KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar modal Indonesia menghadapi gejolak signifikan saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok tajam 2,94% ke level 8.028,33 pada penutupan sesi I perdagangan Senin (27/10/2025). Kejatuhan ini bahkan lebih dalam, dengan indeks sempat menyentuh koreksi hingga 3,7% selama sesi perdagangan pertama hari itu, mencerminkan sentimen jual yang kuat di kalangan investor.
Menanggapi fenomena tersebut, Fundamental Analyst BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menganalisis bahwa penurunan IHSG yang melebihi 3% di awal sesi didorong oleh tekanan jual masif pada saham-saham dari sektor konglomerasi dan perbankan besar. Saham-saham ini, yang dikenal memiliki bobot signifikan dalam pembentukan indeks, menjadi sasaran utama aksi jual tersebut.
Situasi ini diperparah dengan adanya net sell asing yang substansial, mengindikasikan kekhawatiran serius dari para investor global. Kekhawatiran tersebut terutama berkisar pada potensi perubahan bobot saham-saham Indonesia dalam indeks MSCI, jika aturan baru terkait perhitungan free float diimplementasikan. Kondisi ini lantas memicu sentimen risk-off yang mendominasi pergerakan di pasar domestik.
Abida Massi Armand lebih lanjut menegaskan bahwa sentimen seputar MSCI menjadi katalisator utama di balik tingginya volatilitas pasar saat ini. Pasalnya, MSCI sedang dalam proses konsultasi publik untuk merumuskan ulang metode perhitungan free float berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Perubahan ini berpotensi signifikan, terutama bagi saham-saham dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi, di mana porsi free float-nya bisa jadi akan dihitung lebih rendah dari sebelumnya.
IHSG Anjlok Hampir 3% di Sesi I Senin (27/10): BRPT, SCMA, MEDC Jadi Top Losers LQ45
Abida menjelaskan, jika perubahan ini benar-benar diterapkan, konsekuensinya adalah penurunan bobot saham-saham konglomerasi dan emiten besar dalam indeks MSCI. Hal ini tentu dapat mendorong investor institusi global untuk mengurangi alokasi dana mereka di pasar domestik, yang pada gilirannya akan memicu aksi jual berkelanjutan, bahkan sebelum kebijakan tersebut resmi diberlakukan.
Dalam menyikapi kondisi ini, Abida menyarankan agar investor jangka panjang justru melihat koreksi pasar sebagai sebuah peluang. Mereka dapat memanfaatkan momentum ini untuk melakukan akumulasi bertahap pada saham-saham berfundamental kuat yang mengalami koreksi berlebihan, seraya menghindari reaksi berlebihan terhadap fluktuasi pasar dalam jangka pendek.
Di sisi lain, bagi trader jangka pendek dan investor asing, diperlukan kehati-hatian ekstra. Volatilitas pasar diperkirakan akan tetap tinggi hingga MSCI secara resmi mengumumkan metodologi final perhitungan free float tersebut, sehingga strategi yang lebih defensif sangat dianjurkan.
Untuk investor ritel, kunci utamanya adalah fokus pada saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi, kinerja fundamental yang solid, serta manajemen yang transparan. Penting bagi mereka untuk senantiasa menjaga disiplin dalam melakukan analisis dan menerapkan manajemen risiko yang cermat, agar setiap keputusan investasi yang diambil tetap rasional dan terhindar dari keputusan emosional.
Wacana Perubahan Free Float MSCI
Sebagai informasi lebih lanjut, MSCI kini sedang aktif mengumpulkan masukan dari berbagai pelaku pasar modal terkait rencana krusial mereka. Rencana tersebut adalah penggunaan Monthly Holding Composition Report yang dirilis oleh KSEI sebagai referensi tambahan yang lebih komprehensif dalam menghitung free float saham emiten di Indonesia.
Merujuk laporan dari Stockbit Sekuritas, praktik yang berlaku selama ini adalah emiten di Indonesia hanya melaporkan kepemilikan saham lebih dari 5% kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Berbeda halnya dengan data KSEI yang jauh lebih detail, melaporkan kepemilikan di bawah 5% dan menyediakan klasifikasi pemegang saham. Ini memungkinkan gambaran yang jauh lebih akurat dan terperinci mengenai struktur kepemilikan saham, khususnya untuk porsi di bawah 5%.
Di samping usulan penggunaan laporan KSEI sebagai referensi, MSCI juga mengajukan dua opsi dalam menentukan estimasi free float, di mana nilai terendah dari kedua opsi ini akan diambil:
- Pertama, free float yang dihitung berdasarkan data kepemilikan yang selama ini dilaporkan oleh emiten melalui keterbukaan informasi, laporan, dan siaran pers, sesuai dengan metodologi MSCI yang berlaku.
- Kedua, free float yang diestimasi menggunakan data KSEI, yaitu dengan mengklasifikasikan saham berbentuk script (yang tidak tercatat dalam data KSEI) serta kepemilikan ‘korporasi’ (baik lokal maupun asing) dan ‘others’ (baik lokal maupun asing) sebagai kategori non-free float.
Sebagai alternatif tambahan, MSCI juga mempertimbangkan estimasi free float yang secara eksklusif didasarkan pada data KSEI. Dalam skenario ini, klasifikasi saham script dan kepemilikan ‘korporasi’ (baik lokal maupun asing) akan tetap dianggap sebagai non-free float, namun kategori ‘others‘ tidak akan diperhitungkan dalam klasifikasi tersebut.
Penting untuk digarisbawahi, seluruh wacana dan usulan perubahan ini belum bersifat final. Implementasinya masih sangat bergantung pada masukan dan tanggapan dari seluruh pelaku pasar modal yang relevan selama periode konsultasi publik berlangsung.
Periode penerimaan masukan oleh MSCI akan berakhir pada 31 Desember 2025, dengan hasil konsultasi publik dijadwalkan untuk diumumkan sebelum 30 Januari 2026. Apabila proposal tersebut disetujui dan diterapkan, perubahan pada perhitungan indeks akan mulai diimplementasikan pada tinjauan indeks bulan Mei 2026.



