Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mengkaji rencana sanksi baru yang lebih tegas untuk para pelaku pembakaran sampah atau open burning. Tak hanya denda, kini pelaku berpotensi menghadapi sanksi sosial berupa publikasi wajah mereka di ruang publik, sebuah langkah yang diharapkan mampu memberikan efek jera dan mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Rencana ini muncul di tengah temuan serius dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkap adanya partikel mikroplastik berbahaya dalam air hujan di Jakarta. Penelitian tersebut menegaskan bahwa polusi dari pembakaran sampah merupakan salah satu kontributor utama partikel halus di udara, yang berpotensi membawa mikroplastik ke atmosfer dan menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan lingkungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengakui bahwa meskipun jumlah kasus open burning di Ibu Kota relatif lebih sedikit dibandingkan daerah lain, praktik ini tetap menjadi perhatian serius karena dampak besarnya terhadap polusi udara Jakarta. “Memang kalau dari jumlah mungkin dibandingkan dengan tempat lain, daerah lain, open burning di Jakarta itu relatif sedikit tapi memang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang memang sangat-sangat responsif apabila terjadi open burning yang ada di lingkungannya dan kami pasti melakukan tindakan,” ujar Asep dalam sebuah media briefing di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, pada Jumat (24/10).

Sanksi Sosial
Lebih lanjut, Asep menjelaskan bahwa ke depan, Dinas LH DKI Jakarta akan mendalami penerapan sanksi sosial ini. Identitas pelaku pembakaran sampah akan dipertimbangkan untuk ditampilkan melalui media sosial resmi instansi. “Ke depannya kita akan mulai melakukan sanksi sosial di mana memang pelaku dari open burning itu bisa kita berikan sanksi sosial berupa penampakan wajahnya di media-media sosial di Dinas LH,” tegasnya.
Asep berharap, langkah ini akan memberikan dampak positif bagi perubahan kebiasaan masyarakat, terutama mengingat seriusnya dampak pembakaran sampah terhadap kesehatan dan lingkungan. Ia menyadari bahwa bagi sebagian warga, membakar sampah mungkin telah menjadi kebiasaan. Namun, Asep menekankan urgensi untuk menghentikan praktik tersebut. “Walaupun kami menyadari bahwa ada beberapa masyarakat yang memang menjadikan open burning atau bakar sampah itu menjadi sebuah bagian dari kehidupannya, habitnya,” kata Asep. “Tetapi sekali lagi karena memang open burning itu menimbulkan dampak polusi yang sangat luar biasa, mengandung karsinogen. Maka kami harapkan seluruh masyarakat juga menyadari akan hal itu dan tidak lagi melakukan open burning,” lanjutnya, menyoroti bahaya karsinogen yang terkandung dalam asap.

Ide penambahan sanksi sosial ini sebenarnya diinisiasi oleh Profesor Riset BRIN, Muhammad Reza Cordova. Ia berpandangan bahwa denda Rp 500.000 yang saat ini berlaku bagi pelaku pembakaran sampah di Jakarta akan jauh lebih efektif jika diperkuat dengan hukuman berbasis rasa malu. “Saya sebenarnya sewaktu mendengar Rp 500.000, bisa nggak ya, maksudnya dilaksanakan Rp 500.000 nih, itu sebenarnya bagus kalau misalnya bisa dilaksanakan. Tapi kalau saya pribadi kalau boleh menambahkan, gimana kalau kita tambahkan sanksi sosial? Orang yang membakar sampah itu dipajang di kelurahan kek. Jujur aja kalau buat saya orang Indonesia itu lebih takut malu daripada bayar,” jelas Reza, memberikan perspektif tentang psikologi masyarakat Indonesia.
Reza yakin, sanksi yang memanfaatkan rasa malu akan jauh lebih berdampak ketimbang hanya hukuman finansial. “Kalau misalnya sudah dipajang, difoto, dipasang di spanduk misalnya katakanlah ini adalah pelaku pembakaran sembarangan, saya yakin orangnya pasti akan malu dan kemungkinan untuk mengulang kembali itu akan lebih rendah. Atau misalnya dikasih sanksi sosial yang lain itu, ya netizen kita kan jarinya luar biasa,” tutur Reza, merujuk pada kekuatan opini publik dan peran media sosial.
Pendekatan sosial semacam ini, menurut Reza, berpotensi besar untuk meningkatkan kepatuhan warga dalam menjaga kesehatan lingkungan tanpa semata-mata bergantung pada sanksi administratif berupa uang. “Kayaknya sepertinya memang itu yang bisa kita lakukan supaya kita tuh lebih mengarah, jadi denda itu tidak berupa uang selalu tapi berupa sanksi sosial itu kayaknya yang bisa diterapkan,” pungkasnya, menggarisbawahi pentingnya inovasi dalam penegakan hukum lingkungan demi masa depan Jakarta yang lebih bersih.



