Jeritan WNI Korban Scam Kamboja: Disekap, Disiksa, Berhasil Kabur!

Posted on


Ratusan WNI menjadi korban penipuan (scam) di Kamboja dan melarikan diri dari perusahaan tempat mereka dipekerjakan. Seorang korban yang berhasil lolos menceritakan pengalaman traumatisnya kepada BBC News Indonesia, menggambarkan tempat itu sebagai neraka yang menghantui.

Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) mencatat 110 WNI telah didata dan sebagian besar telah dipulangkan setelah melalui pemeriksaan imigrasi di Kamboja.

Kejadian ini bermula dari video viral di TikTok pada 17 Oktober 2025, yang memperlihatkan puluhan WNI berjalan bersama di Chrey Thum, Kandal, Kamboja, dengan teks “Berhasil kabur dari gedung scam di Chrey Thum.” Video itu telah ditonton lebih dari 10 juta kali.

Korban yang diwawancarai BBC News Indonesia mengungkapkan bahwa pelarian ini dipicu oleh perlakuan tidak manusiawi. Mereka juga menegaskan bahwa mereka tidak tahu akan bekerja di tempat seperti itu.

“Saya ditipu, saya korban perdagangan manusia. Saya dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain,” ungkap seorang korban.

Para penyintas penipuan dengan tegas memperingatkan untuk tidak pergi ke Kamboja, karena iming-iming gaji besar tidak sebanding dengan risiko nyawa.

Perwakilan organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi pekerja migran menjelaskan bahwa masalah di Kamboja sangat kompleks, berakar dari faktor internal dan eksternal.

“Masalah ini memuncak sejak pandemi. Banyak orang di-PHK, ekonomi merosot, sementara kebutuhan untuk bekerja tinggi. Situasi ini dimanfaatkan oleh sindikat,” jelasnya.

“Kebocoran terbesar terjadi di sektor keimigrasian.”

Peristiwa ini membuka fakta pahit tentang masalah yang terus berulang dan belum terselesaikan hingga saat ini.

BBC News Indonesia merekonstruksi kronologi pelarian ratusan WNI di Kamboja berdasarkan keterangan tiga narasumber yang terlibat langsung dalam upaya penyelamatan.

BAGIAN I: ‘Kesalahan Sedikit Dipukul dan Disetrum’

Usaha untuk kabur tidak terjadi secara tiba-tiba, cerita Firman, salah satu korban.

Seminggu sebelum kejadian, sekitar 10 Oktober 2025, 20 hingga 25 WNI menyusun rencana pelarian.

Firman menuturkan bahwa mereka merasa resah dan tidak tahan dengan kekerasan yang terus-menerus terjadi di tempat kerja.

Tempat kerja itu adalah kompleks yang terdiri dari lebih dari 10 bangunan lima lantai. Pintu masuk dijaga ketat oleh sekitar 20 petugas keamanan bersenjata.

Firman tidak bisa melihat banyak hal selain sawah dan sungai di sekitar kompleks karena ruang geraknya sangat terbatas.

Sehari-hari, ia hanya berada di kamar tidur, ruang kerja, dan kantin. Ia tidak diizinkan keluar gedung.

Kamar tidur dan ruang kerja berada di gedung yang sama, hanya berbeda lantai. Kantin berada di gedung lain, yang dapat dicapai dengan berjalan kaki beberapa menit melewati jalan beraspal yang menghubungkan antar gedung.

Saat sarapan di kantin pukul 9 pagi, Firman bertemu dengan semua pekerja di kompleks itu. Di sinilah mereka berinteraksi dan merencanakan pelarian.

Kesepakatan di meja makan menghasilkan pemilihan tanggal aksi: 17 Oktober.

Hari yang dinanti tiba. Firman ingat, sekitar 25 orang sepakat untuk melarikan diri. Sebelum jam makan siang, pukul 11, mereka berkumpul di kantin dan berjalan menuju pintu keluar dalam dua kelompok.

Saat akan mencapai gerbang, petugas keamanan bersiap mengunci. Saat itulah aba-aba “serang” diteriakkan.

“Gerbang besar sudah dikunci. Akhirnya kami lari ke gerbang kecil yang biasa dipakai masuk orang,” ungkap Firman.

Suasana di pintu kecil sangat mencekam. Para WNI berdesakan keluar kompleks, saling dorong, bahkan ada yang terjatuh.

Namun, itu belum seberapa.

“Karena di gerbang [kecil] itu ada orang-orang keluar, dia [petugas keamanan] melepas tembakan,” ujar Firman.

“Tembakannya mengarah ke atas, semacam kasih peringatan.”

Niat para WNI untuk kabur memicu reaksi kekerasan. Selain tembakan peringatan, ada juga penganiayaan fisik.

Rekan Firman dipukul di dada dan paha oleh petugas keamanan perusahaan. Pekerja lain yang dikenal Firman ditodong pistol di kepala.

Dalam waktu kurang dari setengah jam, puluhan WNI berhasil lolos dari penjagaan. Namun, satu WNI tertangkap.

“Dia diseret masuk ke dalam [gedung]. Enggak boleh keluar,” papar Firman.

Firman dan rombongan WNI menyusuri jalan yang cukup jauh.

Di tengah jalan, mereka bertemu polisi Kamboja. Awalnya, mereka curiga karena sering mendengar polisi lokal bekerja sama dengan perusahaan.

Namun, polisi yang mereka temui tidak memihak perusahaan. Firman dan puluhan WNI lainnya dibawa ke kantor polisi sebelum dipindahkan ke Detensi Imigrasi Preak Pnov di Phnom Penh.

Di sana, mereka dimintai keterangan dan menyerahkan bukti tindak kekerasan di perusahaan. Sambil menunggu proses, mereka dikurung seperti di penjara.

Dari semula “puluhan orang,” Kemlu menyebutkan jumlah WNI yang terjebak meningkat menjadi ratusan.

“Dari hasil penelusuran, 110 WNI diamankan dari lokasi dan kini berada di Detensi Imigrasi Preak Pnov, Phnom Penh, untuk proses pendataan dan pemulangan,” jelas Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Judha Nugraha.

Firman mendapat kepastian kepulangan setelah ditahan selama dua hingga tiga hari di kantor imigrasi.

Setelah urusannya selesai, Firman segera memesan tiket ke Indonesia dengan uangnya sendiri. Pada 23 Oktober, ia tiba di kampung halamannya di Medan, Sumatra Utara.

Bekerja dalam kondisi yang mengerikan tidak pernah ada dalam rencananya. Keputusan merantau ke Kamboja didorong oleh keinginan untuk memperbaiki nasib. Firman, 25 tahun, sudah lama menganggur.

Pada Februari 2025, temannya menawarkan pekerjaan di Kamboja dengan bantuan “seseorang dari Jakarta,” yang disebut sebagai agen penyalur tenaga kerja. Pekerjaan yang ditawarkan adalah di restoran atau jasa rumah makan.

“Gajinya lumayan dan memakai dolar [AS],” Firman menirukan ucapan temannya. Tanpa pikir panjang, Firman setuju.

Pertemuan dengan agen ini terjadi di Medan sekitar Januari 2025. Penjelasan sang agen sempat membuat Firman bertanya-tanya.

“Misalnya, ada kontrak setahun. Tapi kalau tiga bulan memutuskan keluar, kami harus bayar [denda]. Lalu sebagai jaminan, paspor ditahan,” ujarnya.

Sang agen meyakinkan Firman sehingga ia tidak lagi bertanya.

Dari Pekanbaru, Riau, Firman terbang ke Kamboja melalui Malaysia. Sesampainya di Kamboja, ia dan dua orang lainnya dijemput oleh seseorang yang terhubung dengan agen di Jakarta.

Mereka diantar ke sebuah mess di Phnom Penh, diberi makan, dan diminta melakukan hal yang membuat Firman heran.

“Tiba-tiba dia nyuruh saya tes typing [mengetik] dulu. Katanya, di rumah makan itu ada bagian yang mengurusi order-an—pesanan. Jadi, harus bisa memerlukan itu,” tutur Firman.

“Ya sudah, karena saya yang penting kerja, saya turutin. Hasilnya memang enggak tinggi [tes typing]. Tapi sudah cukup [buat lolos].”

Sebuah mobil datang ke mess tempat Firman dan dua WNI berada. Sekitar pukul 7 malam, Firman diminta masuk ke mobil. Mobil itu melaju ke daerah yang berjarak tujuh jam dari Phnom Penh, tepatnya di Bavet yang berbatasan dengan Vietnam.

Sesampainya di sana, Firman melihat sebuah gedung yang sepi dan sunyi.

Dua orang, satu WNI dan satunya diduga dari China, menghampiri Firman. WNI itu, yang bertugas sebagai penerjemah, meminta Firman untuk beristirahat.

“Besok baru kita mulai kerja,” Firman mengulang kata-kata WNI tersebut.

Keesokan harinya, mereka dibawa ke ruangan kerja yang dimaksud. Ruangan itu berisi banyak komputer dan orang. Firman diinstruksikan untuk “belajar serta menghapal apa yang mesti dikerjakan.”

Firman langsung sadar bahwa ia tidak akan pernah bekerja di restoran. Ia berada di perusahaan penipuan (scam) dan tidak punya pilihan selain mengerjakan apa yang diperintahkan.

Perusahaan tempat Firman bekerja bergerak di bidang love scamming, yaitu penipuan dengan memanfaatkan perasaan.

Firman berperan sebagai “admin” yang bertugas memeras uang dari target. Ia mencari calon korban di berbagai platform media sosial, seperti Facebook, TikTok, dan Twitter (sekarang X).

Dari situ, Firman melakukan pendekatan. Jika targetnya perempuan, ia berpura-pura menjadi pria lain, misalnya pengusaha muda asal Singapura atau pekerja di sektor perbankan.

Sebaliknya, jika targetnya laki-laki, ia akan “menjadi” perempuan.

Langkah selanjutnya adalah menggeser komunikasi ke WhatsApp, yang menjadi salah satu “indikator kinerja” admin scam.

Di WhatsApp, Firman berusaha mendapatkan kepercayaan korban, terutama dengan melibatkan perasaan. Setelah kepercayaan didapatkan, ia mulai menguras rekening korban.

“Sebagai contoh, saya berpura-pura menjadi pemain saham. Kalau korban sudah percaya, saya tinggal minta dia membantu saya untuk mengirim uang ke saham ini dengan alasan rekening saya terblokir atau saya sedang berada di luar negeri,” jelas Firman.

Sekali “transaksi,” Firman bisa mendapatkan US$200, atau sekitar Rp3 juta. Jumlahnya akan meningkat sesuai permintaan bos.

Skema penipuan ini dikenal dengan pig butchering (jagal babi). Seperti babi yang dipotong dan diambil dagingnya hingga tak bersisa, korban penipuan juga akan dikuras habis hartanya.

Namun, setiap aksi yang diambil Firman dan pekerja scam lainnya memiliki konsekuensi.

“Jadi, kalau, misalnya, kami dalam satu hari itu enggak dapat [nomor] WhatsApp, itu kami dipukulin,” cerita Firman.

Ada pula yang disetrum.

“Pernah suatu waktu satu pekerja hari ini dipukulin, besoknya disetrum. Jadi dia kena beruntun, berlipat ganda,” sebutnya.

Firman bersyukur belum pernah disiksa selama bekerja di sana. Namun, pengalaman buruk yang menimpa pekerja lain sudah cukup menghancurkan mentalnya.

Seorang pekerja perempuan pernah dicambuk karena membantu menutupi kesalahan pekerja lain.

Pekerja lain dipukuli tiga petugas keamanan perusahaan hingga babak belur, seolah-olah ia adalah pencuri.

Seorang pekerja, tidak lama sebelum aksi kabur massal, mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai 3 gedung tempat Firman berada. Nasibnya tidak jelas sampai sekarang. Sebelum melompat, pekerja itu dipukuli terlebih dahulu.

Selain penyiksaan, perusahaan scam juga memberikan denda kepada setiap “admin” yang gagal memenuhi target pengumpulan nomor WhatsApp.

Jumlahnya sebesar “US$10 (Rp167 ribu) untuk satu nomor yang tidak kunjung didapatkan.”

“Saya kemarin diminta mencari dua nomor WhatsApp. Saya cuma bisa dapat satu nomor. Saya akhirnya didenda US$10,” terang Firman.

Denda diambil dari gaji para pekerja. Dalam beberapa kasus, pendapatan pekerja justru menjadi minus, alias tidak menerima gaji sama sekali.

“Bos memang memberi slip gaji. Ada keterangannya dapat sekian. Tapi cuma kasih itu saja. Uangnya enggak pernah masuk [ke pekerja] karena bos beralasan buat bayar denda,” jawab Firman.

Selama delapan bulan di Kamboja, Firman berpindah tempat kerja sebanyak empat kali. Ia tidak pernah mengetahui nama perusahaan yang mempekerjakannya. Ia hanya mendengar bahwa keempat perusahaan scam ini dimiliki atau terhubung dengan orang yang sama, berasal dari China.

Terlepas dari itu, Firman benar-benar tahu bahwa kebebasannya sebagai manusia perlahan-lahan direnggut di Kamboja.

Ia disekap, tidak boleh keluar gedung, aksesnya ke dunia luar ditutup, dan dipaksa menipu.

“Suara-suara orang minta tolong itu masih terbayang sampai sekarang. Traumanya masih ada. Pikiran saya seperti masih berada di sana,” ujar Firman.

BAGIAN II: Tangan Tukang Cukur Rambut

Fadly Roshan pertama kali mendengar kabar tentang WNI yang disekap dan disiksa di perusahaan scam dari Rinda, kekasih Firman.

Rinda memberi tahu Fadly bahwa Firman mengeluh diperlakukan tidak manusiawi di tempat kerjanya di Kamboja dan ingin segera keluar dari sana.

Saat Rinda menghubunginya melalui TikTok, akun Fadly sudah memiliki ribuan pengikut.

Ia konsisten mengunggah konten tentang praktik perdagangan orang, termasuk yang menimpa WNI di Kamboja.

Fadly sendiri pernah tinggal di Chrey Thum, daerah yang sama dengan tempat kejadian perkara.

Ia bekerja sebagai tukang cukur rambut dan sering didatangi para WNI. Ia tinggal di sana selama satu setengah tahun dan baru kembali ke Medan pada Agustus lalu.

Fadly langsung menyusun rencana untuk “menyelamatkan” Firman dan WNI lainnya. Ia menekankan agar para WNI tidak gegabah.

“Saya bilang kalau tunggu ketika ada polisi di depan gerbang. Di saat polisi datang, kalian langsung berontak,” katanya kepada BBC News Indonesia.

“Polisi di sana kalau ada tindak kejahatan, orang ini akan bantu.”

Fadly mengingatkan Firman, melalui Rinda, untuk tidak bergerak sendirian. Jika ingin kabur, harus dilakukan bersama-sama.

“Kalau cuma dia sendirian, bisa mati. Kalau ramai-ramai, semua selamat,” sebut Fadly.

Rencana Fadly adalah meminta bantuan kenalannya di Chrey Thum, sesama WNI, untuk membuat laporan polisi tentang penyekapan dan tindak kekerasan di perusahaan scam. Kenalan Fadly diminta mengaku sebagai anggota keluarga korban.

Namun, sebelum rencana itu terwujud, Fadly mendapat informasi bahwa puluhan WNI sudah berhasil kabur dari perusahaan.

Sejak itu, Fadly rutin mengunggah video kejadian di lapangan. Video pertama yang ia unggah pada 17 Oktober menggambarkan kondisi saat puluhan WNI kabur.

Video berikutnya memperlihatkan suara tembakan di area gedung, mengonfirmasi keterangan Firman, serta suasana di rumah sakit yang merawat para WNI yang terluka.

Salah satu videonya bahkan ditonton lebih dari 10 juta kali, menampilkan sekelompok WNI berjalan menjauhi gedung perusahaan scam.

“Kami enggak bisa bantu uang. Kami bantu menyebarkan informasi,” tegasnya.

Ini bukan pertama kalinya Fadly berpartisipasi dalam membantu pekerja WNI di Kamboja.

Beberapa waktu lalu, seorang WNI menghubungi Fadly di TikTok. Ia bercerita bahwa ia dipecat tanpa alasan yang jelas setelah seminggu bekerja di perusahaan judi online.

Tidak hanya dipecat, WNI ini diminta membayar ganti rugi sebesar Rp30 juta.

Setelah mendengar cerita korban, Fadly menyimpulkan bahwa ada indikasi praktik perdagangan orang.

Polanya kurang lebih seperti ini:

Korban, yang tidak mengenal siapa pun di Kamboja, hanya memiliki kontak agen yang mengurusnya. Agen itu akan mencarikan perusahaan lain yang bersedia “menebus” korban. Jika korban setuju, ia akan diperjualbelikan.

Setelah membayar denda puluhan juta ke perusahaan sebelumnya, korban akan berutang di perusahaan yang baru menebusnya, tutur Fadly. Jika tidak dihentikan, korban hanya akan berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain tanpa tahu kapan bisa lepas dari jeratan itu.

Agen-agen tersebut adalah orang Indonesia yang memiliki banyak jaringan ke agen maupun perusahaan di Kamboja.

Taktik Fadly adalah menghubungi langsung atasan korban, yang ternyata juga orang Indonesia. Ia mengaku sebagai saudara korban dan memberi pilihan: menyelesaikan masalah melalui mediasi di KBRI atau ke kantor polisi.

Kedua opsi itu tidak menguntungkan bagi atasan korban, karena bisa dideportasi atau dipenjara.

“Karena mereka menggunakan agen ilegal, yang mana orang perusahaan ini sudah membayar sejumlah uang ke agen itu. Secara aturan, ini bertentangan dengan hukum,” ungkap Fadly.

Akhirnya, perusahaan tersebut mengembalikan paspor korban yang ditahan sebagai jaminan, dan korban bisa pulang ke Indonesia.

Dalam membantu para tenaga kerja WNI di Kamboja, Fadly mengaku bukan ahli hukum. Ia hanya belajar dari kasus-kasus yang pernah ia dengar.

Situasi di Kamboja sudah sangat memprihatinkan.

“Katakanlah begini. Hari ini, 10 orang dipulangkan dari Kamboja, diselamatkan dari perusahaan scam. Besoknya, 30 orang datang,” dia memberi pengandaian.

Untuk mencegah kejadian serupa terulang, pemerintah diminta memperketat pengawasan di keimigrasian karena ini merupakan pintu masuk ke Kamboja, menurut Fadly. Kemudian dari sisi WNI, Fadly hanya menekankan satu hal:

“Jangan [menerima tawaran pekerjaan] dari agen, jangan dari Facebook, jangan dari sosial media,” pungkasnya.

“Tapi pastikan itu dari saudara, atau anggota keluarga lainnya, yang memang benar-benar bekerja secara layak di sana.”

BAGIAN III: Jatuh Cinta (bukan) seperti di film-film

Rinda baru saja tiba di Bandara Kualanamu, Medan, Sumatra Utara, ketika BBC News Indonesia ingin menanyakan kronologi kaburnya puluhan—kemudian bertambah menjadi ratusan—WNI dari perusahaan scam di Kamboja.

Rinda adalah pihak yang mengabari Fadly karena kekasihnya, Firman, termasuk di dalam kelompok korban tersebut.

Hari itu, 23 Oktober 2025, pesawat yang membawa Firman akan mendarat. Firman pulang ke Indonesia, dan Rinda bersiap menanti kedatangannya.

Rinda tidak bisa menutupi rasa leganya. Beberapa bulan terakhir, Firman bercerita bahwa perusahaan tempatnya bekerja memperlakukan teman-temannya secara sadis. Mental Firman sangat tertekan.

“Dia admin scam. Selama dia enggak dapat member [target penipuan], bisa dihajar pakai pentungan sekuriti. Ada yang disetrum juga,” terang Rinda.

Rinda, yang turut hancur mendengar cerita kekasihnya, tidak mau tinggal diam. Ia lalu menghubungi Fadly melalui TikTok, berharap keadaan Firman dan WNI lainnya bisa diviralkan.

“Aku tengok-tengok TikTok, gitu, rupanya lewat-lewat ini akun Bang Fadly di FYP [For Your Page] aku,” cerita Rinda.

“Jadi, aku kayak minta pertolongan sama dia. Supaya dia [Firman] bisa keluar dari situ. Sudah kami temukan titik terang kayak prosedur untuk mengeluarkan orang. Cuma, mereka di company [perusahaan] itu sudah enggak tahan.”

Hubungan Rinda dan Firman memasuki bulan keempat. Kisah asmara mereka lahir dari ruang yang tidak terbayangkan sebelumnya.

“Aku, tuh, korban scam dia,” kata Rinda sambil tertawa.

Awalnya, Firman, yang menggunakan identitas palsu, menemukan TikTok Rinda. Firman, seperti dituturkan Rinda, langsung memulai pendekatan.

“Dia, pertama-tama, memang tujuannya, katanya, memang mau deketin aku, cuma dengan cara scam, gitu,” aku Rinda.

Firman, ketika melihat akun Rinda, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Firman terbawa perasaan.

“Ada yang spesial dari dia. Makanya saya tidak meneruskan [scamming]. Buat chat-an saja,” jelas Firman.

Sementara Rinda melihat Firman sebagai “orang yang baik.” Ditambah, Rinda bersimpati dengan kisah-kisah yang disampaikan Firman, ketika usahanya memperbaiki nasib justru berakhir dengan malapetaka.

Keduanya lalu memutuskan untuk berpacaran.

Hubungan Rinda dan Firman dibangun di ruang virtual. Awalnya, komunikasi mereka dilakukan melalui WhatsApp.

Setelah perusahaan scam tempat Firman bekerja memberlakukan batasan dengan mengambil gawai para pekerja, komunikasi berpindah ke TikTok.

“Jadi memang saya sembunyi-sembunyi buat berkomunikasi sama dia [Rinda]. Saya berpikir bagaimana supaya tidak ketahuan. Akhirnya pakai TikTok aktor—sebutan untuk identitas palsu Firman di dunia daring,” paparnya.

“Kalau pakai TikTok aman karena bos berpikir saya sedang bekerja deketin [calon] member.”

Sehari setelah Firman tiba di Medan, BBC News Indonesia menghubungi nomor Rinda untuk wawancara dengan Firman yang sudah diagendakan sebelumnya. Rinda menyerahkan gawai ke Firman.

Menjelang akhir perbincangan, Rinda tertawa cukup lepas tatkala menjawab pertanyaan kami tentang bagaimana perasaannya setelah bertemu Firman secara langsung.

Rinda menjawab senang.

BAGIAN IV: Epilog

Dimas masih ingat persis ketika ia mengurus paspor untuk ke Kamboja pada pertengahan 2022.

Di suatu kantor imigrasi, permintaan pembuatan paspor Dimas awalnya ditolak. Proses pemberian visa kerja harus dilengkapi surat rujukan dari perusahaan yang memberi pekerjaan.

Nah, sedangkan kami enggak ada kayak gitu. Bahkan untuk booking-an tiket pesawat dan hotel juga enggak ada untuk, misalnya, visa turis atau perjalanan,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.

Karena buntu, satpam di kantor imigrasi tersebut mengarahkan pengurusan visa melalui prosedur lain.

“Ternyata mengeluarkan uang Rp1,5 juta. Padahal seharusnya hanya Rp350 ribu,” tandas Dimas.

Setelah paspor dan kebutuhan lainnya selesai, pada Agustus 2022, Dimas bersama rombongan yang terdiri dari 21 orang berangkat ke Kamboja dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Di Kamboja, Dimas, yang dijanjikan agen bekerja di kasino, justru ditempatkan sebagai “admin” judi online.

Kontrak kerja Dimas selama satu tahun. Jika berhenti sebelum kontrak berakhir, ia harus membayar denda senilai Rp50 juta. Paspornya ikut ditahan.

Setiap hari, Dimas bekerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam selama satu bulan penuh. Targetnya: 100 anggota baru yang mengisi deposit di situs judi online milik perusahaan itu.

“Selama sebulan itu enggak ada libur. Full. Kadang saya nyampe jam 1 atau 2 pagi baru selesai kerja. Kadang jam 3 juga baru selesai. Nanti jam 4 baru bisa makan, tidur, dan bangun lagi di jam 8,” kenangnya.

Kayak gitu terus setiap hari.”

Pemenuhan target adalah harga mati bagi bos judi online. Jika admin tidak bisa memperoleh 100 member, mereka akan melontarkan kekerasan verbal.

Pada Agustus 2023, tepat setahun kontrak kerja berjalan, Dimas memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu.

“Agustus kami selesai, langsung keluar dari gedung, pulang, dan paspor kami dikasih semuanya,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menjelaskan bahwa pola perekrutan tenaga kerja WNI ke Kamboja sering dimulai dengan “lowongan kerja palsu yang beredar di media sosial.”

Lowongan tersebut menawarkan iming-iming berupa posisi operator, customer service, atau teknisi di industri digital.

“Kemudian juga pelakunya adalah, biasanya, orang-orang yang juga pernah kerja di sana dan orang-orang ini menggaet kelompok-kelompok terdekat sehingga merasa bahwa informasi itu terpercaya,” terangnya kepada BBC News Indonesia.

Lowongan bekerja di Kamboja disambut dengan penuh harapan, terlebih saat kondisi perekonomian belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan sejak pandemi Covid-19.

“Ini fenomena lapar kerja yang mulai menjadi fenomena sejak masa pandemi atau setelah pandemi. Pada masa pandemi, banyak orang di-PHK, kondisi ekonomi juga merosot sementara kebutuhan untuk bekerja itu tinggi,” ungkap Wahyu.

Alhasil, orang-orang “berani mengambil risiko dengan bekerja di sektor apa pun,” imbuhnya.

Nah, ini juga dimanfaatkan oleh sindikat-sindikat yang melihat fenomena lapar kerja seperti itu,” tegasnya.

Pemerintah, sejak kasus perdagangan orang marak dijumpai, menetapkan untuk tidak membangun kerja sama penempatan pekerja migran dengan beberapa negara seperti Kamboja, Myanmar, dan Thailand.

Pada September lalu, pemerintah Indonesia, diwakili KBRI, mengaku tengah menggodok koordinasi dengan otoritas Kamboja sehubungan penanggulangan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

“Indonesia siap memperkuat kemitraan dengan Kamboja dalam mengatasi tantangan transnasional, termasuk penipuan daring, perdagangan manusia, perdagangan narkoba, dan bentuk-bentuk kejahatan terorganisir lainnya yang terkait dengan migrasi ilegal,” ucap Duta Besar Republik Indonesia di Kamboja, Santo Darmosumarto.

“KBRI akan memperkuat imbauan kepada WNI untuk mematuhi peraturan dan ketentuan pemerintah Kamboja.”

Data yang dihimpun Kemlu memaparkan bahwa dalam tujuh bulan pertama 2025, jumlah kasus konsuler—tenaga kerja ilegal, perdagangan orang, penipuan online—menyentuh lebih dari 3.200, melampaui total tahun lalu.

Sebanyak 83% dari kasus-kasus itu, pemerintah mengkhawatirkan, terkait dengan aktivitas penipuan daring.

Bagi Wahyu, paradigma pemerintah selama ini hanya menitikberatkan kepada masing-masing individu, bahwa keputusan mencari peruntungan ke Kamboja tidak disumbang faktor domestik—kebijakan negara.

“Mereka melihat bahwa orang-orang yang terjebak ini adalah kesalahan mereka sendiri, tidak melihat bahwa ini juga merupakan tanggung jawab negara di mana lapangan kerja tidak tersedia seperti itu,” ucap Wahyu.

Wahyu mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas dengan mengusut semua pihak yang berdiri di belakang pusaran perdagangan orang berkedok “perekrutan tenaga kerja,” tidak menutup kemungkinan keterlibatan aparat-aparat negara.

Dimas, sekalipun tidak mengalami kekerasan maupun penyekapan, tidak ingin lagi pergi ke Kamboja. Pengalaman di masa lampau sudah cukup menebalkan keyakinannya bahwa ia ditipu dengan janji pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik.

Sama seperti Wahyu, Dimas meminta pemerintah mencegah perdagangan orang dan tindak penipuan daring yang menimpa WNI di Kamboja atau negara lainnya secara serius. Kerugian yang diterima para korban sangat berlapis: materi serta hidup dan mati.

“Karena dulu pas saya itu lengang sekali [pengawasannya], gitu. Teman-teman saya yang dari mereka sudah kena blacklist dan sebagainya pun mereka masih bisa berangkat [ke Kamboja] sampai sekarang,” pungkasnya.

* Ratusan ribu orang dipaksa menjadi penipu online di Asia Tenggara, kata PBB
* Kesaksian WNI jadi korban perdagangan orang, bertahan hidup sebagai penipu di zona konflik Myanmar – ‘Penyiksaan sudah seperti pertunjukan’
* Shwe Kokko, kota di Myanmar yang dibangun dari bisnis penipuan online – Apa peran China di belakangnya?

* Mengungkap sindikat penipuan online ‘jagal babi’ yang memikat korban dengan asmara
* Setelah kasus di Kamboja dan Myanmar, ratusan WNI tersangkut penipuan online di Filipina – ‘ASEAN darurat TPPO’
* WNI korban ‘sindikat penipuan online’ di Laos, Kemlu Indonesia bebaskan 37 WNI – ‘delapan WNI masih belum dapat keluar’

* Kesaksian perempuan Indonesia jadi korban kekerasan seksual di pusat judi online Kamboja
* Makin banyak WNI pergi ke Kamboja, mengapa ini bermasalah?
* Cerita WNI korban sindikat perdagangan orang di Myanmar diduga ‘disekap, disiksa dan dimintai tebusan ratusan juta Rupiah’ – Mengapa berulang dan bagaimana upaya membebaskannya?

* ‘Demi Tuhan, saya butuh bantuan’ – Bebas dari pusat penipuan di Myanmar, ribuan orang kini terlantar
* ‘Ada ancaman dibunuh, kalau tidak membayar uang tebusan’ – Keluarga WNI korban sindikat penipuan di Myanmar menuntut kepastian
* ‘Hidup bagai neraka di kamp kerja paksa siber Myanmar’

* Nasib istri merayakan Lebaran tanpa suami yang ‘disandera’ di Myanmar – ‘Dia dipukuli saat malam takbiran’
* Keruntuhan mafia China di pusat bisnis penipuan online di Myanmar
* ‘Operasi senyap’ di balik pemulangan lebih dari 500 WNI terduga korban penipuan online di Myanmar

* Puluhan warga negara China ditangkap di Batam, sindikat penipuan asmara
* Mengapa pengetatan paspor pekerja migran perempuan Indonesia dinilai ‘diskriminatif’?
* ‘Iming-iming gaji besar’ hingga ‘bekingan oknum aparat’, lima masalah utama di balik kasus perdagangan orang

* ‘Kami harus menunggu berapa tahun lagi untuk pulang?’ – WNI korban perdagangan orang menanti langkah konkret ASEAN
* Kisah pengantin baru asal Jakarta yang terperangkap di Thailand
* ‘Iming-iming gaji besar’ hingga ‘bekingan oknum aparat’, lima masalah utama di balik kasus perdagangan orang

* ‘Kalau milih-milih kerja, bisa enggak makan’ – Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor
* ‘Mereka pingsan, karena desak-desakan’ – Puluhan ribu pengangguran bersaing di bursa kerja
* Mengapa klaim Prabowo soal angka pengangguran turun dianggap tidak menggambarkan kenyataan di lapangan?

* Makin banyak WNI pergi ke Kamboja, mengapa ini bermasalah?
* ‘Kami harus menunggu berapa tahun lagi untuk pulang?’ – WNI korban perdagangan orang menanti langkah konkret ASEAN
* Mengungkap modus ‘rayuan surgawi’ dan jalur ‘kejahatan mengerikan’ mafia perdagangan pekerja migran NTT
* ‘Bisnis haram’ penyelundupan pekerja migran di jalur legal pelabuhan Indonesia ke Malaysia – ‘Ada kode mafia dan tiket hantu’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *