jenderal Malaysia tersebut.
Alasan pencabutan KTP Nur Amira
Putu mengungkapkan bahwa pencabutan KTP yang dimiliki Nur Amira memang atas usulan dari Kantor Imigrasi Agam kepada Disdukcapil Payakumbuh. “Kami mengusulkan pencabutan KTP tersebut karena yang bersangkutan tidak melalui tahapan-tahapan untuk menjadi WNI seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006,” katanya.
Putu menegaskan bahwa Nur Amira tidak akan kehilangan kewarganegaraan Malaysianya karena Konsulat Jenderal Malaysia di Medan menyatakan akan mengeluarkan dokumen perlakuan cemas. “Nanti dengan dokumen perlakuan cemas itu bisa digunakan untuk pemulangan kembali ke negara asalnya,” lanjutnya.
Kepala Bidang Pelayanan dan Administrasi Kependudukan (Kabid Adminduk) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Payakumbuh, Ali Imran, mengatakan bahwa pencabutan NIK atas nama Nur Amira dan ibunya, Nuraini, memang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). “Itu memang kami yang mengajukan untuk pemblokiran NIK Nur Amira. Pemblokiran itu kami usulkan lantaran adanya pengajuan dari pihak imigrasi,” katanya.
Dengan diblokirnya NIK milik Nur Amira, ia resmi tidak lagi terdaftar sebagai WNI. Menurutnya, kesalahan yang dilakukan Nur Amira dalam pengurusan KTP sebelumnya adalah karena tidak mengikuti prosedur yang benar. “Untuk menjadi WNI itu kan tidak semudah itu juga. Harus memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) terlebih dahulu selama lima tahun dan harus melapor setiap setahun sekali ke imigrasi. Selanjutnya, seorang WNA harus memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) selama 10 tahun,” katanya.
Setelah itu, seorang WNA baru bisa mengajukan pembuatan KTP WNA. “KTP WNA ini berbeda dengan KTP WNI seperti yang dimiliki oleh Nur Amira. KTP WNA itu warnanya pink, lebih ke oranye. Bukan berwarna biru seperti KTP WNI,” katanya. Menurut Imran, jika telah memiliki KPT tersebut, seorang WNA sudah mendapatkan beberapa hak yang sama seperti WNI, tetapi tetap ada beberapa aturan yang harus diikuti.
“Proses inilah yang tidak dilakukan oleh Nur Amira selama berada di Payakumbuh ini dan langsung mendapatkan KTP WNI seperti yang telah kami ajukan pemblokiran tersebut,” ujarnya. Imran mengakui bahwa KTP yang diperoleh Amira pada 2006 silam adalah kelalaian dari pemerintah pada saat itu yang tidak terlalu teliti dalam melakukan pendataan. “Seperti kita ketahui juga pada saat itu belum ada data terpadu seperti saat ini. Pembuatan KTP juga bisa dilakukan di kantor lurah saja,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa dengan pendataan manual pada tahun 2006 tersebut, Disdukcapil Kota Payakumbuh memberikan undangan kepada Nur Amira untuk melakukan perekaman KTP untuk beralih menggunakan KTP elektronik. “Dari jejak yang kami baca, kemungkinan Nur Amira ini ikut terdata saat perekaman massal yang dilakukan dalam rentang waktu 2010 hingga 2013 lalu,” katanya.
Ali Imran mengungkap Nur Amira selama ini tidak jujur baik kepada pemerintah di Indonesia, maupun kepada pemerintah di Malaysia selama perkara tersebut berlangsung. “Kalau dari informasi yang kami dapatkan, saat ditangkap oleh polisi Malaysia itu dia sedang bekerja di perkebunan sawit dan saat ditangkap dia mengaku WNI dengan menunjukkan gambar fotokopi KTP yang ia simpan di handphone-nya,” katanya. Menurut Imran, hal tersebut yang menjadi landasan bagi imigrasi Malaysia untuk melakukan pendeportasian terhadap Nur Amira hingga KJRI Johor Bahru membuatkan SPLP.
Bagaimana dengan status kewarganegaraan Zahira?
Ali Imran menegaskan bahwa pemblokiran NIK hanya dilakukan terhadap Amira, sementara NIK anaknya, Zahira, diklaim sampai saat ini masih aktif. “Jadi untuk NIK Zahira ini masih aktif dan tidak diblokir. Dia masih bisa mendapatkan haknya sebagai WNI yang sah karena memang dia lahir di sini dan ayahnya juga merupakan WNI,” katanya.
Menurut Imran, Zahira saat ini belum memiliki Kartu Keluarga (KK) karena ia masih berusia 15 tahun dan belum bisa memiliki dokumen itu secara mandiri. “Solusinya nanti nama Zahira ini akan dimasukkan ke dalam KK saudara tiri ibunya itu atau ke KK lain yang mau memasukkan namanya. Karena untuk bisa memiliki KK sendiri itu harus berumur 17 tahun,” katanya.
Imran menegaskan bahwa Zahira tidak akan terdampak dengan pemblokiran NIK ibunya. Dia tetap bisa mendapatkan jaminan kesehatan hingga beasiswa seperti siswa lainnya yang merupakan WNI.
Dibalik itu semua, Ali Imran berharap agar pihak imigrasi tidak terlalu kaku dalam menerapkan aturan terhadap Nur Amira. Karena bisa menerapkan aturan lain. “Kami juga pernah menangani kasus yang hampir sama terhadap warga negara Swiss yang tetap ingin tinggal di Payakumbuh ini,” katanya.
Ia mengungkapkan, solusi yang bisa diberikan adalah dengan adanya penjamin baik itu dari kerabatnya atau dari orang yang berpengaruh di daerah Payakumbuh atau Kabupaten 50 Kota. “Warga Swiss yang sudah berumur 80 tahun itu dijamin oleh seorang datuak di sini dan diberikan oleh pihak imigrasi. Dengan begitu, Kitasnya bisa keluar,” lanjutnya. Tetapi, ia tetap harus melapor ke pihak imigrasi setiap setahun sekali hingga mendapatkan Kitas sebagai pegangannya di Indonesia hingga mendapatkan KTP WNA.
“Kami harap hal ini juga bisa diberlakukan terhadap Nur Amira ini karena kita bisa mempertimbangkan dari segi kemanusiaannya. Anaknya masih kecil dan butuh sosok orang tua yang akan membimbingnya,” harapnya.
Pemerintah harus kedepankan pendekatan kemanusiaan
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Andalas (Unand), Virtuous Setyaka, menyatakan bahwa status Nur Amira masuk dalam *stateless person* atau orang yang dianggap tidak memiliki kewarganegaraan dengan berbagai permasalahan yang menyebabkan seseorang itu tidak memiliki kewarganegaraan. “Yang jadi *concern*-nya itu biasanya kan orang-orang *stateless person* itu adalah hak-hak dasar sebagai seorang manusia atau HAM-nya berkemungkinan besar mengalami evusing atau pelanggaran yang luar biasa,” katanya. “Makanya, sebaiknya menurut saya kewarganegaraan Amira ini segera diperjelas,” lanjutnya.
Menurut dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) tersebut, rencana pendeportasian Nur Amira oleh Imigrasi Agam “kurang tepat”. Hal pertama yang bisa dipertimbangkan menurut Virtuous adalah tentang siapa Amira dan bagaimana selama ini dia tinggal atau hidup di Indonesia.
“Atau ada aspek lain seperti dia punya keluarga. Terutama dia punya anak perempuan yang akan menjadi pertimbangan. Artinya, Imigrasi harus melakukan pendekatan yang lebih manusiawi yang mengakomodir hak-hak dasar dia sebagai manusia,” katanya. Sehingga pihak imigrasi tidak dinilai asal melakukan deportasi saja. Walaupun secara legal formal, pihak imigrasi atau Pemerintah Indonesia mungkin saja mendeportasi Amira, tapi ada hal lain yang harus dipertimbangkan.
Dengan melakukan tindakan tersebut menurut Virtuous, Indonesia akan mendapatkan pandangan negatif di mata dunia. “Karena dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan lebi baik atau lebih bijaksana,” katanya.
Menurut Virtuous, momen ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki citranya dalam mengelola kewarganegaraan. “Meskipun juga ada permasalahan-permasalahan yang dianggap membingungkan atau dianggap dalam beberapa hal merugikan. Tetapi, kalau misalnya justru tidak dikelola dengan sebaik mungkin, secara politis pandangan dunia terhadap Indonesia akan lebih buruk,” sambungnya.
Virtuous mengibaratkan Pemerintah Indonesia yang selama ini peduli dengan problem kemanusiaan di negara lain dan saat ini terjadi di halaman rumah sendiri, bahkan di dalam rumah sendiri malah diabaikan. “Harusnya pendekatan-pendekatan kemanusiaan lebih ditekankan dibanding kita secara kaku melakukan penindakan sesuai Undang-undang yang sebenarnya juga bisa direformasi,” katanya.
Reportase oleh wartawan di Padang, Halbert Caniago
* Cerita WNI yang pindah jadi warga negara Singapura
* Kisah seorang perempuan di Lubuklinggau yang tiba-tiba jadi warga negara Malaysia – ‘Saya kaget kenapa ini bisa terjadi’
* Lima negara menjual paspor dan kewarganegaraan, termasuk untuk WNI – Apa syaratnya?
* Kisah WNI tanpa kewarganegaraan: ‘Warga Indonesia bukan, Malaysia juga bukan’
* Apa yang dimaksud dengan ‘warga negara Indonesia asli’?
* ‘Saya tidak mau mati sebagai orang Indonesia’ – Cerita tiga anak muda Indonesia yang tinggal dan bekerja di Korsel, AS dan Thailand
* WNI ditahan aparat imigrasi AS, Kemlu Indonesia klaim lakukan pendampingan hukum
* Ibu orang Indonesia, bapak warga Malaysia: ‘Saya tak punya status warga negara, tak boleh bersekolah dan takut ditangkap polisi’
* Prabowo sepakat transfer data pribadi warga Indonesia ke AS – Apa saja datanya dan apa risikonya?
* Siapa manusia Indonesia? ‘Tidak ada pribumi atau non-pri, kita semua pendatang’
* Dukungan warga Malaysia dan negara lain untuk aksi di Indonesia – ‘Pemerintah kita sama buruk dan korup’
* Tiga WNI ‘diproses hukum’ di AS dan satu lainnya dideportasi imbas kebijakan Trump – Rizal Mallarangeng keluhkan pemulangan anaknya dari AS
* Pengakuan turis asing bekerja secara ilegal di Bali, ‘ilegal, tentu saja saya mengerti’
* Iklan penjualan rumah di Karimun Jawa untuk WNA, warga lokal khawatir ‘terusir dari kampung sendiri’
* Penemuan warga negara asing di DPT, KPU didesak ‘perbaiki proses verifikasi’
* Pemerasan warga China di Bandara Soetta diharapkan ‘membuka bobroknya birokrasi imigrasi’ — ‘Birokrasi kita ini korup’
* UEA tawarkan kewarganegaraan bagi WNA terampil
* Anak hasil perkawinan campur dipaksa jadi turis di negeri orang tua
* Cerita WNI yang pindah jadi warga negara Singapura
* Kisah seorang perempuan di Lubuklinggau yang tiba-tiba jadi warga negara Malaysia – ‘Saya kaget kenapa ini bisa terjadi’
* Lima negara menjual paspor dan kewarganegaraan, termasuk untuk WNI – Apa syaratnya?