Hee-kyung tersenyum kecil saat memasuki “minimarket penuh kasih sayang” di Seoul. Usianya baru 29 tahun, namun ia telah menemukan tempat pelarian dari kesepian yang semakin mencekik kota metropolitan ini. Berbeda dengan sebagian besar pengunjung lainnya yang berusia 40-50 tahun, Hee-kyung menjadi satu-satunya anak muda yang rajin mengunjungi minimarket unik ini. Setiap hari, ia menghabiskan berjam-jam di sana, berbincang dengan pengunjung lain sembari menikmati mie instan gratis yang disediakan.
“Saya tidak punya tempat lain untuk pergi jika bukan karena toko ini,” akunya lirih. Kisah Hee-kyung merepresentasikan masalah yang semakin mengkhawatirkan di Seoul: meningkatnya angka isolasi sosial, terutama di kalangan anak muda dan lansia.
Sohn, seorang pria berusia 68 tahun, juga merasakan manfaat minimarket tersebut. Setiap minggu, ia meluangkan waktu dua hingga tiga jam untuk menonton film dan sejenak meninggalkan rumahnya yang sempit. “Minimarket seperti ini seharusnya sudah ada sejak lama,” tuturnya, menggambarkan rasa nyaman yang ia temukan di tempat tersebut.
Minimarket “penuh kasih sayang” ini diluncurkan beriringan dengan kampanye “Seoul Without Loneliness” pada akhir tahun 2024. Tujuannya mulia: menjadi wadah bagi mereka yang merasa kesepian dan terpinggirkan, menawarkan tempat berlindung dari isolasi sosial yang semakin meluas.
Apa sebenarnya “minimarket penuh kasih sayang” itu? Sebuah studi pada tahun 2022 mengungkap fakta mengejutkan: sekitar 130.000 anak muda berusia 19-39 tahun di Seoul mengalami isolasi sosial atau bahkan mengurung diri. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa hampir 40% rumah tangga di Seoul beranggotakan satu orang.
Situasi ini membuat pemerintah khawatir, mengingat upaya mereka untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran dan pernikahan yang terus merosot. Saat tim BBC mengunjungi salah satu minimarket di Distrik Dongdaemun, mereka melihat puluhan pengunjung dari berbagai usia tengah menikmati waktu bersama, menonton film, atau bersantai di beanbag.
Pemilihan lokasi di Dongdaemun bukan tanpa alasan. Daerah ini dikenal dengan perumahan berpenghasilan rendah dan banyak penghuninya tinggal sendirian di apartemen kecil. “Kami mengadakan hari film untuk mendorong ikatan sosial yang lebih erat,” jelas Kim Se-heon, manajer Divisi Penanggulangan Kesepian Kota.
Selain menonton film, pengunjung juga bisa menikmati fasilitas lain, seperti kursi pijat otomatis. Suasana hangat dan nyaman seperti kafe juga sengaja dihadirkan. “Ramen adalah simbol kenyamanan dan kehangatan di Korea Selatan,” kata Kim, menjelaskan alasan penyediaan mie instan gratis bagi pengunjung.
Setiap hari, minimarket ini menerima sekitar 70 hingga 80 pengunjung. Meskipun masih sebagian kecil dari jumlah orang yang mengalami isolasi sosial, keberadaan minimarket ini menjadi bukti nyata upaya pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut. Konsep ini tak hanya diterapkan di Dongdaemun, namun juga di lokasi lain, menawarkan solusi bagi mereka yang merasa tak diterima di tempat lain. Selain ruang bersosialisasi dan film, minimarket ini juga menyediakan pendingin udara selama musim panas bagi warga berpenghasilan rendah yang mungkin tak mampu membeli AC sendiri.
Lebih dari sekadar tempat berkumpul, minimarket ini dirancang sebagai ruang aman bagi orang-orang yang kesepian, tempat mereka dapat menghindari stigma dan merasa nyaman untuk meminta bantuan. Pilihan nama “minimarket” pun disengaja, sebagai upaya untuk menjauhkannya dari citra klinik kejiwaan, mengingat masih adanya stigma terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan lansia di Korea Selatan.
Pelarian dari Kesepian: Kisah Sohn dan Hee-kyung Kisah Sohn, pria 68 tahun yang menghabiskan hidupnya merawat ibunya yang sakit, menggambarkan betapa minimnya pilihan bagi mereka yang terisolasi secara sosial. Setelah ibunya meninggal, ia ditinggal sendiri tanpa keluarga dan dengan kondisi kesehatan yang memburuk. “Tempat-tempat membutuhkan uang, pergi ke bioskop juga membutuhkan uang,” katanya, menggambarkan sulitnya mengakses hiburan dan tempat berkumpul.
Hee-kyung, di sisi lain, mewakili tantangan yang dihadapi anak muda. Ia memutuskan untuk hidup sendiri dan memutuskan kontak dengan keluarganya. Tanpa pekerjaan dan hanya berteman daring, ia merasa terisolasi dan kesepian. “Saya berkata pada diri sendiri, ‘setiap hari adalah kesempatan untuk melarikan diri dari rasa kesepian’,” ungkapnya.
Hee-kyung adalah salah satu dari 20.000 orang yang mengunjungi keempat minimarket ini sejak dibuka Maret lalu, jauh melampaui perkiraan awal pemerintah sebanyak 5.000 pengunjung. Angka ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan akan tempat seperti ini.
Mengapa Kesepian Meningkat? Transformasi Korea Selatan yang pesat dari masyarakat agraris menjadi ekonomi maju turut berperan dalam meningkatnya angka kesepian. Migrasi ke kota, keluarga inti yang semakin kecil, perumahan yang tak terjangkau, biaya hidup tinggi, dan jam kerja yang panjang telah menciptakan generasi muda yang menunda pernikahan dan memiliki anak. Sementara itu, lansia merasa terabaikan oleh anak-anak mereka yang sibuk mengejar karir.
“Anda tahu pepatah, makanan paling tidak enak adalah yang dimakan sendirian? Saya bertanya kepada orang-orang tua yang datang ke sini apakah mereka makan dengan baik. Mereka akan menangis hanya karena ditanya pertanyaan itu,” kata Lee In-sook, konselor di toko tersebut, menggambarkan kepedihan yang dirasakan para lansia.
In-sook sendiri memahami arti kesepian setelah bercerai dan anak-anaknya dewasa. Ia terhubung dengan Hee-kyung yang awalnya pendiam, dan menunjukkan bagaimana koneksi manusiawi dapat mengatasi isolasi.
Bagaimana Pemerintah Mengatasi Kesepian? Meningkatnya jumlah warga lansia yang meninggal seorang diri mendorong Pemerintah Kota Seoul untuk bertindak. Selain minimarket, mereka juga meluncurkan layanan hotline untuk memberikan dukungan psikologis kepada warga yang membutuhkan. Survei tahun 2023 menunjukkan bahwa sepertiga orang dewasa Korea tidak memiliki siapa pun untuk dimintai bantuan atau diajak bicara saat sedih.
Konselor seperti Park Seung-ah menyediakan panggilan selama 40 menit untuk membantu warga berbagi beban mereka. “Saya terkejut melihat begitu banyak anak muda yang menginginkan sesi ini. Mereka ingin berbagi beban di dada mereka, tetapi seringkali ada dinamika kekuasaan dengan orang tua atau teman-teman mereka. Jadi mereka datang kepada kami,” katanya.
Minimarket “penuh kasih sayang” hadir sebagai pelengkap layanan hotline, menyediakan tempat fisik bagi warga yang kesepian untuk berinteraksi dan merasa diterima. Meskipun awalnya ada kecanggungan, banyak pengunjung akhirnya menemukan kenyamanan dan koneksi sosial di tempat ini.
Kisah Hee-kyung dan In-sook menjadi contoh bagaimana koneksi manusiawi, sekecil apapun, dapat memberikan harapan dan meringankan beban kesepian yang semakin menjadi masalah serius di Korea Selatan.