caristyle.co.id JAKARTA. Pasar modal Indonesia menunjukkan fenomena menarik pada kuartal III-2025. Mayoritas emiten yang tergabung dalam indeks LQ45 telah merilis laporan keuangannya, namun terdapat ketidakselarasan yang mencolok antara kinerja keuangan dengan pergerakan harga saham beberapa perusahaan.
Secara umum, sejumlah emiten LQ45 masih menghadapi tekanan pada kinerja bottom line, khususnya di sektor perbankan dan komoditas energi. Namun, ironisnya, beberapa emiten yang mencatatkan penurunan laba bersih justru melihat harga saham mereka terus menanjak.
Ambil contoh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Emiten ini membukukan koreksi laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 22,17% year on year (yoy) menjadi US$ 104,28 juta hingga kuartal III-2025. Di sisi lain, saham PGEO melesat 38,83% year to date (ytd) mencapai Rp 1.305 per saham pada Jumat (31/10/2025), dengan valuasi Price to Earning Ratio (PER) yang tergolong tinggi di level 25,36.
Fenomena serupa terlihat pada PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM). Meskipun laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 10,69% yoy menjadi Rp 15,78 triliun pada periode yang sama, harga saham TLKM justru menanjak 18,89% ytd ke level Rp 3.210 per saham. Saham ini memiliki PER di angka 13,91. Tak ketinggalan, calon penghuni baru indeks LQ45, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), juga mencatat penurunan laba bersih signifikan sebesar 76,06% yoy menjadi US$ 29,41 juta. Namun, pergerakan harga saham BUMI melonjak 15,45% ytd ke Rp 142 per saham, dengan PER fantastis di level 855,42.
Kontras dengan itu, beberapa emiten LQ45 yang berhasil mencetak pertumbuhan laba bersih positif justru harus menyaksikan harga saham mereka melemah. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), misalnya, berhasil meraih kenaikan laba bersih 5,7% yoy menjadi Rp 43,4 triliun per kuartal III-2025. Namun, saham BBCA longsor 13,89% ytd ke level Rp 8.525 per saham, dengan PER 18,38. Demikian pula dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), yang mencetak kenaikan laba bersih 4,49% yoy menjadi Rp 2,56 triliun. Sayangnya, harga saham TOWR menyusut 19,08% ytd ke level Rp 545 per saham, dengan PER 8,03.
Menanggapi tren ini, Co-Founder Pasardana Hans Kwee menjelaskan bahwa lanskap pasar saham Indonesia telah berubah pada 2025. Saham-saham berkapitalisasi besar (big caps) dengan likuiditas tinggi dan fundamental kuat mengalami tekanan harga akibat outflow asing. Di sisi lain, harga saham-saham konglomerasi justru cenderung menanjak karena maraknya aktivitas bisnis. Penurunan peringkat saham Indonesia oleh beberapa perusahaan investasi global ternama, seperti Morgan Stanley yang memangkas peringkat saham-saham dalam indeks MSCI Indonesia dari equal-weight (EW) menjadi underweight pada Maret lalu, turut memicu aksi jual asing pada saham-saham big caps.
Tekanan sektoral juga memberikan dampak signifikan. Hans menyoroti kasus saham BBCA yang terdampak oleh kekhawatiran perlambatan ekonomi nasional dan potensi peningkatan kredit macet di sektor perbankan, meskipun secara fundamental bank tersebut tetap solid.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, menambahkan bahwa pergerakan harga saham emiten LQ45 tidak selalu mencerminkan kondisi fundamentalnya. Faktor penentu yang lebih dominan adalah seberapa besar permintaan (bid) terhadap saham tersebut. Tanpa permintaan beli yang kuat dari investor, harga saham cenderung stagnan, bahkan jika fundamentalnya positif. Budi menilai bahwa saham-saham yang harganya naik seringkali diakibatkan oleh aksi buyback atau peran sebagai market maker atau liquidity provider.
Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, menegaskan bahwa kinerja harga saham emiten LQ45 dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya perkembangan kinerja keuangan. Faktor makroekonomi, kondisi sektor industri terkait, hingga arus dana asing, semuanya turut berperan. Menurut Indy, emiten LQ45 yang sahamnya masih lesu memiliki peluang untuk pulih, namun dengan batasan tertentu, mengingat investor akan lebih selektif dalam memilih instrumen investasi. Penting bagi investor untuk terus memantau prospek suku bunga acuan, perekonomian global, dan tensi perang dagang yang dapat memengaruhi kinerja emiten.
Melihat adanya indikasi rotasi di pasar, di mana saham-saham konglomerasi mulai dilepas, Hans Kwee optimistis bahwa pamor saham-saham LQ45 dapat kembali meningkat. Jika tren rotasi ini berlanjut, sektor perbankan dan konsumer berpotensi mengalami perbaikan kinerja saham. Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menekankan bahwa emiten yang mampu menerapkan praktik tata kelola perusahaan yang baik (GCG) akan berpeluang mencetak pertumbuhan kinerja keuangan yang berkelanjutan, yang pada akhirnya akan berdampak positif pada pergerakan harga saham sesuai dengan fundamentalnya. Nafan juga menyebut beberapa saham LQ45 yang tergolong murah namun menawarkan dividen yield menarik, seperti PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
Untuk investor yang mencari pilihan saham LQ45, Hans Kwee merekomendasikan BBCA, BBRI, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Sementara itu, Indy Naila menyarankan untuk memantau BBCA dengan target harga Rp 9.800 per saham, BBRI dengan target Rp 5.025 per saham, BMRI dengan target Rp 5.200 per saham, dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dengan target Rp 10.000 per saham.



