Jakarta, IDN Times – Pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kekerasan seksual di pesantren dibesar-besarkan media menuai protes keras dari Institut KAPAL Perempuan. Dalam surat terbuka yang diterima IDN Times, Institut KAPAL Perempuan menegaskan bahwa narasi tersebut justru menunjukkan kegagalan negara dalam memahami prinsip dasar perlindungan perempuan dan anak.
Institut KAPAL Perempuan dengan tegas menggugat pernyataan Menag, menganggapnya menyesatkan publik dan menambah luka bagi para korban kekerasan seksual yang telah berani menyuarakan penderitaan mereka. Pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap realitas pahit yang dialami para korban, sekaligus memperkuat budaya diam dan ketakutan yang selama ini menyelimuti.
Untuk membantah klaim Menag, KAPAL Perempuan menyajikan data kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai pondok pesantren. Pada Juli 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat insiden di Pesantren Sumenep dengan sembilan korban, serta di Pondok Pesantren Al-Isra, Karawang, Jawa Barat, yang melibatkan 20 santriwati. Di Agam, Sumatra Barat, seorang pengasuh asrama Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah bahkan melakukan kekerasan seksual terhadap 40 santrinya. Sementara itu, di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, anak dari pengasuh pondok terbukti melakukan kekerasan seksual pada sembilan santri selama periode 2017 hingga 2022.
Atas dasar itu, Institut KAPAL Perempuan mendesak pemerintah agar tidak meniadakan keberadaan korban, sekecil apapun jumlahnya, sebab tindakan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menekankan, “Satu korban saja sudah cukup menjadi alarm bagi negara bahwa sistem perlindungan belum bekerja dengan baik.” Menag Nasaruddin, melalui kementerian yang dipimpinnya, semestinya bertanggung jawab memastikan adanya mekanisme pencegahan, pelaporan, dan penanganan yang berpihak pada korban di seluruh satuan pendidikan keagamaan, termasuk pesantren. Narasi yang menyederhanakan atau menutupi fakta kekerasan seksual justru memperkuat budaya diam dan impunitas bagi pelaku.
Pernyataan Menag Nasaruddin juga dinilai bertentangan dengan sikap ketiga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang tercetus dalam Istigasah Kubro dan Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari darurat kekerasan seksual pada 14 Desember 2021. KUPI secara eksplisit menyatakan bahwa kondisi darurat ini mewajibkan negara sebagai Ulil Amri untuk menciptakan sistem perlindungan hukum yang komprehensif. Sistem ini harus mampu mencegah setiap anak bangsa menjadi korban atau pelaku, serta melindungi, memulihkan korban, dan merehabilitasi pelaku.
KAPAL Perempuan menegaskan bahwa kekerasan seksual di pesantren bukanlah isu baru. Selama beberapa tahun terakhir, media dan masyarakat sipil telah banyak mengungkap kasus-kasus serupa dengan korban mayoritas adalah santri perempuan dan anak di bawah umur. Banyak di antara mereka mengalami trauma mendalam, stigma sosial, dan kesulitan dalam mengakses keadilan. Oleh karena itu, pernyataan pejabat publik yang menganggap persoalan ini “tidak sebesar yang diberitakan” hanya akan memperburuk situasi dan merugikan perjuangan korban.