Saat terjebak dalam kemacetan lalu lintas, otak manusia secara ilmiah mengaktifkan sistem respons darurat, mempersiapkan tubuh menghadapi situasi yang dianggapnya sebagai “ancaman”. Fenomena ini menjelaskan mengapa kemacetan seringkali memicu tingkat stres yang tinggi bagi banyak individu.
Namun, meredakan dan mengelola stres akibat macet ternyata tidak sekadar bergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan. Psikolog Widia S. Sari, dalam talkshow ‘Rush Hour, Chill Mind’ yang diselenggarakan Katadata di Taman Literasi Blok M, Jakarta, Jumat (7/11), menegaskan, “Apapun cara yang dipilih, bukan pilihan aktivitasnya. Tapi intensinya. Tergantung efeknya ke kita.” Pernyataan ini menyoroti pentingnya dampak personal dari sebuah kegiatan terhadap kondisi mental seseorang.
Widia mencontohkan, banyak orang memilih mendengarkan musik atau siniar (podcast) untuk meredakan tekanan saat terjebak kemacetan. Namun, ia juga menyebut bahwa aktivitas lain seperti mengeluh atau bahkan meluapkan kemarahan di media sosial, bisa menjadi pilihan jika dirasa efektif mengurangi stres. Tentunya, cara penyaluran kemarahan ini harus tetap sehat dan tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Mengingat potensi di mana “marah-marah yang tidak sehat itu malah makin stres,” Widia mengingatkan akan pentingnya batasan dalam melampiaskan emosi.
Selain melakukan hal yang dapat menyenangkan diri, Widia juga merekomendasikan teknik relaksasi sederhana saat macet, dengan catatan tetap menjaga kewaspadaan di jalan. Salah satu contoh yang efektif adalah mengambil napas dalam atau teknik deep breathing. Dengan menyadari dan mengontrol napas, tubuh akan lebih rileks, membantu meredakan ketegangan dan kecemasan yang muncul akibat kemacetan.
Stres Berlebihan Terjadi Ketika Tubuh Butuh Pertolongan
Secara umum, Widia menjelaskan ada empat tanda utama yang mengindikasikan stres berlebihan dan memerlukan pertolongan. Tanda-tanda ini dikenal sebagai distress, dysfunction, deviance, dan danger. Memahami keempat indikator ini sangat krusial untuk menjaga kesehatan mental dan bertindak cepat ketika diperlukan.
Sebagai contoh, kondisi distress termanifestasi ketika seseorang menunjukkan kemarahan berlebihan hanya karena kemacetan singkat, atau merasa tidak bahagia bahkan setelah mencapai tujuan. Selanjutnya, dysfunction terjadi saat tekanan stres mulai mengganggu aktivitas sehari-hari secara signifikan, bahkan sampai menurunkan produktivitas. Apabila kondisi disfungsi ini terus berlanjut tanpa penanganan, bisa berkembang menjadi deviance, yang ditandai dengan munculnya perilaku tidak lazim atau perubahan emosi yang drastis dan tidak terduga.
Puncak dari stres yang berlebihan adalah danger, di mana individu mulai menunjukkan perilaku yang membahayakan diri sendiri, seperti menyakiti diri, atau tanda-tanda depresi yang serius. Widia menegaskan bahwa “Empat tanda tadi bisa jadi patokan untuk situasi apapun,” menyoroti universalitas dan pentingnya deteksi dini terhadap sinyal-sinyal bahaya kesehatan mental tersebut.



