Marsinah & Soeharto Pahlawan? Kontroversi Gelar, Manipulasi Sejarah Terbongkar!

Posted on

Para akademisi dan aktivis mengecam keras usulan pemberian gelar pahlawan nasional secara bersamaan kepada Marsinah dan Soeharto. Mereka menilai langkah ini sebagai “upaya transaksional dan manipulasi sejarah” yang bertujuan untuk “menutup pintu keadilan” dan “menghapus dosa rezim” terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.

Ruth Indiah Rahayu, peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif, berpendapat bahwa pengajuan Marsinah sebagai pahlawan nasional hanyalah taktik pemerintah untuk memuluskan jalan bagi Soeharto. Ironisnya, kasus pembunuhan Marsinah terjadi justru pada era pemerintahan Soeharto, yang kala itu dituding lalai, bahkan diduga terlibat dalam rekayasa persidangan yang berujung pada pembebasan para terdakwa di tingkat kasasi.

“Sekarang, Soeharto disandingkan dengan Marsinah. Padahal, kasus pembunuhan Marsinah belum ada keadilan, belum diakui negara. Tiba-tiba mau diberi gelar kepahlawanan? Keadilan dulu yang ditegakkan! Ini manipulatif, untuk membius dan memanipulasi kesadaran massa,” tegas Ruth. Ia menambahkan bahwa tindakan ini seolah-olah negara sudah adil dengan menempatkan Soeharto sebagai penguasa dan Marsinah sebagai korban, padahal ini adalah manipulasi politik dan sejarah yang luar biasa.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, menambahkan bahwa usulan ini seperti “jalur melingkar” yang menggunakan Marsinah sebagai pahlawan untuk kemudian “memuluskan” pengangkatan Soeharto, sekaligus menjadi “jalan pintas untuk menutup kasus Marsinah.”

Damairia Pakpahan, aktivis perempuan, buruh, dan HAM, mengkritik cara pemerintah memandang pengusulan gelar pahlawan kepada Marsinah dan Soeharto sebagai “rekonsiliasi”. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah kebenaran. Jika tidak, sejarah bangsa akan semakin kabur dan tidak jujur.

Usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebenarnya bukan barang baru. Nama Soeharto sudah berulang kali diusulkan sejak tahun 2010, namun selalu terganjal oleh Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, pada tahun 2024, usulan ini kembali mencuat seiring dengan pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR tersebut. Kementerian Sosial, bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), secara resmi mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional pada Maret 2025.

Sementara itu, pengajuan Marsinah sebagai pahlawan baru muncul pada Mei 2025, setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya dalam sebuah pidato. “Kalian berembuk, usul dari kaum buruh bagaimana [misalnya] Marsinah? Asal pimpinan buruh sepakat, saya akan dukung Marsinah jadi pahlawan nasional,” ujarnya.

Menteri Sosial Syaifullah Yusuf tetap bersikukuh bahwa nama-nama yang diusulkan telah memenuhi syarat, berdasarkan penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan tim dari Kemensos. Dari 40 nama yang diusulkan menjadi pahlawan nasional, sebagian baru diajukan pada 2025, termasuk Marsinah. Sebagian besar lainnya merupakan usulan yang tertunda, termasuk Soeharto. Selain keduanya, ada pula nama Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Upaya Populis Pemerintahan Prabowo?

Wahyu Susilo, adik aktivis Wiji Thukul yang hilang pada tahun 1998, menilai bahwa kemunculan nama Marsinah sebagai usulan pahlawan nasional adalah respons terhadap Hari Buruh pada Mei 2025. Namun, ia melihat pesan yang lebih kuat di balik itu, yaitu upaya populis Prabowo untuk meraih dukungan dari kelompok buruh.

“Dia ingin dicitrakan sebagai pemimpin populis yang proburuh, berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Tapi, ia tidak mau diungkit masa lalunya. Ini persis cara sebelum-sebelumnya dengan merangkul korban penculikannya karena tidak mau dosa dalam penculikan diungkap,” kata Wahyu. Ia menambahkan bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi beban politik bagi Prabowo, yang merupakan bagian dari pemerintahan era Soeharto. Latar belakang militer Prabowo juga menjadi sorotan, mengingat militer merupakan bagian utama dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang menimpa Marsinah dan Wiji Thukul, yang hingga kini belum ditemukan.

“Sangat tidak pantas Soeharto menjadi pahlawan. Soeharto bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus penghilangan paksa,” tegas Wahyu. Baginya, “pemahlawanan Soeharto adalah bentuk dari politik impunitas rezim Prabowo yang menegasikan pelanggaran HAM masa lalu.”

Ruth Indiah Rahayu dari Indoprogress Institute for Social Research and Education (IISRE), menilai bahwa pengusungan Marsinah sebagai pahlawan oleh rezim saat ini hanyalah “gula-gula” karena keadilan yang semestinya diberikan justru tidak diupayakan. Menurutnya, rezim Prabowo telah menyalahi prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran HAM yang seharusnya mengedepankan keadilan transisional.

Ruth menjelaskan bahwa syarat utama keadilan transisional adalah pengungkapan kebenaran dari para korban, diikuti dengan proses yudisial yang berkaitan dengan pengadilan terhadap pelaku, rehabilitasi atau reparasi untuk mengembalikan nama baik dan menghapus stigma pada korban, serta pemulihan terhadap hak-hak para korban dan keluarganya. “Ini sudah digagas setelah reformasi. Kemudian, zaman Gus Dur undang-undangnya dibuat terkait KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) tapi dianulir. Nah, katanya mau kembali dibahas di DPR tapi saya juga enggak tahu dengan situasi sekarang,” ujarnya.

Menurutnya, proses keadilan transisional melalui mekanisme KKR merupakan syarat menuju demokrasi, bukan semata-mata langsung masuk pada pemilihan umum secara langsung. Ia menyinggung bahwa cara “gula-gula” semacam ini berulang kali digunakan rezim. Selain merangkul korban penculikan, Prabowo pernah mengundang keluarga korban orang hilang dengan dalih silaturahmi lalu memberikan uang yang diduga mencapai Rp1 miliar. Joko Widodo juga pernah membuat program Program Penyelesaian HAM (PPHAM) dengan memberikan bantuan uang pada korban dan keluarganya yang kemudian disebut sebagai penyelesaian non-yudisial yang sudah disepakati. Ruth menegaskan bahwa tindakan ini menyalahi prosedur keadilan transisional.

“Sekarang kasus Marsinah. Sepanjang reformasi ini, proses yudisial dan pengadilan kepada para pelaku pasti dihindari karena rezim yang berkuasa ini semua adalah rombongan para pelaku,” pungkas Ruth.

Damairia Pakpahan, yang aktif di Solidaritas Perempuan pada era Orde Baru dan turut memperjuangkan pengungkapan kasus Marsinah, menambahkan bahwa tindakan pemerintah saat ini semakin menebalkan penggunaan kekuasaan dalam mengambil kebijakan. “Mereka tidak memakai logika, pakainya kekuasaan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pemerintah akan mengklaim telah bertindak sesuai syarat karena para pelaku pernah diadili. Padahal, yang diadili adalah pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.

Yudi Susanto, pemilik perusahaan tempat Marsinah bekerja, mengungkap pengakuannya sebagai pelaku karena dipaksa dan disiksa saat ditahan di Kodim V Brawijaya. “Bahkan dibuat skenario yang ngaco, yang enggak mutu. Rezim akan membuat sendiri ceritanya agar tidak sampai pada kebenaran faktanya,” kata Damairia.

Hal ini sejalan dengan apa yang terungkap dalam buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan. Secara umum, ada tiga versi asumsi motif yang dikemukakan polisi: pertama, berkaitan dengan perebutan warisan keluarga di Surabaya; kedua, alasan klasik cinta segitiga; dan ketiga, kaitan dengan demonstrasi dan aksi mogok kerja pada 3-4 Mei 1993. Namun, semua asumsi ini gugur karena tidak didukung bukti yang kuat.

Pada masa itu, militer bisa masuk dalam berbagai urusan, termasuk urusan perusahaan apalagi berkaitan dengan unjuk rasa buruh. Sering kali pemilik perusahaan juga meminta militer turun dengan alasan penertiban umum. Namun, dalam kasus Marsinah, pemilik perusahaan dan jajaran manajemen yang sempat bekerja sama dengan militer malah ditahan dan disiksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.

“Cara rezim militeristik bekerja saat itu adalah ‘kamu tidak tunduk ya harganya nyawa’. Kalau dipikir, Marsinah ini demo kok sampai harus mati dan disiksa. Sampai ada yang ke Koramil dan Kodim setelah unjuk rasa buruh itu,” kata Damairia. Ia memperingatkan bahwa saat ini bisa dibilang bangkitnya neo-Orba dan Soehartoisme, apalagi yang berkuasa bagian dari rezim saat itu juga.

Bagaimana Gerakan Buruh dan Perempuan pada Masa Orde Baru?

Ruth Indiah Rahayu, yang mendalami sejarah gerakan buruh dan perempuan, melihat Marsinah sebagai perintis pejuang buruh perempuan. Saat itu, tantangannya sangat berat karena harus berhadapan dengan tekanan dari rezim Orde Baru pimpinan Soeharto yang tidak segan menindas pihak yang bertentangan dengan aturannya.

Industrialisasi berkembang pesat di Indonesia pada 1970-an, tetapi gerakan yang berkaitan dengan serikat kerja baru muncul pada 1980-an. “Melawan dalam arti melawan eksploitasi yang dialami buruh itu muncul pada 1980-an. Kemudian gerakan feminis, gerakan mahasiswa melawan militerisme, pembangunanisme, dan kejahatan lainnya yang berupa pelanggaran HAM ini ada pada 1980-an.”

Memasuki dekade 1990-an, aksi unjuk rasa dan mogok kerja makin marak karena kondisi makin tidak layak yaitu beban kerja dan upah tidak sepadan. Permasalahan perempuan mulai diangkat, misal mengenai jam lembur, cuti haid, cuti hamil, hingga promosi posisi yang diatur juga dalam konvensi Organisasi Buruh Internasional. Hal ini pula yang dilakukan Marsinah bersama rekan perempuannya Mutmainah, dan rekan buruh lainnya. Selain memperjuangkan upah layak, uang lembur, tunjangan hari raya, dan uang makan, mereka menuntut hak cuti haid dan cuti hamil dengan kompensasinya.

Saat itu, tidak punya perempuan yang berani bersuara karena labelisasi negatif terhadap perempuan yang tidak mau tunduk. Namun, Marsinah berani sehingga kemudian menerima represi. Pada masa itu, represi melalui militer kerap dilakukan. “Dalihnya tentara kan menjaga keamanan.”

Berbagai gerakan juga menghadapi persoalan yang serupa mengenai represi. Namun, gerakan buruh menghadapi stigma sebagai PKI. Alasannya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri pada 1946 terafiliasi PKI dan menjadi organisasi sayap. Meski pada 1966 kelompok ini dibubarkan, gerakan buruh yang merekah pada 1990-an kemudian dilabeli berhubungan dengan PKI. “Bahkan Marsinah pun juga dicap PKI bersama teman-temannya. Apalagi perempuan juga dicap Gerwani.”

Alex Supartono dalam buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan menuliskan dari kumpulan kesaksian. Salah satunya: Seorang petugas Koramil lalu berkata pada para buruh ini, “Kalian menghalangi niat baik orang untuk bekerja! Itu sabotase! Itu cara-cara PKI!”

Pengakuan buruh yang dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan saat memenuhi panggilan di Kodim 0816 Sidoarjo juga menyebut tudingan PKI kepada para buruh. Salah satunya berasal dari M. Yasin: “Kami semua di sini dituduh sebagai dalang pemogokan dan kami juga dituduh telah melakukan rapat gelap, mengadakan sabotase, mengadakan intimidasi. Serta juga dikatakan/caci maki sebagai organisasi terlarang PKI.”

Represi buruh dan stigma terhadap buruh langgeng berjalan pada era Soeharto, menurut para aktivis dan sejarawan. Tidak hanya itu, sejumlah pelanggaran HAM terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut oleh sebagian pihak sebagai bapak pembangunan.

“Soeharto disebut berhasil dalam pembangunan. Oh salah besar, Soeharto sebagai pejahat kemanusiaan belum masuk mekanisme yudisial keadilan transisional sehingga tidak patut mendapatkan gelar kepahlawanan,” tutur Ruth.

Sebutan kejahatan kemanusiaan ini disematkan karena sepanjang 32 tahun menjadi presiden, banyak peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan militer di bawah kendalinya selain kasus Marsinah dan Munir, seperti: Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumoh Geudong Aceh 1989, Penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Wasior & Wamena, hingga Jambu Keupok.

Deretan peristiwa pelanggaran HAM ini banyak yang belum melalui mekanisme yudisial. Soeharto yang juga patut bertanggungjawab tidak pernah diadili. Bahkan untuk kasus korupsi terkait dugaan penyelewengan dana yayasan Supersemar yang merugikan negara hingga Rp11,5 triliun, gugatan terhadap Soeharto pada 2000 akhirnya dihentikan pada 2006 karena yang bersangkutan telah meninggal.

Siapa Marsinah yang Diusulkan Jadi Pahlawan?

Marsinah merupakan aktivis buruh yang meninggal pada usia 24 tahun karena dibunuh secara sadis pada 8 Mei 1993. Lebih dari tiga dekade berselang, aktor intelektual pembunuhannya tidak pernah terungkap

Ia bekerja sebagai buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur kala itu. Seraya bekerja, perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur ini selalu aktif membela hak-hak buruh.

Beberapa hari sebelum berpulang, Marsinah ikut dalam aksi mogok kerja yang berlangsung pada 3-4 Mei 1993 sekaligus menjadi perwakilan buruh PT CPS bersama 23 rekan lainnya. Melalui aksi mogok ini, para buruh menuntut upah layak, bayaran lembur, jaminan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan dan pesangon, hingga jaminan upah ketika cuti haid dan cuti hamil.

Kesepakatan tercapai pada hari kedua aksi mogok. Akan tetapi, sebagian buruh justru dipanggil ke Markas Kodim 0816 Sidoarjo. Pada 5 Mei 1993, Marsinah bersama rekan-rekannya berupaya agar mereka yang dipanggil bisa dipulangkan. Mereka pulang setelah dipaksa mengundurkan diri.

Namun justru Marsinah yang tidak pernah kembali setelah terakhir terlihat pada tanggal tersebut sekitar pukul 21.30 WIB. Jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, pada 9 Mei 1993. Akan tetapi, hasil visum menunjukkan waktu kematiannya terjadi sehari sebelum ditemukan.

Penyebab kematian Marsinah adalah akibat tusukan benda runcing. Ia diculik, disiksa, dan diperkosa hingga berujung kematian, mengacu pada visum RSUD Kabupaten Nganjuk. Dugaan kuat, ada keterlibatan aparat TNI dalam kematiannya. Polisi yang kemudian turun tangan berspekulasi mengenai motif pembunuhan dengan berbagai macam versi. Pegiat HAM menaruh curiga terhadap arah penyelidikan polisi.

Keterkaitan dengan unjuk rasa dan pemogokan pada 3-4 Mei 1993 pun menjadi motif terkuat dari pembunuhan Marsinah. Yudi Susanto, pemilik PT CPS dijadikan tersangka dan divonis 17 tahun penjara. Namun, Yudi dibebaskan Mahkamah Agung lewat kasasi.

Kuasa hukum Trimoelja D. Soerjadi membongkar peradilan sesat terhadap kasus Marsinah yang mengkambinghitamkan sejumlah orang sebagai pelaku melalui rekayasa oknum Kodim. Kasus pembunuhan Marsinah kemudian menjadi isu internasional, hingga dijadikan catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Pada 1996, tim independen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap beberapa bukti dalam kasus pembunuhan Marsinah. Temuan itu menunjukkan polisi telah membuat beberapa kesalahan dalam penyelidikan, termasuk penempatan barang bukti yang salah. Salah satunya, hasil visum kedua menyimpulkan Marsinah meninggal karena tembakan.

Hingga kini, kebenaran dan keadilan bagi penerima penghargaan Yap Thiam Hien ini masih gelap. Walau demikian, pemerintah berkeras mengusulkan untuk memberinya gelar pahlawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *