
Demam K-pop di Indonesia tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Gelombang Korea atau hallyu ini, dengan dukungan akses internet yang kian mudah, platform media sosial yang beragam, dan industri hiburan Korea Selatan yang terus berkembang, telah melahirkan komunitas penggemar yang besar dan solid. Lebih dari sekadar mengagumi idola, dunia fandom K-pop di Indonesia menyimpan cerita yang lebih dalam.
Kim Seok-jin, atau Jin dari grup BTS, adalah nama yang berhasil menambat hati Kerigit, seorang perempuan muda di Jakarta. Awalnya, Kerigit tertarik pada lagu “Epiphany” yang dinyanyikan Jin.
Ketertarikan awalnya murni karena musikalitas lagu tersebut. Kerigit tak memahami liriknya karena berbahasa Korea. Namun, rasa ingin tahu mendorongnya untuk mencari terjemahan “Epiphany” melalui mesin penerjemah.
“Begitu aku paham artinya, aku langsung suka dan beralih ke lagu Jin yang lain,” ungkap Kerigit. Dari sanalah ia mulai mengenal BTS lebih jauh.
Menurut Kerigit, “Epiphany” bercerita tentang proses belajar mencintai diri sendiri. Liriknya begitu menyentuh perasaannya, terutama karena saat itu ia sedang mengalami masa sulit.
“Mungkin pada saat itu momennya pas. Aku lagi ngerasa jatuh sekali. Lagi ada masalah pribadi juga,” imbuhnya.
Jin dan “Epiphany” menjadi jembatan yang mendekatkan Kerigit pada BTS. Ia mulai memahami koneksi yang kuat antar personel grup tersebut. Meskipun para member BTS masih sangat muda saat Kerigit pertama kali mengenal mereka, ia melihat mereka sebagai sosok yang bijaksana.
Kerigit mencontohkan Jin, yang mengajarkannya bahwa “kita tidak perlu mengejar pengakuan orang lain.” Yang terpenting, menurutnya, adalah “kita mengakui diri kita sendiri sebaik mungkin.”
“Jin itu di antara semua member BTS, dia adalah yang paling tidak punya background untuk menjadi idol. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari. Tapi, dia belajar, dan akhirnya, sekarang, kalau konser, misalnya, suara Jin itu yang paling stabil,” jelas Kerigit.
“Jadi, aku belajar kayak begitu. Maksudnya, I’ve done my job, and I’ve done my best. That’s it,” tuturnya.
Lebih jauh, Kerigit berpendapat bahwa lagu-lagu BTS mengajak pendengar dan penggemar untuk berefleksi tentang berbagai aspek kehidupan, terutama dari sudut pandang personal. Baginya, mendengarkan dan mengikuti karya BTS adalah sebuah pengalaman spiritual yang mendalam.
Kerigit bahkan mengklaim bahwa BTS telah menyelamatkannya dari keputusasaan. Tanpa BTS, ia merasa mungkin sudah terjerumus ke dalam jurang yang paling dalam.
“Kenapa? Karena lagu-lagu mereka ada saat aku menemukan kebahagiaan, pada saat aku menemukan ketenangan, pada saat aku merasa mereka itu berada di dalam hampir semua situasi yang aku alami sehari-hari,” ujarnya penuh haru.
“Dan itu yang membuat aku semakin into BTS, menjadi seorang ARMY,” kata Kerigit.
ARMY, sebutan bagi para penggemar BTS, lebih dari sekadar fandom. Bagi Kerigit, ARMY adalah representasi relasi sesama penggemar yang dibalut solidaritas, dengan semboyan “ARMY jaga ARMY.”
Solidaritas ini terwujud nyata saat konser BTS. Di lokasi konser, para ARMY saling berbagi kebutuhan, mulai dari air minum, makanan, hingga aksesori, secara gratis.
Bahkan, jika ada ARMY yang hamil di tengah konser, mereka akan membuat jalur khusus agar yang bersangkutan bisa masuk arena dengan aman.
Aksi-aksi kecil ini, menurut Kerigit, adalah cerminan bagaimana ARMY mengaplikasikan pesan-pesan positif yang disebarkan BTS melalui lagu-lagu mereka.
“Biasanya yang penggemar yang berbuat negatif mengidolakan member sampai tidak melihat pesan yang disampaikan BTS secara keseluruhan. Bahkan ada juga yang, misalnya, sampai saling jelek-jelekin segala macam,” sesalnya.
Kerigit menyadari bahwa kecintaan pada K-pop, khususnya BTS dalam pengalamannya, sering kali dicap sebagai fanatisme buta, yang rela membela mati-matian idola atau grup.
Meskipun mengaku sangat mencintai BTS, Kerigit selalu mengingatkan anggota ARMY lainnya untuk tetap berpikir jernih dan waras.
“Aku selalu bilang sama teman yang lain: mereka [personel BTS] itu manusia. Seperti halnya manusia pada umumnya, mereka juga bisa bikin salah,” pesannya.
Fandom K-pop Erat dengan Stigma
Riset dari Drone Emprit menunjukkan bahwa kelompok penggemar K-pop menjadi kekuatan pendorong utama dalam meramaikan tagar-tagar tertentu di media sosial sepanjang 2019 hingga 2020.
Dalam periode tersebut, Indonesia dilanda demonstrasi besar dengan tajuk ‘Reformasi Dikorupsi’ dan ‘Mosi Tidak Percaya’. Yang pertama merupakan respons terhadap revisi Undang-Undang KPK, sementara yang kedua menentang pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
Drone Emprit menemukan bahwa tagar #MosiTidakPercaya digaungkan oleh akun-akun yang menggunakan foto idol K-pop.
Akun-akun ini, menurut Drone Emprit, “dalam waktu singkat bersatu mengangkat tagar tersebut dan tagar-tagar lain sehingga menjadi trending topic dunia.”
Karlina Octaviany, dalam risetnya berjudul Break the Structure: BTS ARMY Digital Activism and State Surveillance in Indonesia’s Omnibus Law Protest, menjelaskan bahwa fandom K-pop mampu meruntuhkan hierarki sistem sosial, sehingga memfasilitasi budaya partisipatoris dalam mempraktikkan nilai kolektif.
“Fandom K-pop, yang mayoritas perempuan, bertumbuh seperti rhizoma yang egaliter, tanpa komando, dan dalam identitas internet yang anonim,” kata Karlina.
Ia menambahkan bahwa fandom K-pop di Indonesia telah mengalami lokalisasi dengan ciri khas yang mudah dikenali.
Selain aktivisme digital, seperti yang terlihat dalam protes ‘Reformasi Dikorupsi’ dan penolakan UU Cipta Kerja, fandom K-pop juga identik dengan lelucon, meme, fanedit ala sinetron, hingga donasi untuk Palestina. Namun, Karlina menyayangkan bahwa kehadiran fandom K-pop seringkali tidak dimaknai secara utuh.
“Selayaknya fandom K-pop maka dia erat dengan stigma patriarki dan diskriminasi gender seperti histeris, obsesif, bocil gila, sampai budhe kurang kasih sayang,” ujarnya.
“Fandom K-pop juga kerap mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Media di Indonesia pun menarasikan stigma ini dalam pemberitaan.”
Karlina berpendapat bahwa publik seharusnya tidak menyalahkan fandom tanpa mengkritisi patriarki dan perlindungan komunitas di media sosial.
Berdasarkan pengamatannya, fandom K-pop, yang sebagian besar beranggotakan perempuan, justru berada dalam posisi yang sulit.
Media sosial, menurutnya, memelihara algoritma berdasarkan tingkat engagement konten yang tinggi, termasuk “merekomendasikan fan war dan ujaran kebencian terhadap fandom tertentu.”
Berbagai topik yang menyentuh K-pop seringkali menjadi ajang bagi netizen dan bahkan brand untuk mendulang viralitas, “tidak terkecuali komentar yang negatif,” ujarnya.
“Platform media sosial merekomendasikan paparan konten negatif secara terus-menerus karena potensi viralitas itu tadi sehingga sulit untuk melihat penyebab awalnya,” jelas Karlina.
“Hanya tampak ujung ketika terjadi fan war, misalnya, hingga konten itu yang terus mengemuka.”
Keadaan ini, menurutnya, “makin sulit dihentikan sebab keterlibatan buzzer yang meniru anonimitas avatar K-pop dalam mengatur pengalihan narasi yang trending.”
“Penelitian saya menemukan ketika terjadi avatar K-pop tiruan, justru fandom yang bisa mendeteksi karena lingo dan konteks tentang idol mereka sudah khatam. Tapi, sulit untuk menjelaskan ketika misinformasi beredar di luar komunitas, apalagi ketika dikompori opini stigma negatif fandom tertentu,” sebut Karlina.
Kekhawatiran Karlina semakin meluas karena posisi fandom K-pop di Indonesia yang, menurutnya, “sudah menjadi aktor non-negara dengan kekuatan siber yang penting mengingat jumlahnya besar di media sosial.”
Partisipasi aktif fandom K-pop dalam beberapa isu politik membuat peran mereka tidak lagi sebatas pembahasan atau permasalahan K-pop semata.
Fenomena aktivisme digital fandom K-pop juga membuka potensi lahirnya pengawasan sistematis (surveillance), manipulasi konten untuk memancing kemarahan (rage baiting), hingga doxxing maupun perisakan terstruktur.
“Padahal fandom bisa menjadi ruang aman kebebasan berekspresi dan merasakan emosi, meregulasi emosi tanpa takut penghakiman,” ujar Karlina.
‘Saya Dituduh Memprovokasi Serangan kepada ARMY’
Prasetya menganggap keributan antarpenggemar K-pop sebagai hal yang wajar. Ia sudah sering menyaksikan fandom K-pop saling berdebat sengit di media sosial, membela idola masing-masing.
Baginya, itu adalah bagian dari “dinamika kelompok ketika sebuah komunitas terbentuk.”
“Tapi, selama itu hanya ribut-ribut di media sosial, seharusnya tidak terlalu signifikan dampaknya ke dunia nyata. Itu enggak terlalu saya pusingin,” cerita Prasetya.
Namun, Prasetya ternyata keliru.
Beberapa waktu lalu, platform X (dulu Twitter) dihebohkan dengan keributan yang melibatkan ARMY (pendukung BTS) dengan warganet. Pemicunya adalah tuduhan ARMY kepada netizen yang dianggap merisak Kim Nam-joon (RM), pentolan BTS. Tuduhan ini ramai-ramai dibantah oleh netizen.
Perdebatan tersebut merambah ke platform lain ketika sebuah brand perawatan mengadakan sesi live di TikTok. Prasetya, yang sedang mengikuti live tersebut untuk mencari diskon, merasa ada yang aneh.
“Saya melihat jumlah pesertanya naik tinggi banget. Yang awalnya cuma puluhan, ini sampai ratusan. Dan komentarnya berisi kemarahan. Mereka menyebut BTS,” ujarnya.
Prasetya kemudian mencari tahu penyebab kemarahan tersebut di X. Ia mendapati bahwa ARMY menganggap brand tersebut turut mengolok-olok RM. Namun, Prasetya tidak menemukan bukti atas tuduhan tersebut.
“Ketika saya baca lagi, enggak ada mengejek. Karena memang sebuah brand, bagi saya, untuk bisa marketing mereka akan mencoba relevan [terhadap yang lagi ramai],” tuturnya.
Keramaian di sesi live itu terus berlanjut. Prasetya mulai merasa tidak nyaman karena komentar-komentar yang ditujukan justru mengganggu pembawa acara live, yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan keributan di X.
Sang host bahkan sampai meminta maaf kepada akun-akun yang menyambangi live.
Melihat situasi itu, Prasetya merekam gangguan-gangguan yang terjadi di sesi live dan mengunggahnya ke X. Ia mengingatkan agar ARMY tidak mengusik pekerjaan host bersangkutan. Unggahan Prasetya menjadi viral dan memicu huru-hara yang lebih besar.
Tanpa diduga, posting-an Prasetya di X mendorong beberapa ARMY untuk melaporkannya ke kantor tempat ia bekerja. Ia dituduh melakukan manipulasi opini publik dan atasannya diminta untuk menegurnya. Selain melalui email, ARMY juga menelepon kantor Prasetya dengan tujuan yang sama.
“Di awal email, pengirim ini mengaku adalah individu biasa yang merasa sangat resah. Tapi, setelahnya muncul kalimat bahwa perilaku saya menimbulkan keresahan serta memprovokasi serangan kepada komunitas ARMY dan BTS,” papar Prasetya.
“Kemudian di email itu saya juga mengecek bahwa penerima email ada BIGHIT dan Hybe, dua-duanya label dan agensi BTS.”
Prasetya merasa bingung dengan kemunculan email tersebut. Ia mengklaim bahwa tujuannya hanyalah untuk meredakan aksi yang dianggapnya sudah tidak kondusif.
Kantor Prasetya kemudian merespons laporan tersebut dengan melakukan investigasi internal untuk mencari kebenaran atas tuduhan “provokasi” dan “manipulasi opini publik.”
Hasilnya: Prasetya tidak melakukan hal-hal seperti yang dituduhkan dalam email.
Prasetya hanya bisa tertawa getir.
Di luar surat yang membawa embel-embel ARMY, perbincangan di linimasa X terus berlanjut, bahkan berujung pada saling doxxing (pembukaan identitas pribadi) antara dua kubu: warganet dan mereka yang mengaku ARMY.
‘Kalau Pengin Viral Sentil Saja K-pop’
Nabiri Tata pertama kali mengenal dunia K-pop pada 2011. Saat itu, ia menyaksikan video musik BIGBANG dan langsung terkesima karena merasa lagu-lagu BIGBANG “tidak biasa.”
Tak butuh waktu lama baginya untuk menjadi seorang fans BIGBANG, yang biasa disebut V.I.P. Keterlibatannya di dunia K-pop semakin intens dengan berinteraksi dengan sesama fans.
Tata dan V.I.P. lainnya aktif membahas album BIGBANG, proyek solo masing-masing personel, konser, bahkan berbagai rumor yang menerpa mereka.
Komunikasi antar fans ini tak jarang berujung pada perdebatan sengit, yang menurut Tata, bisa terjadi dalam dua lingkup.
“Dulu kebanyakan perang antara fandom. Tapi, war juga bisa terjadi di satu fandom yang sama,” terangnya.
Pemicu war semacam ini tidak pernah tunggal, tetapi biasanya berkisar seputar “kualitas.”
“Misalnya fans BIGBANG ngerasa lagu paling keren, ya, [punya] BIGBANG. Apa itu Super Junior yang cuma joget-joget doang,” cerita Tata.
“Padahal kalau mau dilihat, dua grup ini berbeda. Enggak bisa disamakan. War-nya kayak begitu.”
Menurut pengalaman Tata, fandom pada eranya “jarang berdebat gara-gara urusan fisik,” seperti klaim siapa penyanyi K-pop yang paling rupawan.
Kecintaannya pada K-pop juga ia tuangkan dalam ranah akademis. Tugas akhirnya membahas tentang fan fiction, media yang digunakan para penggemar untuk menulis cerita fiksi dengan idola mereka sebagai karakter utamanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, fokus Tata tidak lagi sepenuhnya tertuju pada K-pop. Kesibukan bekerja dan berkeluarga membuatnya merasa “euforia terhadap K-pop sudah habis.”
“Sekarang cuma suka dengar-dengar saja. Tapi, untuk tahu ini grup mana, sudah enggak tahu lagi,” tuturnya sambil tertawa.
Meski begitu, ada satu grup yang masih familiar baginya: BTS.
Menurut Tata, dinamika di dalam dunia fandom K-pop tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang. Keributan antar fandom atau dengan pihak luar masih sering terjadi.
Tata berpendapat bahwa “keriuhan” fandom K-pop, yang seringkali bernada negatif, didorong oleh setidaknya tiga faktor.
Pertama, karakter fandom yang “terlalu cepat memberikan reaksi” terhadap hinaan yang diterima idola mereka.
“Karena merasa memiliki, karena merasa harus membela, mereka masih banyak tenaga untuk melakukan itu,” tandasnya.
Tata menyebut penggemar seperti ini sebagai “fans tahap awal.” Sifat meledak-ledak yang muncul di fase awal bergabung dengan fandom K-pop akan berkurang seiring bertambahnya usia, jelasnya.
Kedua, platform media sosial yang semakin banyak tersedia. Dulu, komunikasi antar penggemar mayoritas dibangun di Facebook dan Twitter (X). Kini, “ada Instagram, YouTube, sampai TikTok,” ucap Tata.
“Bahkan sekarang sampai ke fitur live segala,” tambahnya.
Dengan keberadaan platform yang beragam, distribusi perbincangan yang melibatkan fandom akan menjangkau audiens yang lebih luas, sehingga memicu viralitas.
Ketiga, Tata melihat sifat reaksioner fandom K-pop “dimanfaatkan banyak pihak untuk memperoleh exposure.” Singkatnya: mengajak penggemar K-pop berdebat adalah cara cepat untuk mendapatkan ‘ketenaran’.
“Kalau pengin viral di Indonesia, sentil saja konsep agama atau penggemar K-pop. Rumusnya kayak begitu, kalau dari aku,” katanya.
Tata mengingat, saat BIGBANG sangat populer di kalangan anak muda Indonesia, seorang stand-up comedian “mencari gara-gara” dengan ‘menyenggol’ penggemar BIGBANG. Tak lama kemudian, perhatian publik tertuju pada komika tersebut.
“Nah, untuk sekarang ini yang ‘kena’ adalah ARMY. Karena apa? Dia fandom paling besar dan reaksinya juga cukup cepat,” terang Tata.
Tata mengakui bahwa ia pernah berada dalam posisi yang disebutnya “fanatisme berlebihan.” Hal itu, menurutnya, bisa mendorong tindakan merugikan seperti perisakan atau penyebaran identitas pribadi tanpa izin (doxxing).
Ia berharap penggemar K-pop bisa menahan diri agar tidak terjebak dalam siklus yang berulang: perdebatan dan keributan tanpa henti di media sosial.
Penggemar K-pop, dalam pandangan Tata, “mesti mulai melihat dunia secara lebih luas dan dari banyak sudut pandang.”
“Aku sendiri juga mengakui K-pop itu kalau bereaksi memang terlalu cepat. Kami itu terlalu cepat kepancing,” tegasnya.
“Pada intinya adalah jika menyukai sesuatu kalau terlalu berlebihan, apa pun itu, memang enggak baik.”
Tak hanya kepada fandom K-pop, Tata juga mengingatkan “untuk pihak luar yang tidak menggemari K-pop” agar tidak merespons fandom secara agresif.
Pasalnya, “kita berada di sepatu yang berbeda,” ujar Tata.
“Misalnya kalian menganggap mereka lebay banget dari dulu, itu mungkin berlebihan untuk kalian, tapi itu wajar untuk mereka,” paparnya.
“Kalau, misalnya, kegiatan fangirling itu bisa menjadi wajah seseorang untuk healing, untuk mendapatkan hiburan, untuk seseorang bisa menenangkan hati dia, ya sudah biarkan saja. Kita punya dunia sendiri-sendiri.”
Fandom di Antara Hallyu dan ‘Kesamaan Nilai’
Menurut Annisa Pratamasari, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, kultur fandom K-pop saat ini dapat ditelusuri hingga tahun 1996, bertepatan dengan debut boyband H.O.T. di bawah naungan agensi SM Entertainment.
“Meskipun kalau lagu [K-pop], mungkin, sudah ada dari Seo Taiji and Boys pada 1992 sampai 1996. Cuma, kalau maksudnya dari prototipe fandom culture-nya yang punya warna, kultur fandom seperti menulis fan fiction atau menjodohkan member, itu dimulai dari H.O.T.,” jelas Annisa.
Perkembangan fandom kemudian mengikuti pembagian periode generasi. Hingga saat ini, setidaknya ada lima generasi fandom.
Generasi pertama muncul pada awal 1990-an hingga 2002, dengan grup seperti H.O.T., SECHSKIES, dan SHINWA.
Generasi kedua, yang debut mulai 2004 hingga 2011, diisi oleh grup musik seperti BIGBANG, Girls Generation, KARA, SHINee, Super Junior, dan Secret.
Generasi ketiga meliputi BTS, EXO, Blackpink, Red Velvet, dan NCT, dengan masa generasi dimulai pada 2011 hingga 2017.
Generasi keempat (2018-2023) memuat NewJeans, Aespa, TREASURE, dan Rocket Punch.
Terakhir, generasi kelima yang diyakini muncul pada 2023, menyertakan nama-nama seperti BABYMONSTER, BOYNEXTDOOR, dan ZEROBASEONE.
Kelahiran fandom ini sejalan dengan gelombang hallyu (hallyu wave), yaitu ekspor produk budaya populer Korea Selatan seperti film, musik, dan series ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Annisa menjelaskan bahwa penerimaan positif terhadap hallyu disebabkan oleh cultural proximity, atau kedekatan budaya. Masyarakat Indonesia menilai bahwa budaya Indonesia dan Korea Selatan tidak jauh berbeda karena sama-sama berasal dari Asia.
Dalam konteks K-pop, Annisa menambahkan, “musiknya sendiri sebetulnya sudah digabung dengan hip-hop serta pengaruh genre dari Barat sehingga audiens Indonesia tidak susah menerimanya.”
“Ada yang disebut cultural hybridity. Jadi kultur ini meskipun dia Korea Selatan, meskipun dia menyanyi dengan bahasa Korea, tapi ini sesuatu yang terlihat seperti Hollywood,” ucap Annisa.
Annisa, yang juga meneliti tentang fenomena pop culture Korea Selatan, melihat bahwa fandom dulu dan sekarang memiliki banyak kesamaan.
Komunikasi antar penggemar terbentuk atas dasar kesukaan terhadap boyband. Mereka rajin mengoleksi album, menghadiri konser, dan tidak ragu berseteru dengan fandom lain.
Geliat fandom yang semakin masif, menurut Annisa, didorong oleh kemunculan teknologi media sosial.
“Kalau saya melihatnya karena kebanyakan orang Indonesia punya akses ke media sosial. Dengan begitu, kita jadi semakin mudah mengakses informasi atau join ke fandom tertentu,” tandasnya.
Laporan We Are Social pada 2024 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 185,3 juta orang, naik 0,8% dari tahun sebelumnya.
Penggunaan smartphone (dan internet) untuk media sosial berada di angka 97,8%, tertinggi dibandingkan kebutuhan lain seperti streaming, berita, atau musik.
Annisa berpendapat bahwa fenomena fandom tidak seharusnya dipandang secara terpisah. Kemunculan fandom K-pop pada dasarnya “sama seperti fans di bidang lainnya.”
Eksistensi fandom apa pun, baik itu sepak bola, musik, atau film, “diikat oleh satu common value [kesamaan nilai] yang membikin mereka kompak,” jelas Annisa.
“Kalau orang suka Manchester United, walaupun dia kalah terus, fans akan tetap di situ karena seperti itulah model fans,” imbuhnya.
‘Semua Sengaja Didesain oleh Industri K-pop’
Data yang disusun Chartmetric pada 2024 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar K-pop terbesar di dunia, sekitar 18,47%. Indonesia mengungguli Amerika Serikat, Filipina, bahkan negara asal K-pop itu sendiri: Korea Selatan.
Riset Katadata Insight Center yang dilakukan pada Juni 2022 menunjukkan bahwa K-pop berada di posisi kedua dan ketiga sebagai jenis hiburan Korea Selatan yang paling dinikmati responden di Indonesia, dengan angka 55,1% untuk boyband dan 50,5% untuk girlband. K-drama menempati posisi pertama dengan 60,3%.
Jika dirinci lebih lanjut, BTS menjadi boyband yang paling digemari (46%), unggul dari NCT (26%), EXO (21%), Super Junior (14%), dan Seventeen (11%). Dari sisi girlband, Blackpink menjadi yang teratas dengan 46,3%, diikuti oleh TWICE (17,4%), Girls’ Generation (17,3%), Red Velvet (16,6%), dan ITZY (11,8%).
Dari aspek fandom, ARMY paling dominan (32,3%), disusul oleh BLINK (Blackpink), EXO-L (EXO), dan NCTZen, masih mengacu pada temuan Katadata Insight Center. Keempatnya adalah fans dari idol generasi ketiga.
Selain mereka, fandom dari idol generasi kedua yang masuk 10 besar adalah E.L.F (Super Junior) dan SONE (SNSD). Sisanya diisi oleh fandom generasi keempat: STAY (Straykids), MOA (TXT), MY (aespa), dan Teume (Treasure).
Amalia Nur Andini, dosen Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya, berpendapat bahwa masifnya fandom K-pop di Indonesia dipengaruhi oleh desain industri K-pop yang berorientasi pada keuntungan.
Industri K-pop, menurut Andini, menyediakan berbagai elemen dalam marketing mereka untuk menarik sebanyak mungkin orang untuk bergabung menjadi seorang fans.
“Mereka jualan merchandise seperti lightstick atau tawaran membership. Keduanya seperti wajib dipenuhi kalau kita sudah masuk fanbase NCT, Super Junior, atau BTS,” ujarnya.
“Semakin kita banyak mengumpulkan perintilan-perintilan itu, semakin mengokohkan identitas kita sebagai fans K-pop sejati.”
Indikator lainnya adalah konstruksi “kedekatan” emosional antara idol dengan fandom, yang sejak awal dirancang sebagai pintu masuk untuk mengumpulkan massa dalam jumlah besar, tambah Andini.
Hubungan yang terjalin antara idol dan fandom sering kali didefinisikan sebagai parasosial. Artinya, menurut Andini, fans “merasa mempunyai kedekatan emosional kepada idol mereka.”
“Walaupun idol-nya juga bahkan enggak tahu kita itu siapa. Mereka enggak kenal kita. Tapi, di sini, kita merasa sedekat itu dengan idol,” ujarnya.
Cara industri K-pop memupuk sisi emosional tersebut adalah dengan menyajikan konten-konten di luar profesi idol, seperti aktivitas keseharian atau behind the scene, untuk semakin merekatkan kedekatan dengan fandom.
“Kalau dulu waktu awal-awal generasi dua, saya melihat idol itu ada dance practice. Dari situ kita bisa lihat kehidupan idol di luar panggung itu seperti apa. Tahu cara mereka ngomong, hobinya apa, makanan favoritnya apa, bahkan warna kesukaannya apa,” sebut Andini.
“Hal-hal seperti ini, yang kemudian membikin fandom jadi seperti obsesif, itu memang sengaja dilakukan dari industri K-pop.”
Andini menambahkan bahwa melihat fandom K-pop tidak seharusnya hanya berfokus pada individu-individu di dalamnya.
Segala konsekuensi yang dilahirkan oleh fandom, baik positif maupun negatif, merupakan output dari pengelolaan atau kapitalisasi industri K-pop.

Andini menganggap bahwa dinamika fandom akan terus bergulir, termasuk potensi perseteruan, perisakan, atau “pembelaan yang berlebihan.”
Namun, langkah preventif tetap dapat diambil, menurutnya.
“Salah satu cara untuk mencegah ini adalah dengan memperkuat relasi digital dan hubungan di dalam fandom itu sendiri, dan saya melihat pentingnya peran admin [grup fandom] karena dia yang memoderasi informasi yang masuk,” paparnya.
“Kalau dari platform media sosial, kita bisa responsif untuk report ketika ada akun-akun yang, misalnya, menyulut emosi atau ada peluang melakukan bullying.”



