Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kini tak dapat bepergian ke luar negeri setelah dicegah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pencegahan ini terkait dengan kasus dugaan korupsi kuota haji yang telah naik ke tingkat penyidikan. Perkara ini disinyalir berpotensi memperpanjang daftar kelam tata kelola perjalanan ke Tanah Suci yang sudah berulang kali tercoreh.
Kasus korupsi di lingkungan Kementerian Agama, khususnya terkait haji, bukanlah hal baru. Dua mantan menteri agama sebelum Yaqut pernah tersandung kasus serupa dan harus mendekam di penjara. Said Agil Husin Al Munawar divonis lima tahun penjara pada 2006, diikuti oleh Suryadharma Ali yang dihukum enam tahun penjara pada 2014. Kedua kasus tersebut memperlihatkan adanya pola korupsi yang persisten dalam pengelolaan ibadah haji di Indonesia.
Dalam perhitungan awal, kerugian negara akibat dugaan korupsi kuota haji kali ini diperkirakan mencapai angka fantastis, yakni Rp1 triliun. Angka ini didapat dari selisih biaya yang seharusnya masuk ke kas negara namun diduga menguap. Menanggapi situasi ini, Kementerian Agama menyatakan komitmennya untuk menghormati proses hukum yang berjalan di KPK, serta siap bekerja sama penuh dengan para penyidik untuk menuntaskan perkara ini.
Hingga saat ini, KPK belum menetapkan satu pun tersangka dalam dugaan korupsi haji terbaru ini. Namun, serangkaian pemeriksaan dan pencegahan bepergian ke luar negeri telah dilakukan terhadap sejumlah pihak, termasuk Yaqut Cholil Qoumas sendiri.
Bagaimana duduk perkara kasus ini?
Penyelidikan dugaan korupsi kuota haji ini bermula dari pantauan KPK terhadap distribusi kuota haji tambahan. Indonesia menerima alokasi tambahan sebesar 20 ribu orang dari pemerintah Arab Saudi untuk musim haji 2024, sebagai respons atas panjangnya masa tunggu jemaah haji reguler yang mencapai puluhan tahun. Kuota tambahan ini kemudian dibagi oleh Kementerian Agama, masing-masing setengah untuk kuota haji reguler dan setengah untuk kuota haji khusus. Pembagian ini disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Agama (SKMA) 130/2024.
SKMA 130/2024 inilah yang menjadi salah satu barang bukti penting dalam pengusutan dugaan korupsi kuota haji, sebagaimana diungkapkan oleh Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, pada 12 Agustus lalu. KPK menilai surat keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Beleid tersebut secara jelas mengatur bahwa pembagian kuota haji reguler dan khusus tidak boleh sama besar, melainkan kuota reguler harus mencapai 92% dan sisanya untuk kuota khusus.
Saat ini, KPK tengah menelusuri pihak yang menginisiasi kebijakan pembagian kuota tambahan secara sama rata tersebut. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah kebijakan ini berasal dari inisiatif “bottom-up” (dari bawah), “top-down” (dari atas), atau bahkan merupakan pertemuan kepentingan dari kedua arah. Berdasarkan analisis awal tersebut, KPK kemudian menggali lebih jauh dugaan pelanggaran hukum. Hasilnya, mereka menemukan adanya pertemuan antara pejabat Kementerian Agama dengan sejumlah pengusaha perjalanan haji, tak lama setelah kuota tambahan diterbitkan.
Meskipun Yaqut Cholil Qoumas tidak hadir dalam pertemuan tersebut, sebagai pejabat tertinggi di Kementerian Agama, ia dipanggil sebagai saksi oleh KPK pada 7 Agustus silam. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu diperiksa selama sekitar empat jam. Kepada awak media, Yaqut menolak menjelaskan secara rinci materi pemeriksaan, hanya menegaskan kesediaannya untuk kooperatif dan mematuhi proses hukum yang tengah berlangsung di KPK. Empat hari setelah pemeriksaan sebagai saksi, KPK menerbitkan surat larangan bepergian keluar negeri untuk Yaqut.
Berapa dugaan kerugian negara?
KPK menduga estimasi kerugian negara dalam dugaan korupsi kuota haji dapat mencapai Rp1 triliun. Perhitungan awal ini didapat dari potensi pendapatan negara yang hilang akibat berkurangnya jatah haji reguler, serta potensi pendapatan pihak swasta yang terdampak oleh perubahan jatah kursi tambahan. Melalui juru bicaranya, Anna Hasbie, Yaqut kembali menegaskan komitmennya untuk mematuhi seluruh proses hukum. “Sebagai bagian masyarakat yang menghormati hukum, beliau menegaskan komitmen untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum,” ujar Anna Hasbie.
Sebagai bagian dari langkah penyidikan, KPK pada Rabu (13/08) telah menggeledah kantor Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kementerian Agama. Dari penggeledahan tersebut, sejumlah dokumen penting dan barang bukti elektronik berhasil disita untuk mendukung penyelidikan.
Kenapa korupsi haji berulang?
Dugaan korupsi kuota haji kali ini bukan kali pertama perkara rasuah melanda Kementerian Agama. Sejak era reformasi, setidaknya dua mantan menteri telah dipenjara akibat ketidakjujuran dalam pengelolaan haji, yakni Said Agil Husin Al Munawar dan Suryadharma Ali. Meskipun dua pejabat tertinggi telah menjadi pesakitan, praktik korupsi di sektor haji masih saja terulang.
Sejumlah analis menilai penyebab utama dari fenomena berulang ini adalah minimnya pengawasan dan upaya pencegahan. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menyoroti bahwa pengawasan internal di Kementerian Agama hanya bertumpu pada inspektorat jenderal. Kondisi ini dinilai ironis, mengingat anggaran pengelolaan haji memiliki nominal yang fantastis. Sebelumnya, terdapat Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang turut mengawasi kementerian tersebut, namun kini telah dibubarkan.
Menurut Wana, pengawasan yang hanya mengandalkan inspektorat jenderal tidaklah cukup. Alasannya, secara kelembagaan mereka berada di bawah menteri, menciptakan relasi kuasa yang timpang. “Peran inspektorat dalam melakukan fungsi pengawasan tidak berjalan optimal karena adanya relasi kuasa yang timpang,” kata Wana. Ia menambahkan bahwa “sistem pencegahan korupsi di Kementerian Agama tidak berjalan secara paripurna,” yang pada akhirnya mendorong kegagalan kelembagaan dalam mencegah korupsi.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, memiliki penilaian serupa. “Situasi ini [korupsi haji berulang] terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan,” ungkap Agus. Ia menekankan bahwa “tidak ada mekanisme kontrol internal yang ketat untuk memastikan pembagian kuota haji berjalan sesuai aturan.”
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2018 dengan alasan efisiensi anggaran dan penguatan fungsi lembaga lain seperti Ombudsman, DPR, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Padahal, saat dibentuk pada 2008 melalui UU 13/2008, KPHI ditugaskan mengawasi pelaksanaan haji secara menyeluruh, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban. Komisi ini bersifat mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, berhak menilai kinerja menteri agama dan instansi terkait, memantau pelayanan jemaah, dan mengawasi penggunaan dana haji. KPHI juga memiliki kewenangan untuk meminta data, melakukan inspeksi, dan melaporkan pelanggaran ke DPR, bahkan ke kepolisian, KPK, atau kejaksaan jika mendapati dugaan korupsi.
Pada Juli 2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penyelenggaraan Haji akibat sejumlah temuan masalah, seperti antrean panjang calon jemaah, tenda melebihi kapasitas, serta persoalan transportasi dan konsumsi. Pansus yang digagas oleh politikus lintas fraksi ini juga memanggil Yaqut, yang kala itu masih menjabat menteri agama. Namun, Yaqut tidak pernah memenuhi panggilan tersebut dengan alasan “belum pernah menerima surat panggilan resmi dari DPR.”
BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Agama untuk mengonfirmasi kasus korupsi haji yang berulang ini, namun belum mendapatkan jawaban. Wakil Menteri Agama Raden Muhammad Syafi’i, pada 13 Agustus lalu, juga tidak berkomentar saat diajukan pertanyaan yang sama, hanya menyatakan “siap bekerja sama dengan penegak hukum” dan “Kami sebagai warga negara harus membantu pekerjaan aparat penegak hukum.”
Kelola anggaran besar – apakah ada celah korupsi lain?
Selain haji, Kementerian Agama merupakan salah satu kementerian dan lembaga negara dengan anggaran jumbo. Setelah pemotongan anggaran baru-baru ini, mereka mengelola dana sebesar Rp66,2 triliun, turun dari nominal sebelumnya Rp78 triliun. Angka ini menempatkan Kemenag sebagai kementerian dan lembaga negara dengan anggaran terbesar kelima, setelah Kementerian Pertahanan (Rp139 triliun), Polri (Rp106,1 triliun), Kementerian Kesehatan (Rp86 triliun), dan Kementerian Sosial (Rp79 triliun).
Dengan jumlah anggaran yang sedemikian besar, ICW menilai potensi korupsi di Kementerian Agama sangat terbuka lebar, tidak hanya terkait kuota haji. Sepanjang periode 2019-2023, ICW mencatat sembilan kasus korupsi yang terjadi atau melibatkan kementerian ini. Kasus-kasus tersebut berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, penyaluran bantuan operasional pendidikan untuk madrasah, dan tentu saja, pengelolaan haji.
Terkait pengelolaan haji, ICW pada 5 Agustus lalu bahkan telah melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan makanan dan transportasi jemaah haji untuk penyelenggaraan tahun 2025 kepada KPK. Untuk transportasi jemaah haji, ICW menduga adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, di mana dua perusahaan yang dipilih Kementerian Agama disinyalir dimiliki oleh satu orang yang sama. Nilai kontrak pengadaan ini mencapai Rp667,58 miliar, atau sekitar 33% dari total pagu layanan sebesar Rp2,02 triliun.
Dugaan lain yang ditemukan ICW adalah pungutan liar pada katering jemaah haji, dengan setiap porsi makanan dikenakan pungutan sekitar Rp3.400 oleh oknum pengelola haji. Jika berlaku untuk semua jemaah yang mencapai 200 ribu orang, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp51 miliar. Ada pula dugaan pengurangan porsi makanan sebesar Rp17.000 per orang, yang jika dikalikan 200 ribu jemaah, berpotensi merugikan negara sebesar Rp306 miliar.
Pengadaan barang dan jasa, yang termasuk dalam belanja kementerian, disebut Wana sebagai salah satu celah terbesar terjadinya korupsi. Berdasarkan pantauan di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), rencana belanja Kementerian Agama berada di peringkat keempat dari keseluruhan kementerian, lembaga, dan badan negara, dengan nilai mencapai Rp21 triliun. Ironisnya, dalam rencana pengadaan ini, pagu anggaran untuk swakelola—merujuk pada penyediaan barang tanpa lelang—merupakan yang tertinggi dibanding lembaga lain.
Menyikapi rentetan kasus ini, Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, mendesak Kementerian Agama untuk mengubah total tata kelola internal demi mencegah kebocoran anggaran di masa mendatang. “Kementerian Agama sudah beberapa kali terjerat kasus korupsi, jadi sudah seharusnya kementerian agama berbenah untuk melakukan perubahan total,” kata Agus. Ia juga menyarankan pendekatan kolaboratif sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi praktik korupsi, dengan melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan dunia usaha dalam pengambilan keputusan.
Arie Firdaus berkontribusi untuk laporan ini
Baca berita sebelumnya
- Sengkarut haji furada – Antara kewenangan Saudi, ladang penipuan, dan peran negara
- Jemaah haji Indonesia keluhkan pelayanan transportasi bus, ketersediaan tenda hingga jadwal kegiatan – Di mana pangkal masalahnya?
- ‘Saya gagal naik haji dan uang saya hilang‘ – Kisah calon jemaah asal Palestina tertipu biro perjalanan haji palsu