Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Nur Sari Baktiana, dalam persidangan yang digelar Kamis (20/11), mengungkap fakta penting: mantan Direktur Utama (Dirut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, tidak menerima keuntungan pribadi dalam kasus kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP. Putusan ini menjadi sorotan, mengingat implikasinya terhadap vonis yang dijatuhkan.
Selain Ira, dua terdakwa lain, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP 2020-2024, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP 2019-2024, Muhammad Yusuf Hadi, juga dinyatakan bersih dari keuntungan pribadi. “Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan para terdakwa, tidak ditemukan fakta hukum yang membuktikan para terdakwa memperoleh keuntungan pribadi selama KSU dan akuisisi,” tegas Hakim Nur Sari saat membacakan pertimbangannya.
Keterangan pemilik PT JN, Adjie, semakin memperkuat pernyataan tersebut. Dalam kesaksiannya, Adjie mengaku tidak pernah memberikan uang atau barang kepada para terdakwa terkait proses KSU dan akuisisi PT JN. Bahkan, Ira Puspadewi disebut menolak fasilitas hotel dan jemputan yang ditawarkan oleh Adjie, menunjukkan integritasnya dalam proses tersebut.
Penolakan serupa juga dilakukan oleh Harry MAC, yang menolak tawaran handphone dan batik dari Adjie. “Saudara Adjie bahkan menyebutkan bahwa tawarannya untuk memberikan handphone dan batik Madura kepada terdakwa III [Harry MAC], ditolak oleh terdakwa III,” ungkap hakim, memperjelas bahwa tidak ada gratifikasi yang diterima oleh para terdakwa. “Begitu pula terdakwa I [Ira Puspadewi] juga menolak pemberian fasilitas penjemputan dan kamar hotel,” imbuh hakim, semakin menegaskan posisi Ira.
Namun, ironisnya, hakim menilai perbuatan para terdakwa telah memberikan keuntungan luar biasa kepada PT JN dan Adjie. “Namun demikian, sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas, keputusan dan kebijakan yang diambil oleh para terdakwa terbukti secara nyata dan pasti telah memberikan keuntungan luar biasa bagi Saudara Adjie dan PT JN,” kata hakim. Keuntungan ini terutama terkait pengalihan kewajiban PT JN kepada PT ASDP dan harga transaksi akuisisi PT JN yang maksimal.
Akibatnya, hakim berpendapat bahwa Ira dkk terbukti bersalah melakukan korupsi dengan memperkaya orang lain atau korporasi. “Bahwa dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, perbuatan para terdakwa, terdakwa I, terdakwa II, terdakwa III secara kolektif kolegial telah menguntungkan orang lain atau suatu korporasi yaitu Saudara Adjie dan PT Jembatan Nusantara,” lanjut hakim.
Dalam putusan akhir, Ira divonis pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Harry dan Yusuf Hadi masing-masing divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Menariknya, Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Ia berpendapat bahwa tindakan Ira dkk adalah murni keputusan bisnis yang dilindungi oleh prinsip business judgment rule, bukan tindak pidana korupsi. Karena itu, Sunoto berkeyakinan bahwa para terdakwa seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau ontslag, sebuah pandangan yang kontras dengan putusan mayoritas hakim.



