KPK: Abdul Wahid Gubernur Riau Terakhir Korupsi?

Posted on

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam atas kasus yang menimpa Gubernur Riau, Abdul Wahid. Ironisnya, Abdul Wahid tercatat sebagai gubernur Riau keempat yang terjerat dalam pusaran kasus korupsi, sebuah rekor yang mencoreng citra kepemimpinan di Bumi Lancang Kuning.

Abdul Wahid, yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka, diduga terlibat dalam kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau. Kasus ini terbongkar melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Senin (3/11) lalu. Menyikapi rentetan kasus ini, KPK berharap penangkapan Abdul Wahid menjadi yang terakhir dalam daftar panjang gubernur Riau yang korup.

“Ini adalah keprihatinan bagi kami, pertama, sudah empat kali, ya, ada empat gubernur yang ditangani terkait tindak pidana korupsi dengan yang ini, ya, seperti itu,” ujar Asep dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11). Ia menambahkan, meskipun perkaranya berbeda-beda, pola korupsi ini terus berulang. “Kita berharap stop,” tegas Asep, menyerukan diakhirinya praktik culas tersebut.

Asep pun mendesak para pejabat di Pemerintah Provinsi Riau untuk segera berbenah dalam pengelolaan pendapatan dan belanja daerah. Ia menyoroti kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau yang defisit, sebuah ironi di tengah terungkapnya kasus korupsi Abdul Wahid. “Itu APBD-nya itu defisit harusnya lagi prihatin, lagi prihatin, prihatin lah, bangunlah daerahnya dengan sumber daya yang ada, supaya APBD itu tidak defisit lagi,” tutur Asep, sembari menyindir perilaku pejabat yang justru meminta uang alih-alih mencari solusi. “Bagaimana caranya bukan malah minta sejumlah uang membebani dari para stafnya,” tambahnya.

Penetapan tersangka Abdul Wahid menambah daftar panjang para pimpinan kepala daerah di Riau yang tersandung kasus hukum. Ia menyusul tiga gubernur sebelumnya yang telah lebih dulu menjadi tersangka KPK. Tiga nama tersebut adalah Saleh Djasit (periode 1998-2003), Rusli Zainal (periode 2003-2013), dan Annas Maamun (periode 2014-2016).

Saleh Djasit ditangkap terkait kasus korupsi mobil pemadam kebakaran yang juga menyeret nama mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno. Penahanan Saleh dilakukan pada 19 Maret 2008, setelah ia menjabat sebagai anggota DPR. Kemudian, Rusli Zainal menjadi tersangka dalam beberapa kasus korupsi, termasuk korupsi PON XVIII, suap anggota DPRD Riau, serta penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Sementara itu, Annas Maamun ditetapkan sebagai tersangka usai terjaring OTT pada 25 September 2014 malam. Annas disebut menerima uang dari seorang pengusaha terkait izin alih fungsi hutan tanaman industri di Riau.

Kronologi Operasi Tangkap Tangan Abdul Wahid

Penangkapan Abdul Wahid oleh KPK berpusat pada dugaan kasus pemerasan yang terungkap dalam operasi senyap di Provinsi Riau. KPK menjelaskan, Abdul Wahid, melalui orang kepercayaannya, diduga kuat meminta ‘jatah preman’ kepada para pejabat di Dinas PUPR PKPP Riau. Permintaan ini terkait dengan penambahan anggaran tahun 2025 yang signifikan.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, merinci bahwa penyidik awalnya menerima informasi mengenai sebuah pertemuan penting di salah satu kafe di Pekanbaru pada Mei 2025. Pertemuan itu melibatkan Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau bersama enam Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP Riau.

“Untuk membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Saudara AW [Abdul Wahid] selaku Gubernur Riau, yakni sebesar 2,5%,” ucap Tanak. “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp 106 miliar,” jelasnya, merujuk pada lonjakan anggaran yang mencurigakan.

Selanjutnya, Ferry menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada M. Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau. Saat itu, Arief, yang juga merepresentasikan Abdul Wahid, secara mengejutkan meminta agar fee tersebut dinaikkan menjadi 5%. Para pejabat di Dinas PUPR Riau kemudian diwajibkan untuk menuruti perintah tersebut dengan ancaman mutasi atau pencopotan dari jabatan bagi yang tidak patuh.

“Saudara MAS [M. Arief Setiawan] yang merepresentasikan Saudara AW, meminta fee sebesar 5% atau Rp 7 miliar,” ungkap Tanak. “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambungnya, menggambarkan modus operandi pemerasan yang tersistematis.

Atas permintaan yang mengancam itu, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau akhirnya kembali bertemu dan menyepakati pemberian fee sebesar 5 persen. Realisasi pemberian fee ini terjadi sebanyak tiga kali, dengan total uang sejumlah Rp 4,05 miliar sudah disetorkan kepada Abdul Wahid dan kolega. Puncaknya, pada pemberian terakhir di November 2025, tim KPK bergerak cepat membongkar kasus ini.

Pada 3 November 2025, Abdul Wahid bersama Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR, Kadis PUPR, Sekdis PUPR, dan orang kepercayaannya berhasil diamankan dalam OTT KPK. Selain itu, Dani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur yang sebelumnya sempat dicari oleh tim KPK, akhirnya datang menyerahkan diri ke Gedung KPK.

Setelah dilakukan pemeriksaan intensif terhadap pihak-pihak yang diamankan, tiga orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah:

  • Abdul Wahid selaku Gubernur Riau;
  • M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan
  • Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

Dalam OTT tersebut, KPK juga berhasil mengamankan barang bukti berupa uang senilai Rp 1,6 miliar dalam bentuk pecahan rupiah, dolar AS, dan poundsterling. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12e dan atau pasal 12f dan atau pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga tersangka kini telah ditahan, dan hingga saat ini, Abdul Wahid, Arief, maupun Dani belum memberikan komentar mengenai kasus yang membelit mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *