Vincen Kwipalo, Tokoh Adat Suku Yei Papua, Diteror karena Menolak Proyek Tebu Nasional: Konflik Tanah Mencuat
Vincen Kwipalo, seorang tokoh masyarakat adat Suku Yei yang gigih menentang Proyek Strategis Nasional (PSN) tebu di Merauke, Papua Selatan, mengalami serangan di kediamannya. Insiden ini menjadi sorotan tajam, memperlihatkan bagaimana PSN telah memicu konflik horizontal yang memprihatinkan antar-marga dalam satu suku yang sama.
Serangan tersebut terjadi pada Senin malam, 6 Oktober, sekitar pukul 22.00 WIT. Empat orang tak dikenal menyatroni rumah Vincen yang terletak di Kampung Blandin Kakayu, Distrik Jagebob.
Aksi brutal para pelaku tidak hanya berhenti pada kata-kata. Mereka merusak mobil bak terbuka milik keluarga Vincen dengan kapak dan menembakkan sejumlah anak panah ke arah rumah, menciptakan suasana mencekam di tengah malam.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebuah organisasi yang aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat adat Papua, menduga kuat bahwa penyerang tersebut terkait dengan marga Blojei. Marga ini sebelumnya telah menyerahkan hak atas tanah ulayat mereka kepada perusahaan pengelola PSN tebu di Merauke.
Ironisnya, marga Kwipalo, yang berasal dari suku yang sama dengan marga Blojei, tetap teguh pada pendiriannya untuk menolak menyerahkan tanah ulayat mereka kepada PT Murni Nusantara Mandiri, pengelola PSN tebu.
Menurut Laksmi Adriani Savitri, seorang antropolog dari UGM, pola seperti ini seringkali dimanfaatkan oleh korporasi untuk memecah belah masyarakat, bahkan dalam satu suku. Tujuannya adalah untuk mengintimidasi dan melancarkan proyek yang mendapat penolakan dari sebagian masyarakat.
Laksmi menambahkan, perusahaan secara “kreatif” menggunakan pola ini untuk membangun intimidasi terhadap mereka yang tidak sepakat.
Hingga saat ini, pihak kepolisian setempat masih belum berhasil menangkap keempat pelaku penyerangan tersebut.
Bagaimana Kronologi Penyerangan Rumah Vincen Kwipalo?
Teror terhadap rumah Vincen terjadi pada Senin malam, dimulai sekitar pukul 22.00 WIT. Vincen, yang sedang berada di dalam rumah, dikejutkan oleh suara keributan dari arah depan rumahnya.
Pria berusia 67 tahun itu mencoba mengintip melalui celah dan melihat empat orang berada di halaman depan, membawa berbagai senjata tajam seperti parang, panah, kapak, dan katapel.
“Mereka berteriak, ‘bongkar rumah, bakar rumah, bunuh orangnya’,” ungkap Vincen kepada BBC News Indonesia, seraya menambahkan bahwa keempat pelaku juga beberapa kali meneriakkan namanya.
Tidak hanya melontarkan makian dan ancaman, mereka juga merusak rumah dan barang-barang milik keluarga Vincen.
Vincen menuturkan bahwa kaca depan rumahnya dan kaca depan rumah anak sulungnya, Viktor Kwipalo, pecah akibat terkena katapel, panah, dan hantaman balok kayu.
Berusaha menghindari konflik yang lebih besar, Vincen memilih untuk tidak membalas provokasi dan serangan tersebut. Ia memilih untuk tetap berada di dalam rumah.
“Saya tidak layani [membalas serangan], tenang saja di dalam rumah,” kata Vincen, sambil menambahkan bahwa keempat pelaku diduga dalam kondisi mabuk.
Keributan sempat mereda setelah keempat orang itu meninggalkan lokasi. Namun, sekitar pukul 23.21 WIT, mereka kembali ke depan rumah Vincen dan kembali melakukan perusakan.
“Mereka datang untuk kedua kali dan menghancurkan jendela menggunakan kapak,” lanjutnya.
Pada Selasa pagi, Vincen dan keluarganya memeriksa kerusakan akibat serangan semalam dan menemukan tujuh anak panah tertancap di dinding rumah. Beberapa anak panah juga menancap di batang pohon tidak jauh dari rumahnya.
Selain itu, badan mobil bak terbuka milik anak keduanya, Andreas Kwipalo, berlubang akibat dihantam kapak.
Intimidasi terhadap keluarga Vincen ternyata masih berlanjut. Saat sedang membersihkan rumah, para perusuh kembali mendatangi rumahnya.
Beruntung, menurut Vincen, mereka tidak melakukan kekerasan fisik apa pun.
Tidak ingin masalah berlarut-larut, Vincen kemudian menghubungi sejumlah pegiat HAM dan perlindungan masyarakat adat di Merauke, seperti Yayasan Pusaka dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke.
Mereka kemudian melaporkan serangan tersebut ke Markas Polsek Jagebob.
“Polisi sudah mendokumentasikan sisa serangan dan membawa anak panah,” kata Vincen.
Vincen mengaku mengenali keempat orang yang menyerang dan merusak rumah serta barang-barangnya.
“Mereka dari kampung saya sendiri,” terang Vincen.
Aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Gerry Cambu, yang ikut mendampingi Vincen ke Polsek Jagebob, mengatakan bahwa empat orang telah dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan perusakan.
Mereka adalah Norbertus Dagejai, Soter Dagejai, Karel Tangkejai, dan Simon Tangkerje. Nama terakhir, menurut Gerry, memiliki hubungan keluarga dengan marga Blojei.
Salinan laporan kepolisian yang diperoleh BBC News Indonesia membenarkan bahwa keempat nama tersebut dilaporkan sebagai terduga pelaku penyerangan dan perusakan rumah serta barang-barang milik Vincen.
Gerry mengatakan bahwa ia dan anggota Polsek Jagebob pada Selasa pagi sempat mendatangi rumah para pelaku yang berlokasi tidak jauh dari rumah keluarga Vincen, tetapi mereka tidak berada di rumah.
“Mereka kabur ke hutan,” kata Gerry.
Polres Merauke enggan memberikan komentar terkait penyerangan dan intimidasi yang menimpa Vincen, dengan alasan bahwa insiden tersebut ditangani oleh Polsek Jagebob.
BBC News Indonesia telah menghubungi pejabat Polsek Jagebob, tetapi hingga artikel ini diterbitkan, belum mendapat respons.
Namun, Gerry Cambu, yang mendampingi Vincen dalam kasus penyerangan tersebut, justru menyebutkan bahwa perkara ini akan diserahkan ke Polres Merauke.
“Karena di Polsek Jagebob tidak ada penyidik,” ujar Gerry.
‘Kami Diadu Perusahaan’
Gerry Cambu mengungkapkan bahwa serangan dan intimidasi yang dilakukan terhadap keluarga Vincen sepanjang Senin malam hingga Selasa pagi bukanlah yang pertama kali terjadi.
“Empat orang ini sudah sering [menyerang dan mengintimidasi]. Mereka selalu melakukan dalam keadaan mabuk,” ujar Gerry, sambil menambahkan bahwa setidaknya sudah ada lima intimidasi dan penyerangan yang mereka lakukan terhadap keluarga Vincen.
Sementara itu, Vincen menyebutkan bahwa serangan dan intimidasi terhadap dirinya dan keluarganya sudah terjadi sejak tahun 2024.
“Tidak pernah ada penangkapan. Orang sini [warga sekitar], kalau lihat begitu [penyerangan] tidak mau bantu karena susah dikendalikan, apalagi sedang dalam pengaruh alkohol,” lanjutnya.
Kepada BBC News Indonesia, Vincen tidak menampik bahwa serangan yang dialaminya berkaitan dengan sikap kerasnya yang menolak penjualan tanah ulayat Kwipalo serta penolakannya terhadap PSN tebu.
“Sudah pasti seperti itu [terkait PSN],” kata Vincen.
Ia menuturkan bahwa mereka sempat datang bersama beberapa orang lain saat tim dari PT Murni Nusantara Mandiri melakukan survei lokasi perkebunan tebu di tanah ulayatnya beberapa bulan lalu.
“Waktu itu kami bersikeras, [mengatakan] tidak boleh terobos hutan kami,” kata Vincen.
Ia mendesak pemerintah untuk menghentikan PSN di Merauke, menilai bahwa kehadiran perusahaan telah memecah belah masyarakat adat di wilayahnya.
“Semua berdasar pada kehadiran perusahaan ini. Kami diadu oleh perusahaan,” ujar Vincen.
“Sekarang mereka tutup mata saja, [menyisakan konflik antara] kami dan kami saja. Mau terjadi pembunuhan, mereka pun pasti diam saja.”
Berbeda dengan marga Kwipalo, sepuluh marga lain di kampung Vincen telah melepas tanah ulayat mereka kepada perusahaan yang mengelola PSN tebu di Merauke.
Perusahaan sendiri bersikeras ingin mengambil alih lahan tersebut, tetapi selalu ditolak oleh Vincen serta masyarakat adat Kwipalo.
Dikutip dari Tempo, perusahaan dalam surat pada Juli 2024 sempat menawarkan uang tali asih sebesar Rp420 juta untuk lahan seluas 1.400 hektare milik masyarakat adat Kwipalo.
Perhitungan luas lahan itu tidak sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang mencatat bahwa Vincen memiliki lahan seluas 2.308 hektare.
BBC News Indonesia telah menghubungi PT Murni Nusantara Mandiri untuk mengonfirmasi sejumlah klaim, tetapi hingga berita ini diterbitkan, belum mendapatkan jawaban.
Apakah Korporasi Berperan dalam Perpecahan Antarmarga?
Meskipun berbeda marga, Vincen dan Simon sebenarnya berasal dari suku yang sama, yaitu Yei atau Yei Nan, jelas Antropolog UGM Laksmi Andriani Savitri.
Yei Nan adalah salah satu suku yang mendiami Kabupaten Merauke, dekat perbatasan Papua Nugini.
Oleh karena itu, antropolog yang berfokus pada isu Papua itu mengaku miris menyaksikan konflik horizontal antara Vincen yang bermarga Kwipalo dan Simon yang bermarga Blojei terkait lahan untuk PSN tebu.
Meskipun tidak sepenuhnya bebas dari konflik, Laksmi mengatakan bahwa Suku Yei biasanya menyelesaikan perkara dengan mekanisme adat.
Ia merujuk pada “tikar adat”, praktik-praktik yang umum dilakukan oleh masyarakat adat di Merauke—seperti Suku Yei dan Malind—dengan mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapi, termasuk soal hak dan tanah adat.
Praktik ini pun beberapa kali berhasil menyelesaikan konflik soal batas tanah ulayat masyarakat adat di masa lalu.
Namun, Laksmi menilai bahwa praktik itu kini tidak lagi efektif untuk menyelesaikan permasalahan adat seperti soal tanah ulayat.
Pasalnya, perusahaan justru menggunakan berbagai praktik adat—termasuk ‘tikar adat’—untuk memetakan setiap marga atau suku, serta pendekatan yang akan digunakan.
“Mekanisme itu sebenarnya masih ada, tapi dimanipulasi untuk melancarkan agenda perusahaan,” kata Laksmi.
Laksmi menyebutkan bahwa permusuhan antarmarga di Papua marak setelah sejumlah proyek bermunculan di wilayah tersebut. Ia mencatat bahwa perselisihan terus meningkat sejak proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) digagas pada tahun 2010.
“Masuknya perusahaan ini [ke Papua] membuat keterpecahan di masyarakat, antara yang mau menerima dan tidak [menerima],” lanjut Laksmi.
Akibatnya, menurut Laksmi, peristiwa yang menimpa Vincen adalah “rentetan dari pola yang sudah dibangun sejak lama.”
“Pola seperti ini bahkan secara ‘kreatif’ dipakai perusahaan untuk membangun intimidasi bagi mereka yang tidak menerima,” ujar Laksmi.
“Diperburuk sekarang, bukan hanya oleh korporasi, tapi juga [akibat] janji-janji, di mana mereka yang mau menerima [maka] keluarganya akan diterima menjadi anggota TNI.”
Peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth, menambahkan bahwa potensi adu domba dalam konflik masyarakat adat di Papua sulit untuk diabaikan.
“Pola itu [adu domba] sangat mungkin terjadi. Itu bukan pola baru,” kata Adriana.
Menurutnya, masyarakat adat Papua memiliki aturan ketat soal kepemilikan adat. Setiap marga memiliki tanah ulayat yang tidak bisa dimasuki marga lain.
“Nah, kalau ada intervensi, ada yang cross the line, itu bukan adat lagi,” kata Adriana.
“Sudah ada rekayasa dari pihak berkepentingan dengan proyek yang harus selesai.”
BBC News Indonesia menghubungi PT Murni Nusantara Mandiri di Merauke untuk meminta tanggapan terkait penilaian sejumlah pengamat, namun tidak mendapat respons.
Protes Tolak PSN di Jakarta: ‘Papua Bukan Tanah Kosong’
Hampir bersamaan dengan penyerangan dan intimidasi terhadap Vincen Kwipalo di Kampung Blandin Kakayu, Distrik Jagebob, Merauke, puluhan orang menggelar unjuk rasa di depan gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jakarta pada 7 Oktober.
Massa dari Solidaritas Merauke itu mengkritik pengalihan lahan hampir setengah juta hektare di Papua Selatan untuk berbagai PSN.
Mereka mengecam pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid pada 29 September yang menyebutkan bahwa pihaknya telah melepas 474.000 hektare lahan dari kawasan hutan untuk mendukung program swasembada pemerintah di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
“Negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat,” kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Uli Arta Siagian.
Menurut Uli, masyarakat adat telah berulang kali menyuarakan penolakan terhadap PSN Merauke—baik di Jakarta maupun di Merauke, serta meminta negara untuk menghormati dan melindungi hak hidup masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber dayanya.
“Namun, pemerintah mengabaikan semua tuntutan dan suara masyarakat adat itu,” tegas Uli.
“Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke; Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan, tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut.”
Dalam pernyataannya, Nusron menyebutkan bahwa lahan yang dilepas berstatus kawasan hutan milik negara serta tidak ada yang mendiami. Akibatnya, pengalihannya tidak memerlukan proses pembebasan tanah.
“Kan ini hutan, punya negara. Enggak ada [pembebasan lahan], belum ada penduduknya, nggak ada yang bermukim di situ,” ujar Nusron pada 29 September.
Juru Bicara Solidaritas Merauke, Franky Samperante, menambahkan bahwa pernyataan Nusron tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah berlaku seperti pemerintah kolonial di masa lampau, yang mengaplikasikan doktrin ‘terra nullius’ atau ‘tanah kosong’.
“Doktrin tanah kosong senafas dengan ketentuan kolonial Belanda ‘domein verklaring‘ yang menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan tanah miliknya berdasarkan hukum barat, menjadi tanah milik negara,” kata Franky.
Dalam aksi tersebut, massa meneriakkan protes serta membentangkan spanduk yang menyatakan bahwa ‘Papua bukan tanah kosong’.
* ‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional
* Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’ – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
* Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
* ‘Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa’ – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
* Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’
* All Eyes on Papua – ‘Mengapa baru sekarang ramai-ramai bicarakan persoalan di Papua’?