Kerangka Kwitang: Identitas Terungkap? Hilangnya Demonstran Terjawab?

Posted on


Misteri Kerangka Manusia di Kwitang: Jejak Demonstrasi Berdarah dan Penghilangan Paksa?

Dua kerangka manusia ditemukan di sebuah gedung di Kwitang, Jakarta Pusat, bekas lokasi kebakaran saat demonstrasi akhir Agustus lalu memanas. Penemuan ini memunculkan dugaan kuat bahwa kedua kerangka tersebut adalah Farhan Hamid dan Reno Syahputeradewo, dua demonstran yang hilang usai unjuk rasa di depan markas Brimob pada 29 Agustus.

Untuk mengungkap identitas kedua kerangka, Polres Metro Jakarta Pusat tengah melakukan tes DNA. Hasilnya akan diumumkan pada 5 November mendatang. “Keluarga dari demonstran yang dilaporkan hilang oleh KontraS telah memberikan sampel DNA pembanding di RS Kramat Jati dan Labfor Polri,” jelas Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Robby Herry Saputra, kepada wartawan, Minggu (2/11).

Kerangka pertama kali ditemukan oleh petugas yang sedang merenovasi gedung. Mereka terkejut dan segera melaporkan penemuan mengerikan itu ke polisi. “Jenazah dalam kondisi hangus terbakar dan tertumpuk di bawah sisa material kebakaran. Gedung itu sendiri sudah tidak digunakan lagi sejak peristiwa kebakaran,” ungkap Robby.

Farhan Hamid dan Reno Syahputeradewo menjadi simbol dari puluhan orang yang hilang selama demonstrasi yang berlangsung sejak 25 hingga 31 Agustus. KontraS mencatat, keduanya terakhir terlihat di sekitar Kwitang, salah satu titik pusat kerusuhan.

Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan skala besar dari peristiwa tersebut. Lebih dari 3.000 orang ditangkap, 1.042 luka-luka, dan 10 meninggal dunia. Salah satu korban tewas adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas terlindas rantis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat. Data ini dikumpulkan dari 20 kota di Indonesia.

KontraS menduga kuat bahwa aparat kepolisian terlibat dalam praktik penghilangan paksa setelah demonstrasi. Pada 1 September 2025, mereka membuka posko pengaduan orang hilang, merespon “lonjakan laporan terkait individu yang hilang secara tiba-tiba, terutama dari Jakarta dan Bandung, wilayah yang menjadi pusat mobilisasi massa.”

Menurut KontraS, para korban ditahan aparat negara “secara incommunicado,” tanpa akses komunikasi dengan dunia luar, termasuk keluarga dan pendamping hukum. “Dalam kata lain, aparat kepolisian telah melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditahan,” tegas KontraS.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mendesak kepolisian untuk membuka data lengkap identitas semua orang yang ditangkap dan ditahan selama aksi.

Farhan dan Reno: Dua Bulan dalam Kegelapan

Dua bulan sudah berlalu, namun keberadaan Farhan dan Reno masih menjadi misteri. Investigasi Harian Kompas mengungkap kesaksian seseorang yang melihat sosok mirip Farhan terluka di Kwitang, menerima bantuan oksigen di posko medis sebelum dibawa ojek ke RSPAD Gatot Subroto. Keluarga meyakini bahwa itu Farhan, berdasarkan ciri pakaiannya. Reno sendiri, dilaporkan menuju Kwitang setelah berpamitan kepada rekannya.

Investigasi yang sama juga menemukan kejanggalan digital: akun media sosial Farhan tetap aktif setelah ia menghilang. Muncul dugaan bahwa akun tersebut dibajak, mempersulit pelacakan. Tanggal terakhir keduanya terlihat adalah 29 Agustus 2025, hari yang sama dengan kebakaran yang menghanguskan gedung tempat kerangka manusia ditemukan.

Farhan dan Reno hanyalah dua dari puluhan orang yang hilang selama demonstrasi di berbagai kota, dari Jakarta Pusat hingga Karawang. KontraS mengkategorikan 33 orang sebagai korban penghilangan paksa, di mana “mereka sengaja dan tanpa izin ditahan oleh aparat keamanan.” Sisanya, 8 orang, dilaporkan hilang kontak karena miskomunikasi. Kini, hanya Farhan dan Reno yang masih belum ditemukan.

KontraS menggunakan istilah “penghilangan paksa” karena adanya upaya “menyembunyikan nasib maupun keberadaan” para korban oleh aparat. Pencarian korban seringkali berakhir di markas kepolisian, dari polres hingga polda, namun tanpa informasi yang jelas bagi keluarga atau pendamping hukum. Para korban rata-rata menghilang selama 12 hingga 72 jam, tanpa akses bantuan hukum.

KontraS menyebut tindakan ini sebagai “penghilangan paksa jangka pendek (short-term enforced disappearances).” Mereka menilai negara masih mempertahankan impunitas dan belum serius menghapus praktik ini, “sekalipun dalam bentuk yang lebih halus dan sistematis.”

“Situasi ini memenuhi unsur penghilangan paksa sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa [ICPPED], terutama terkait unsur penahanan rahasia dan tanpa komunikasi,” papar KontraS.

Dimas Bagus Arya kembali mendesak kepolisian membuka data identitas semua yang ditangkap dan ditahan. Ia juga meminta Komnas HAM, Ombudsman RI, dan LPSK untuk menginvestigasi dugaan penghilangan paksa ini. “Kami juga meminta pemerintah segera meratifikasi konvensi internasional dan memasukkan penghilangan paksa menjadi delik pidana,” tegas Dimas.

Saat ini, hukum Indonesia hanya mengatur penghilangan paksa dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan hak setiap orang untuk bebas dari penghilangan paksa, namun belum diintegrasikan dalam ketentuan pidana.

Selain itu, banyak korban ditemukan dengan kondisi mengalami kekerasan fisik dan psikologis, seperti luka memar, sobek, dan trauma. Dari 41 orang yang ditemukan antara 1 dan 8 September 2025, 15 terluka, 4 sehat, dan 22 belum diketahui kondisinya. KontraS juga menemukan adanya praktik penyiksaan oleh kepolisian, bahkan ketika korban tidak melawan.

Kepolisian juga dituding memberikan informasi yang tidak akurat, “dengan menyatakan bahwa orang yang dicari tidak berada dalam penguasaan mereka,” namun kemudian ditemukan berada dalam pengawasan atau tahanan aparat. KontraS menggarisbawahi bahwa kebohongan ini adalah upaya sistematis untuk menutupi keberadaan korban dan menghambat transparansi.

“Hari ini Reno dan Farhan, Besok Bisa Jadi Diri Kita Sendiri”

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menduga konflik kepentingan di tubuh kepolisian menjadi penyebab lambatnya pengungkapan kasus Reno dan Farhan. Ia menilai polisi memiliki kemampuan teknis yang lengkap untuk mengungkap kasus ini.

“Masalahnya, saya menduga, ada keterlibatan aparat negara. Makanya ini terkesan sulit dibongkar. Ada konflik kepentingan, konflik politik, di baliknya.” Arif juga mendesak pembentukan tim pencari fakta independen untuk mengungkap kekerasan, perusakan, dan kematian akibat demonstrasi. Ia menyoroti kasus tewasnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan, di mana kepolisian menjadi pelaku.

Arif menekankan pentingnya menekan kepolisian untuk menuntaskan kasus ini, demi mencegah normalisasi kekerasan aparat. Polisi tidak boleh menutupi proses pencarian Farhan dan Reno. Publik berhak tahu keberadaan mereka, dan polisi harus menjelaskan jika ada keterlibatan aparat dalam kasus ini. “Hari ini Reno dan Farhan. Besok bisa jadi kita, keluarga kita, atau orang yang kita kenal,” pungkas Arif. “Sama seperti siklus kejahatan negara yang selama ini terjadi.”

“Masalahnya Cuma Polisi Mau atau Tidak”

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabarina, menilai kasus Reno dan Farhan merepresentasikan dua masalah serius di tubuh kepolisian: agenda reformasi Polri dan penundaan berlarut (undue delay) dalam penanganan kasus.

Gina menekankan bahwa jika Polri benar-benar ingin memperbaiki diri, mereka harus menyelesaikan kasus penghilangan paksa ini. Ia juga menyoroti masalah penundaan berlarut dalam kasus-kasus yang ditangani kepolisian. “Padahal ini harusnya tidak boleh dilakukan, dan ini semakin menunjukkan dalam kasus yang krusial saja mereka melakukan penundaan berlarut dengan sengaja seperti itu.”

Menurut Gina, solusi terletak pada “kemauan” polisi. Dengan sumber daya yang ada, polisi “sangat bisa” menyelesaikan kasus ini, termasuk menggunakan teknologi untuk melacak keberadaan orang, apalagi jika akun media sosial korban sempat aktif.

Gina juga menilai kepolisian menjadikan kasus Farhan dan Reno sebagai “nilai tawar,” seolah mengirimkan pesan kepada publik untuk tidak terus-menerus “menghantam” mereka. Semakin banyak kritik, semakin lama pula polisi mengambil tindakan.

Hampir Seribu Orang Dijadikan Tersangka

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit mengumumkan penangkapan para pendemo yang membuat rusuh demi terciptanya keamanan, usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto. “Perintah beliau [presiden] untuk segera mengembalikan keamanan, sehingga masyarakat bisa melaksanakan kegiatannya, perekonomian bisa kembali tumbuh,” kata Listyo, 1 September.

Arahan ini diterjemahkan dengan penangkapan massal. Di Jakarta, lebih dari 1.400 orang ditangkap, 43 di antaranya menjadi tersangka. Polda Metro Jaya juga menambah 16 tersangka atas perusakan fasilitas umum. Di Jawa Barat, 42 orang menjadi tersangka atas tuduhan perusakan dan penyebaran konten provokatif di media sosial. Polda Jawa Barat sebelumnya menahan 727 orang. Polisi juga menyita buku dan zine sebagai barang bukti.

LBH Bandung menerima 230 aduan dari peserta aksi antara 29 Agustus dan 8 September 2025. Sebanyak 100 orang dibebaskan, 13 menjadi tersangka, 48 luka-luka, dan 69 berstatus tidak jelas. Pendampingan LBH Bandung sempat terhambat karena Polda Jawa Barat dinilai menutupi informasi mengenai status dan keberadaan ratusan tahanan.

Di Bali, 170 orang ditahan dan 14 menjadi tersangka atas tuduhan menghasut massa. Di Jawa Timur, 580 orang ditangkap terkait demonstrasi di enam kota. Sebanyak 479 orang dipulangkan, 89 diproses hukum, dan 12 diperiksa. Ombudsman Jawa Timur meminta Polda Jawa Timur membuka data puluhan orang yang masih ditahan.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 159 orang ditangkap terkait demonstrasi Agustus. Penangkapan tersebar di Magelang, Banyumas, dan Yogyakarta, mayoritas adalah anak di bawah umur. Polda Jawa Tengah mengklaim menangkap 1.747 orang selama unjuk rasa antara 29 Agustus dan 1 September 2025, dengan 46 orang menjadi tersangka.

Demonstrasi di Semarang diwarnai kematian mahasiswa Unnes, Iko Juliant Junior, pada 30 Agustus 2025. Pusat Bantuan Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unnes menemukan kejanggalan, seperti luka lebam di wajah. Saksi menyebut Iko mengigau dipukuli aparat. Polda Jawa Tengah menyatakan Iko meninggal karena kecelakaan kendaraan.

Secara total, Polri menangkap 5.444 orang, 4.800 di antaranya telah dipulangkan dan 583 diproses hukum. Hingga kini, sekitar 959 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menemukan pola pelanggaran berulang, seperti kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan.

Kasus di Magelang, yang ditangani LBH Yogyakarta, menimpa anak di bawah umur yang sedang tidak terlibat aksi saat ditangkap. “Dia tidak [gabung] demo. Dia, waktu itu, cuma COD saja. Dan dia ada acara [peringatan] 17 Agustus di desanya lalu tiba-tiba ditangkap,” sebut Direktur LBH Yogyakarta, Julian Prasetya. Korban dipaksa mengaku mengikuti demo dan datanya disebar sebagai pelaku demo anarkis. Keluarga korban melaporkan dua pejabat Polres Magelang ke Polda Jawa Tengah atas dugaan salah tangkap.

Kapolres Magelang, AKBP Anita Indah Setyaningrum, membantah anggotanya melakukan pelanggaran hukum dan siap mengikuti prosedur yang ada. Julian menegaskan bahwa mayoritas anak di bawah umur yang ditangkap polisi “tidak didampingi orangtua atau wali” saat diperiksa, melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak. Temuan TAUD juga menyebutkan bahwa setengah dari laporan penahanan yang masuk menyeret anak-anak muda di bawah 18 tahun.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menyebut penangkapan anak muda tanpa bukti kuat sebagai “kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.” Arif juga menyoroti keterbatasan sumber daya tim advokat dalam menghadapi banyaknya orang yang ditangkap. Dari 500 lebih aduan yang diterima TAUD, hanya sebagian yang bisa dijangkau.

Arif juga mengkritik aparat yang menghalang-halangi akses bantuan hukum kepada korban, bahkan memberikan pengacara dari polisi yang hanya sebatas “formalitas.” Pengacara tersebut tidak pernah mendampingi korban dan tidak memberikan pembelaan. Arif khawatir korban mengalami tekanan dan apa yang mereka sampaikan tidak dicatat oleh kepolisian.

“Jangan Buru-buru Menyimpulkan Penghilangan Paksa”

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa keberadaan Farhan dan Reno sudah mulai diketahui, namun belum bisa diungkapkan. “Baru bisa kami umumkan kalau sudah ketemu,” tambahnya. “Kemungkinan juga tidak terlibat langsung dengan demo yang terjadi kemarin.”

Kepolisian merespons tekanan publik dengan membentuk posko pencarian dan mengerahkan tim gabungan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, meminta keluarga korban memberikan informasi kepada kepolisian.

Sementara itu, pemerintah meminta publik tidak terburu-buru menyimpulkan Farhan dan Reno sebagai korban penghilangan paksa, karena dua orang yang sebelumnya dikabarkan hilang sudah ditemukan. “Kita enggak bisa terburu-buru menyatakan, menyimpulkan, itu sebagai penghilangan paksa,” jawab Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM, Munafrizal Manan.

Bima Permana Putra, yang sebelumnya dilaporkan hilang, tiba-tiba muncul dan mengaku berjualan mainan barongsai di Malang. Eko Purnomo, juga dilaporkan hilang, muncul sebagai nelayan di Kalimantan Tengah. Polisi mengklaim Eko menghubungi orang tuanya melalui WhatsApp dan mengaku hendak merantau ke Kalimantan.

“Mematahkan Semua Masyarakat Sipil”

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, menilai perburuan demonstran yang dibarengi penangkapan dan penghilangan massal adalah cara pemerintah “memperingatkan” masyarakat luas. Pemerintah tidak menginginkan kritik dan menunjukkan ciri khas “pemerintahan yang otoriter.”

Dengan menangkapi orang-orang yang mendemo kebijakan pemerintah, banyak orang menjadi takut untuk mengkritik atau ikut demonstrasi. “Tujuan pemerintah membungkam kritik sebenarnya sudah tercapai,” tambah Bivitri. “Semacam diberi peringatan bahwa ini yang akan kamu dapatkan kalau kamu menentang rezim. Jadi, mematahkan semua oposisi, masyarakat sipil, atau siapa saja.”

* Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
* Polisi dituduh ‘melampaui batas’ dalam atasi demo Agustus 2025 – ‘Kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti’
* Apa itu tuntutan 17+8? – Mahasiswa akan terus demo sampai tuntutan dipenuhi, DPR berikan tanggapan

* Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran – ‘Arah balik demokrasi’ dan apa saja tantangan yang mungkin dihadapi ke depan?
* Survei kinerja Prabowo – Apakah gelombang unjuk rasa diperhitungkan dan sejauh mana bias dalam klaim kepuasan publik?
* Siapa aktivis hingga TikToker yang jadi tersangka penghasutan demo Agustus?

* Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
* Demo UU Cipta Kerja warnai satu tahun periode kedua Jokowi, bagaimana nasib demokrasi Indonesia?
* Demo tolak Omnibus Law di 18 provinsi diwarnai kekerasan, YLBHI: ‘Polisi melakukan pelanggaran’

* Trauma kerusuhan 1998 usai rentetan aksi penjarahan – ‘Rumah dijaga TNI bisa dijarah, bagaimana rumah rakyat biasa?’
* TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
* Sepuluh orang meninggal dalam gelombang demonstrasi – ‘Negara harus menjawab tuntutan masyarakat’

* ‘Pemerintah pusat lepas tanggung jawab, pemda terjepit’ – Mengapa gerakan warga disebut satu-satunya cara batalkan kenaikan pajak?
* Demo DPR: Kendaraan polisi melindas pengemudi ojol hingga tewas, Istana minta maaf dan tujuh polisi diperiksa
* Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’ – Apakah aksi massa bakal membesar?

* Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT
* Demo mahasiswa ‘Indonesia Gelap’ di berbagai daerah bikin ‘legitimasi pemerintahan Prabowo oleng’
* Demonstrasi mahasiswa menentang UU TNI berlangsung maraton dan menyebar ke banyak kota, apa maknanya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *