Megaproyek Kalimantan: Kuburan Pun Terancam, Nasib Warga Jadi Sorotan!

Posted on

Pemerintah membangun sebuah kawasan yang diklaim sebagai yang terhijau dan terbesar di dunia: Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Proyek Strategis Nasional (PSN) seluas lebih dari 30.000 hektare ini digadang-gadang akan memadukan kelestarian lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi domestik, memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.

Namun, tidak semua orang menyambut baik kehadiran KIHI.

Bagi Amran, seorang warga Kampung Baru, Mangku Padi, Kalimantan Utara, KIHI justru menjadi mimpi buruk. “Justru merampas hak-hak kami,” tegasnya.

Dengan nada getir, Amran melanjutkan, “Ketika hak hidup kami, hak kerja kami, hak lingkungan kami dirampas begitu saja, apa artinya kemerdekaan bagi kami?”

Amran terdiam sejenak, sorot matanya tajam. “Kami seperti dijajah,” ucapnya, merangkum kekecewaan mendalam.

Kampung halaman Amran hanya berjarak kurang dari lima kilometer dari KIHI. Dari rumahnya, aktivitas industri terlihat jelas, dengan cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mendominasi pemandangan.

Perjalanan menuju Mangku Padi, tempat saya bertemu Amran pada awal Oktober, membutuhkan perjuangan. Dari Tarakan, jantung Kalimantan Utara, saya harus menaiki *speedboat* selama kurang lebih tiga jam.

Amran adalah seorang perantau sejati. Lahir dan besar di Sulawesi Selatan, ia pernah mengadu nasib di Malaysia sebelum akhirnya menemukan rumah di Kampung Baru pada tahun 2006.

“Mayoritas orang Bugis bekerja sebagai nelayan dan petani. Kami mencari tempat yang mudah untuk mencari nafkah, terutama di sektor perikanan,” jelasnya tentang latar belakangnya.

Sebelumnya, Kampung Baru tidak pernah terlintas dalam benaknya. Informasi tentang daerah ini ia dapatkan dari saudaranya yang sudah lebih dulu menetap. Setelah mempertimbangkan, Amran memutuskan untuk menyusul.

“Dulu, belum ada akses darat ke sini. Kami masuk melalui laut dari Tarakan, menggunakan kapal nelayan bermesin *dompeng*,” kenangnya. “Perjalanan memakan waktu sekitar enam jam.”

Amran menggambarkan Kampung Baru saat itu sebagai hutan belantara yang dipenuhi semak liar dan pepohonan tinggi. Tanda-tanda peradaban hampir tidak ada karena “listrik dan jaringan belum tersedia.”

Hanya ada beberapa rumah penduduk, termasuk milik saudaranya. Selain itu, Kampung Baru dihuni oleh mantan pekerja migran Sulawesi yang kembali dari Malaysia. Di sana, mereka membuka lahan dan memulai hidup baru.

Awalnya, Amran tinggal bersama saudaranya, sebelum kemudian membangun rumah sendiri.

Kehidupan di Kampung Baru, menurut Amran, “sangat-sangat sederhana.”

Setelah rumahnya selesai dibangun, Amran mulai mengurus dokumen legal. Pada tahun 2009, ia memanfaatkan program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), program sertifikasi tanah gratis dari pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Upayanya berhasil, dan ia mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Enam tahun kemudian, pada tahun 2015, Amran kembali mengurus administrasi pertanahan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digagas oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Pemerintah mengklaim bahwa pendaftaran tanah kali ini dilakukan secara serentak, meliputi seluruh objek.

Amran berharap proses PTSL akan berjalan lancar seperti PRONA. Namun, dugaannya meleset.

“Pada pengurusan tahun 2015 itu, sertifikatnya sudah jadi, tapi BPN tidak mau membagikan kepada kami,” ungkap Amran.

“Alasannya, lahan-lahan yang kami tempati sudah masuk ke dalam HGU [Hak Guna Usaha] perusahaan.”

Perusahaan yang dimaksud adalah PT Bulungan Citra Agro Persada (PT BCAP), yang bergerak di sektor kelapa sawit.

Amran sangat terkejut mendengar informasi ini.

“Bapak baru tahu?” tanya saya.

“Iya, [kami] baru tahu,” jawab Amran.

“Kalau kami tahu sebelumnya bahwa itu lahan PT BCAP,” lanjut Amran, “Tentu kami tidak akan mengurusnya.”

PT BCAP mendapatkan HGU untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011, seluas lebih dari 13.000 hektare.

Namun, Amran dan warga Kampung Baru hanya mengetahui bahwa konsesi PT BCAP seluas 4.000 hektare dan tidak mencakup wilayah pemukiman. Klaim BPN ini bagaikan mimpi buruk.

Klaim PT BCAP atas area pemukiman warga sempat dibawa ke meja perundingan. Dalam sebuah forum, PT BCAP menyatakan bahwa mereka “tidak sengaja menyertakan lahan warga ke dalam HGU,” kata Amran.

“Mereka berjanji akan mengeluarkan lahan-lahan itu, baik dengan kompensasi atau di-*enklave* [dikeluarkan dari HGU],” kenang Amran.

Namun, janji tersebut tidak pernah ditepati. Solusi bagi warga Kampung Baru belum tercapai. Dialog kembali dilakukan pada tahun 2021 dengan kesepakatan serupa: tanah warga akan segera ditarik dari HGU.

Pertemuan itu lagi-lagi tidak membuahkan hasil. Warga kembali digantung tanpa kepastian. Rumah dan lahan mereka masih termasuk dalam 7.800 hektare yang diklaim sebagai HGU perusahaan.

“Itu yang membuat kami heran. *Kok* bisa seperti itu?” Amran mencoba memahami situasi tersebut.

Belum selesai masalah legalitas dan klaim PT BCAP, masyarakat Kampung Baru dihadapkan pada persoalan yang lebih besar.

‘Kalau itu dilanjutkan, mampus kami’

Lahan warga yang tiba-tiba diklaim menjadi HGU oleh PT BCAP membuat Samsu sangat kecewa. Saking kecewanya, ia tidak lagi percaya bahwa kehadiran industri akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Samsu menyambut saya dengan ramah di rumahnya, yang tidak jauh dari dermaga Kampung Baru. Ia adalah tokoh yang dituakan dan dihormati di kalangan warga. Ia menjabat sebagai Ketua Rukun Tetangga (RT). Orang-orang di Kampung Baru memanggilnya “Pak RT,” dan saya pun mengikuti mereka.

“Pak RT sejak kapan vokal melawan?” saya memulai percakapan.

Raut wajah Samsu, yang tadinya santai, berubah menjadi serius.

“Sejak perusahaan ini masuk. Dulu, kami sudah tertipu. Dijanjikan masyarakat akan sejahtera. Ternyata, lahan kami diklaim,” tegasnya.

Perusahaan yang dimaksud adalah PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (PT KIPI). PT KIPI mengambil alih lahan seluas lebih dari 10.000 hektare dari PT BCAP.

Lahan tersebut digunakan untuk mewujudkan ambisi pemerintah dalam “transformasi ekonomi melalui hilirisasi industri dan pemanfaatan energi hijau.”

Pada Desember 2021, di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), *groundbreaking* (peresmian) proyek ini dilakukan.

Nama yang disematkan: Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

Menurut pemerintah, KIHI “dapat memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional.”

Proyek KIHI rencananya akan dibangun di atas lahan seluas 30.000 hektare, menjadikannya kawasan industri hijau terbesar di dunia.

Sejauh ini, pemerintah telah menyiapkan 13.000 hektare untuk memenuhi kebutuhan industri “berbasis hijau” di KIHI, yang mencakup baterai mobil listrik (EV), petrokimia, dan aluminium.

KIHI juga ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Kemudian tiba-tiba muncul lagi namanya PSN. Kami tidak mengerti apa itu PSN,” ucap Samsu.

Samsu menjelaskan bahwa proyek KIHI akan menggusur setidaknya 300 KK (Kepala Keluarga). Dari 13.000 hektare yang disediakan, mayoritas adalah bekas lahan PT BCAP yang di-*take over* oleh PT KIPI.

Menurut perhitungan Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL), empat wilayah yang kemungkinan besar terkena dampak dari pemindahan kepemilikan tersebut adalah Tanah Kuning, Mangku Padi, Sajau Timur, dan Binai.

Dua hari sebelum saya mengunjungi rumahnya, Samsu menghadiri rapat dengar pendapat (RPD) di DPRD Kalimantan Utara.

Agenda ini mempertemukan PT KIPI dengan masyarakat terdampak. Di situ, PT KIPI menegaskan telah membeli lahan seluas 7.800 hektare dari PT BCAP.

“Sedangkan yang 7.800 hektare itu masyarakat [yang] punya. Di sini, termasuk ada sekolah, perkebunan [warga], semua ditindih HGU [perusahaan],” sebutnya.

Tidak sedikit lahan warga yang diklaim oleh PT KIPI memiliki sertifikat. Dua lahan milik Samsu, misalnya, masing-masing memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah) dan SHM (Sertifikat Hak Milik).

Di area yang ber-SKT, sekarang berdiri sebuah *mess*—tempat para pekerja. Samsu pernah mencoba masuk, tetapi dilarang. Hal serupa terjadi di tanah yang ber-SHM: petugas keamanan menyuruhnya untuk pergi karena itu adalah kawasan perusahaan.

“Jadi, kami mau bertanam kami takut. Karena di situ tercantum kami bisa kena [pelanggaran] undang-undang. Karena dia [perusahaan] mengklaim bahwa dia yang punya lahan,” imbuhnya.

Di tangan PT KIPI, status lahan kini berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Pembangunan, menurut pengamatan Samsu, sudah mulai berjalan. Estimasi: 800 hektare telah berubah bentuk. Salah satu yang paling mencolok adalah PLTU.

“Kalau itu [PLTU] yang berkelanjutan [dibangun], mampus kami [yang tinggal] di sekitar,” ucap Samsu dengan nada khawatir.

“Rasa-rasanya kami ini seperti dijajah Belanda.”

Menolak memberikan lahan, dipenjara, dan dibebaskan dengan satu syarat

Saya merasa diperlakukan tidak adil. Kami membawa dua mobil, sama-sama mengangkut kayu. Kenapa hanya saya yang ditahan?

Panggil saja saya Herman, bukan nama sebenarnya, karena istri saya meminta untuk tidak menyebut nama asli. Katanya supaya tidak menambah tekanan. Istri saya masih belum sepenuhnya ‘sembuh’ dari pengalaman yang saya hadapi, atau tepatnya kami sekeluarga hadapi.

Kayu yang saya angkut adalah kayu yang sudah berada di tanah. Kami biasa menyebutnya kayu rebah. Itu ada di perkebunan yang diurus warga. Masyarakat di sini memang suka mengumpulkan kayu-kayu rebah. Dipakai untuk membangun rumah.

Sesampainya di kantor polisi, saya diproses. Polisi mengatakan kepada saya, kalau mau keluar harus bebaskan lahan. Kamu harus bantu pembebasan ini, seorang polisi menegaskan lagi kepada saya.

Sejak awal rencana pembangunan oleh PT KIPI ini diketahui masyarakat, saya termasuk yang menolak. Saya menganggap kompensasi yang diberikan perusahaan tidak ideal.

Saya punya 6 hektare lahan. Sudah bersertifikat. Perusahaan menawarkan harga Rp50 juta untuk satu hektare. Saya menolak. Bagaimana bisa?

Secara prinsip, saya tidak pernah menahan tanah untuk dibebaskan. Karena mereka bilang untuk pembangunan negara. Saya tidak menahan. Saya bilang yang penting sesuai harganya. Kemarin perusahaan menyatakan bahwa proyek ini salah satu tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat.

Tapi ketika keluarga saya menjenguk di kantor polisi, ketika anak saya menangis meminta saya pulang, ketika istri saya jadi sering sakit-sakitan, saya menyerah. Bagi saya, keluarga yang utama. Saya tidak bisa keras kepala. Saya berjanji kepada mereka: apa pun yang terjadi, saya pulang.

Di situlah saya memberi tahu polisi bahwa saya akan menyerahkan lahan saya.

Ketika dibebaskan, saya tidak berhenti mendapatkan panggilan dari kantor polisi. Mereka bertanya, kapan mau menyerahkan surat. Saya bilang tunggu dulu. Keesokan harinya, mereka kembali menghubungi saya, begitu seterusnya.

Saya kemudian berpikir. Sekitar dua atau tiga hari sebelum saya ditangkap, saya didatangi orang perusahaan. Ini kesekian kalinya mereka datang ke rumah, menanyakan soal pembebasan lahan. Saya menjawab: kalau sesuai harga mungkin kami jual.

Pihak perusahaan membalas kalau tanah saya tidak segera diberikan, maka pengadilan yang akan ambil alih. Ganti rugi dibayar di pengadilan. Saya tidak paham apa maksudnya.

Apakah dari rangkaian peristiwa itu saya seperti sedang diburu oleh mereka? Diburu karena saya tidak mau menyerahkan lahan saya dengan harga yang murah?

Pada akhirnya, urusan penyerahan lahan sudah saya jalani. Perusahaan mengungkapkan jika ini bukan jual-beli, melainkan penyerahan kuasa. Kami memberi kuasa ke perusahaan untuk mengelola lahan tersebut.

Menurut saya sama saja. Saya kehilangan lahan saya. Dalam hati, saya merasa sedih, merasa kecewa, merasa trauma.

Proyek pembangunan ini, katanya, adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek yang menurut pemerintah bisa memberi kemakmuran bagi warga. Kami tidak pernah merasakan kemakmuran itu.

Sebaliknya, kami merasa diteror. Kami merasa dikejar-kejar. Kami merasa disudutkan. Kami merasa dipaksa untuk menyerahkan tanah milik kami dengan berbagai cara. Kami ditakut-takuti. Kami diancam.

Kalau melihat kejadian demi kejadian yang menimpa masyarakat, seperti di Kampung Baru, kami seolah digusur, diusir, pelan-pelan.

Kami bahkan dilarang masuk ke lahan kami sendiri, lahan yang kami urus selama berpuluh tahun. Mereka sudah memasang penanda: dilarang beraktivitas di tanah milik perusahaan.

Ketika sedang berkumpul antarwarga, saya sering melemparkan pertanyaan: pembangunan ini, sebetulnya, untuk siapa? Apakah benar-benar dibikin demi kepentingan masyarakat luas? Demi kesejahteraan masyarakat? Demi menjauhkan masyarakat dari kemiskinan? Atau demi apa dan siapa?

Karena, jika boleh jujur, kami tidak melihat pembangunan itu ada untuk kami. Rasanya kami hanya seperti menonton saja. Tidak boleh menyuarakan apa yang menjadi keinginan kami. Kami diminta menerima dan percaya kepada pemerintah atau perusahaan.

Kami, sebagai rakyat kecil, ingin mengatakan kepada pemerintah. Tolong lihat kami. Kasih kami jalan keluar. Jangan sampai hukum tajam ke masyarakat kecil saja. Jangan sampai pemerintah tegas kepada kami, tapi ke pihak lain seolah tidak ada apa-apa. Seolah semuanya sudah semestinya begitu.

Itu bukan keadilan.

Jejaring pemodal di balik KIHI

Awal mula Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) adalah usulan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara untuk pembuatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada tahun 2015. Kala itu, dua daerah diajukan dalam proposal: Mangku Padi dan Tanah Kuning.

Rencananya, Pemprov Kalimantan Utara juga ingin membangun pelabuhan internasional, sehingga nama yang digunakan adalah Kawasan Industri dan Pelabuhan Indonesia (KIPI).

Setahun kemudian, Jakarta memberikan restu dengan memasukkan KEK Tanah Kuning-Mangku Padi, diikuti dengan penetapan sebagai Proyek Strategis Nasional pada tahun 2017. Namanya pun berubah menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

KIHI disebut-sebut sebagai representasi upaya pemerintah pusat dalam memenuhi setidaknya dua aspek: antisipasi permintaan global akan produk ramah lingkungan dan peningkatan nilai ekspor bahan tambang mentah melalui hilirisasi.

Oleh karena itu, KIHI rencananya akan diisi oleh berbagai pabrik (tenant) industri hilirisasi, mulai dari *smelter* nikel dan aluminium, produksi baterai, panel surya, besi baja, hingga pengolahan petrokimia.

Ada pula infrastruktur penunjang seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), serta PLTU.

Setelah disahkan menjadi PSN, calon investor mulai tertarik dengan proyek ini. Pada tahun 2018, tercatat lima perusahaan mengajukan diri untuk mengelola KIHI: PT Adhidaya Suprakencana, PT Indonesia Dafeng Heshun Energi, PT Inalum Persero, PT Kayan Patria Propertindo, dan PT Indonesia Strategis Industri.

Seiring berjalannya waktu, hak pengelolaan KIHI jatuh ke tangan tiga korporasi: PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (PT KIPI), PT Indonesia Strategis Industri (PT ISI), dan PT Kayan Patria Propertindo (PT KPP).

PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (PT KIPI), berdasarkan dokumen AHU (Administrasi Hukum Umum) per Maret 2024 yang diakses oleh BBC News Indonesia, merupakan perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh raksasa batu bara PT Alamtri Bangun Indonesia—PT Alamtri Resources Indonesia; dulunya PT Adaro Energy Indonesia.

Di jajaran petinggi PT Alamtri Resources, terdapat nama Edwin Soeryadjaya dan Garibaldi Thohir.

Edwin adalah putra dari William Soeryadjaya, pendiri Astra International. Pada tahun 1997, Edwin mendirikan perusahaan investasi bernama Saratoga Investama Sedaya. Saratoga kemudian menanamkan saham di banyak korporasi, termasuk Adaro.

Sementara itu, Garibaldi adalah pengusaha sekaligus saudara Menteri Pemuda & Olahraga, Erick Thohir. Pada tahun 2005, Garibaldi mengakuisisi saham di Allied Indocoal dan membeli Adaro bersama para mitranya.

Pada tahun 1997, ia mendirikan perusahaan kredit motor Wahana Ottomitra Multiartha (WOM Finance).

Baik Edwin maupun Garibaldi masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2024 versi Forbes. Edwin berada di peringkat 33, sedangkan Garibaldi di peringkat 17.

Di luar KIHI, kongsi bisnis Garibaldi dan Edwin (melalui Saratoga) terjalin di Merdeka Copper Gold, perusahaan logam dan mineral.

Anak perusahaan Merdeka Copper Gold, Merdeka Battery Materials (PT MBMA), membentuk joint venture (patungan) bersama Tsingshan Group untuk membangun dan mengelola Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) seluas 3.500 hektare di Konawe, Sulawesi Tenggara. Fokus bisnisnya adalah penyediaan baterai listrik.

IKIP juga dimasukkan pemerintah ke dalam daftar PSN.

Korporasi pemegang saham berikutnya di PT KIPI adalah PT Kalimantan Energi Hijau yang terhubung langsung dengan PT Adaro Clean Energy Indonesia dan PT Alamtri Resources Indonesia.

Direktur Utama PT KIPI adalah Justarina S.M. Nairbohu, sedangkan Komisaris Utama dijabat oleh Michael W. Soeryadjaya.

Justarina pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Toba Bara Sejahtera (TBS), perusahaan bentukan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2007. Michael adalah putra dari Edwin Soeryadjaya dan Presiden Direktur Saratoga.

Nama Michael dan Justarina tercatat sebagai komisaris di PT Kalimantan Energi Hijau—data AHU Desember 2024.

Sekarang beralih ke pengelola kedua, PT Indonesia Strategis Industri (ISI). Perusahaan ini bergerak di bidang konstruksi pelabuhan. Sahamnya dimiliki oleh PT Elang Mas Propertindo, PT Garuda Mulia Properti, dan PT Garuda Mulia Realti.

Pengelola ketiga, atau terakhir, adalah PT Kayan Patria Propertindo. Mengutip AHU, Lauw Juanda Lesmana tercatat sebagai salah satu dari empat pemegang saham. Juanda dikenal sebagai pengusaha lokal di Kalimantan Utara.

Tujuh tahun silam, namanya muncul dalam persidangan kasus gratifikasi senilai hampir Rp500 miliar yang menyeret mantan Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari.

“Terdakwa menerima gratifikasi dari para pemohon perizinan dan para rekanan pelaksana proyek pada dinas Pemkab Kukar, serta dari Lauw Juanda Lesmana,” tegas jaksa.

Jaringan pemodal besar tidak berhenti di level pengelola KIHI. Para tenant pengisi KIHI juga memiliki profil serupa.

PT Kalimantan Aluminium Industry (PT KAI) akan mengurus smelter aluminium di KIHI. Saham PT KAI terbagi ke tiga entitas: PT Alamtri Indo Aluminium, Aumay Mining (Singapura), dan PT Cita Mineral Investindo.

PT Cita Mineral Investindo merupakan anak perusahaan Harita Group yang bergerak di industri bauksit. Harita Group, pada saat bersamaan, menambang nikel di Obi, Halmahera Selatan, melalui PT Trimegah Bangun Persada.

Lini bisnis Harita Group banyak dijalankan oleh generasi kedua keluarga Hariyanto, seperti Lim Gunawan di Harita Group dan Christina di Bumitama Agri—kelapa sawit. Ayah mereka, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, berada di posisi 15 orang terkaya di Indonesia tahun 2024.

Pasokan listrik di KIHI, salah satunya, disumbang oleh PLTA. Pemerintah berencana membangun dua PLTA sekaligus: PLTA Mentarang dan PLTA Kayan. Keduanya berada di Sungai Mentarang dan Sungai Kayan.

PLTA Kayan akan dikerjakan oleh PT Kayan Hydro Energy (KHE) dengan rencana kapasitas sebesar 9.000 MW. Pada tahun 2024, sepasang investor utama yang berpotensi menopang proyek ini, PowerChina dan Sumitomo, dikabarkan mundur. PT KHE memastikan pembangunan PLTA tetap berjalan, meskipun jumlah investor berkurang.

Modal PT KHE didukung oleh Central Asia Capital Limited, PT Kayan Elektrik Indonesia, Great Eagle Indonesia, dan PT Indonesia Great Power. Nama Lukas Limanjaya terlihat di Komisaris Utama.

Pada September 2024, Lukas sempat dipanggil KPK sebagai saksi kasus dugaan suap sehubungan Izin Usaha Pertambangan (IUP) periode 2013-2018.

PLTA selanjutnya adalah Mentarang Induk, yang dikerjakan secara patungan (joint venture) antara PT Alamtri Resources Indonesia, Sarawak Energy Berhad (Malaysia), dan PT Kayan Patria Pratama, di bawah PT Kayan Hydropower Nusantara (PT KHN). Targetnya, PLTA Mentarang Induk mampu menyuplai 1.375 MW ke KIHI.

Susunan pemegang saham PT KHN terbagi ke PT Kayan Energi Internasional dan PT Mentarang Tirta Energi. Di jajaran komisaris, muncul nama Justarina Naiborhu dan Lauw Juanda Lesmana.

Selain korporasi dalam negeri, terdapat juga investor asing yang menanamkan bisnisnya di KIHI. Tsingshan Holding Group, raksasa dari China, disebut membangun jetty (pelabuhan) melalui PT Taikun Petrochemical.

Sebelum terjun ke KIHI, Tsingshan sudah melebarkan sayap usahanya di Weda (Maluku Utara) dan Morowali (Sulawesi Tengah). Di Weda, Tsingshan menjadi pemegang saham mayoritas di PT Weda Bay Nickel (WBN), pemasok nikel terbesar di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Lalu di Morowali, Tsingshan berkongsi dengan Bintang Delapan Group dalam mengelola Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

IWIP dan IMIP, yang melibatkan Tsingshan, diputuskan pemerintah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara menyatakan bahwa pembebasan lahan di KIHI sudah mencapai 90%. Seperti yang telah ditulis di bagian awal, lahan untuk KIHI “disumbangkan” dari HGU PT Bulungan Citra Agro Persada (BCAP) yang berbisnis di sektor kelapa sawit.

Pemegang saham utama PT BCAP, merujuk pada dokumen AHU per Agustus 2024, adalah perusahaan Malaysia, TSH Logistics Sdn Bhd. Di urutan setelahnya, nama Garibaldi Thohir mencuat dengan kepemilikan saham seri A dan B berjumlah 2.100 lembar—Rp2,1 miliar.

Laporan yang disusun oleh Nugal Institute for Social and Ecological Studies bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur (2023) mengungkapkan bahwa pihak pemerintah dan perusahaan bersekutu untuk memuluskan keberlangsungan proyek ini—dengan cara apa pun.

Dalam pembuatan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), laporan tersebut menyoroti bagaimana Pemprov Kalimantan Utara dan Pemerintah Kabupaten Bulungan melakukan revisi beberapa kali.

Revisi menyasar poin perluasan area industri bagi KIHI, dari yang semula ditetapkan seluas 3.800 hektare (2013) kemudian berubah menjadi 25.000 hektare serta 30.000 hektare.

Di lain sisi, masih mengacu pada riset Nugal dan JATAM Kaltim, perusahaan serta pemerintah diduga merampas lahan masyarakat dengan menggunakan delapan taktik, seperti penggunaan istilah ‘ganti untung,’ kriminalisasi, manipulasi ukuran lahan, penetapan kompensasi sepihak, hingga penurunan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

‘Kami dikepung di laut dan di darat’

Jumar, seorang nelayan di Mangku Padi, berjanji akan mengajak saya melihat bagan apung miliknya ketika air sudah pasang. Saya mengunjungi rumahnya di suatu siang yang terik pada awal Oktober lalu. Beberapa hari ini, Jumar tidak melaut.

“Sekarang susah. Bisa membawa pulang hasil yang cukup saja sudah bagus. Kadang malah *enggak* membawa [ikan] sama sekali. Itu yang di luar, contohnya. Biasanya *enggak* sedikit seperti itu,” katanya.

Saya kemudian melihat ke luar, mengamati apa yang telah disebutkan oleh Jumar. Ikan-ikan berukuran kecil dikeringkan di bawah sinar matahari. Tidak terlalu banyak. Ikan-ikan ini diletakkan di tanah dengan kain terpal sebagai alasnya. Sisanya ditempatkan di atas papan kayu seukuran meja pingpong.

“Semenjak perusahaan masuk, kami jadi terjepit,” Jumar kembali berucap, menyimpulkan keadaan yang ia dan nelayan lain hadapi.

Jam menunjukkan pukul 4 kurang. Jumar mengatakan bahwa air mulai pasang. Ia menyiapkan kapalnya. Bersama Roni, teman baiknya, kapal yang kami tumpangi mulai membelah sungai. Di tengah perjalanan, berdiri konstruksi beton setengah jadi.

“Dulu, rencananya, pemerintah mau membangun jembatan, menghubungkan Mangku Padi dengan Kampung Baru. Jadi, nanti kendaraan bisa melintas di pinggir pantai. Memangkas waktu perjalanan,” Roni menjelaskan.

“Entah kenapa, pembangunan itu tidak dilanjutkan.”

Memasuki perairan laut, Jumar menggeber mesin kapalnya. Kapal melaju dengan kecepatan konstan. Angin menyapu sekujur badan dengan keras. Jumar tampak tidak terganggu. Tangannya tenang mengendalikan kemudi. Tatapannya lurus ke samudra.

Sekitar satu jam kemudian, kapal yang kami tumpangi berhenti di bagan apung. Jumar menyandarkan kapal, mengikatnya dengan tali ke kayu penopang bagang. Kayu-kayu tersebut sangat kokoh.

“Aman, Bang, naik saja,” pinta Jumar seakan menangkap kecemasan saya.

Dari atas, pemandangan puluhan bagan tersaji, merentang dari ujung ke ujung. Area KIHI terlihat jelas. Posisi keduanya saling berhadapan.

Jumar memberi tahu saya bahwa bagan adalah nyawa para nelayan di Mangku Padi, elemen penting dalam dunia tangkap ikan. Dulu, sebelum aktivitas industri masuk, bagan-bagan nelayan mampu menjaring dan mengumpulkan ikan dalam jumlah besar, kenang Jumar.

“Bisa puluhan juta kami dapatkan,” Jumar menegaskan.

Hasil penjualan ikan dari bagan—dikenal dengan “mengandang” atau panen—kemudian dimanfaatkan untuk biaya sekolah anak sampai memperbaiki bagan itu sendiri.

Ongkos pembuatan bagan—serta perawatannya—memang tidak murah. Sekali membangun, memerlukan puluhan juta untuk menutup biaya kayu sampai pengangkutan.

“Sekarang mana bisa? Rasanya suram sekali,” ujarnya, lirih.

Keberadaan kawasan industri diduga menjadi penyebabnya. Laut menjadi ramai dengan kapal tongkang yang berseliweran, mengangkut kebutuhan para pelaku usaha di KIHI. Air laut pun keruh, membuat ikan-ikan melarikan diri.

Dampaknya dirasakan oleh nelayan. Tangkapan ikan “turun drastis,” sebut Jumar. Dengan perolehan ikan yang anjlok, otomatis memengaruhi pendapatan yang dihasilkan nelayan. Semakin kecil uang yang mereka bawa pulang, semakin sempit keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan.

Tidak terkecuali saat musim “menyulam” tiba, ketika para nelayan di Mangku Padi berbondong-bondong memperbaiki dan memperkuat bagan.

“Waktunya ‘menyulam’ itu kesempatan bagi kami untuk merawat bagan supaya kokoh mengadang ombak,” terang Roni yang juga berprofesi sebagai nelayan.

“Sekarang uang dari mana buat memperbaiki bagan sementara tangkapan kami menurun?”

Kekhawatiran lainnya muncul: bukan ombak lautan yang menerjang bagan, melainkan kapal-kapal tongkang. Hamzah, seorang nelayan di Kampung Baru, menuding kapal tongkang yang melintas telah menabrak bagannya hingga rusak.

Hamzah pertama kali mendengar kabar itu dari tetangganya. Insiden itu terjadi sekitar pukul 2 atau 3 pagi.

“Tetangga saya melihat. Cuma, *enggak* tahu kapalnya yang mana,” tutur Hamzah.

Ketiadaan bukti langsung menutup peluang Hamzah untuk memperkarakan dugaan penabrakan tersebut.

Sama seperti Roni dan Jumar, Hamzah mengaku kesulitan dengan perolehan ikan yang menurun drastis. Sebelum kawasan industri menggeliat, Hamzah mengatakan bahwa “dalam satu bulan pernah mendapatkan ikan kering sebanyak 2 ton.”

“Kalau sekarang, *aduh*, *enggak* bisa kami ngomong. Mau dimakan saja susah, apalagi menghidupi diri sendiri,” sambungnya.

Melaut baik dengan jarak dekat atau sedang, sekitar 14 hingga 24 kilometer dari daratan, “kami tidak dapat apa-apa,” ungkap Hamzah.

“Laut jadi penuh lumpur. Tempat ikan berada jadi keruh. Padahal, di situ mereka tumbuh,” Hamzah menjelaskan.

“Ibarat kita kalau kena abu, pasti sudah lari. Apalagi ini ikan.”

Efek dari minimnya perolehan ikan di laut juga berdampak hingga urusan domestik masyarakat, ujar Rostanti, warga Kampung Baru.

Biasanya, saat ikan melimpah, masyarakat bisa saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, setidaknya untuk urusan perut. Hal itu tidak lagi berlaku.

“Kalau hanya untuk dimakan saja, kami tidak perlu beli. Kami tinggal minta ke tetangga. Setelah adanya industri, kami harus beli di luar dengan harga yang tinggi,” paparnya.

Rostanti berharap keberadaan perusahaan dan kegiatan pembangunan berskala nasional mampu “meningkatkan perekonomian kami.”

Antara harapan dan kenyataan tidak jarang berjalan berlawanan. Dan Rostanti, sepertinya, memahami betul kontradiksi tersebut.

“Tambah ke sini, tambah ke sini, akhirnya harapan itu tidak ada,” pungkasnya.

Sebelum bising suara mesin kapal memecah perhatian serta pendengaran, Roni, saat kami turun dari bagan, melontarkan kekalutannya.

“Kami seolah dikepung di darat dan di laut.”

Perusahaan: ‘Kami mendukung penegakan hukum’

PT AlamTri Resources Indonesia, dalam keterangannya, menyatakan bahwa proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) dikembangkan “dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan di Indonesia,” terutama Kalimantan Utara.

Sehubungan dengan dugaan konflik dengan masyarakat, PT AlamTri Resources, atau Adaro Group, memastikan bahwa mereka “senantiasa mengikuti peraturan perundang-undangan” serta “beritikad baik kepada masyarakat” untuk “melakukan diskusi dan musyawarah guna melindungi hak masing-masing pihak.”

Di lain sisi, pihak perusahaan juga “memenuhi persyaratan dan mengikuti prosedur yang dibutuhkan serta diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

“Demi tercapainya kepastian hukum dalam menjalankan kegiatan usahanya,” tulis PT AlamTri Resources Indonesia.

Lalu, PT AlamTri Resources Indonesia membantah tudingan intimidasi maupun tindakan lainnya yang sifatnya mengandung kekerasan dan hal-hal di luar ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Kami mendukung penegakan hukum,” ujar mereka.

PT AlamTri Resources menyadari bahwa bisnis dan kegiatan operasional perusahaan “terpapar berbagai risiko.”

Oleh karena itu, perusahaan selalu menyiapkan serangkaian strategi manajemen risiko yang efektif dan dapat dilaksanakan secara “terstruktur, sistematis, dan konsisten” di semua lini dalam organisasi.

Perusahaan menambahkan bahwa setiap kegiatan bisnis yang ditempuh berpatokan pada kode etik.

Pertama, perihal tanggung jawab kepada masyarakat, perusahaan rutin menyelenggarakan program-program yang dapat memberdayakan masyarakat di sekitar lokasi operasi perusahaan.

Kedua, perusahaan melaksanakan “praktik terbaik” dalam aspek lingkungan hidup.

Ketiga, perusahaan mencegah transaksi apa pun yang bisa menimbulkan benturan kepentingan dengan perusahaan.

Menantang klaim pemerintah

Pendekatan kawasan industri dalam implementasi PSN di KIHI, juga seperti halnya proyek-proyek pembangunan lainnya, dipakai karena sifatnya yang terintegrasi, terang peneliti CELIOS, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu ekonomi, Fiorentina Refani.

Dengan terpusat di satu wilayah, Fiorentina melanjutkan, maka ada pemangkasan sekaligus penyederhanaan izin. Ditambah lagi: merangsang berbagai investasi.

Dalam konteks KIHI, pemerintah, tegas Fiorentina, menginginkan hilirisasi di satu kawasan supaya tercipta “efisiensi rantai pasoknya.”

“Jadi dari penyediaan energi, PLTU-nya ada di situ. Sumber daya lain seperti tambang pasti dicari atau diakomodasi dari tambang-tambang batu bara paling dekat. Semuanya terintegrasi,” sebutnya.

<img src="https://i0.wp.com/img-s-msn-com.akamaized.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *