
Banjir dan longsor yang menerjang sejumlah desa di Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, meninggalkan trauma bagi warganya. Inilah kisah tiga warga di kawasan terdampak dalam merayakan Natal dan Tahun Baru yang diwarnai rasa waswas.
Pada hari-hari ini, sebagian penyintas masih sibuk membereskan perlengkapan tidur di posko pengungsian.
Sebagian lainnya bercucuran keringat menggali rumah yang tertimbun lumpur dan gelondongan kayu.
Mereka bahkan tidak memikirkan untuk membeli baju baru untuk anak-anaknya.
“Tahun ini sungguh sangat beda. Kami sudah tidak bisa lagi membelikan baju untuk anak-anak kami dan tidak mengadakan Natal seperti biasanya lagi,” kata Nova Hutagalung, 35 tahun, warga Dusun Parsingkaman Jae, Desa Pagaran Lambun I.
Banjir bandang dan tanah longsor melenyapkan nyaris semua hartanya—termasuk rumah dan ladang sumber penghidupan keluarganya.
Lebih dari sebulan pascabencana, Nova beserta suami dan anaknya masih menumpang tinggal di posko pengungsian. Lokasinya di samping sebuah gereja.
Di sanalah, Nova mengungsi bersama puluhan keluarga lainnya yang juga bernasib serupa.
Mereka amat bergantung kepada kebaikan hati para dermawan yang memberikan bantuan.
Di posko, pengungsi tidur dengan alas seadanya. Mereka lebih sering menyantap mi instan dan telur ayam.
Ada pun soal pakaian, Nova dan warga terdampak lainnya terpaksa berharap dari uluran tangan pihak lain.
“Termasuk baju [yang saya kenakan] ini,” ujarnya.
Ketika merayakan Natal pun Nova mengenakan pakaian layak pakai pemberian orang atau pihak lain.
“Baju Natal dan baju-baju gereja kami sebagian ada yang sempat tertolong oleh keluarga. Tapi itu pun sudah kena lumpur. Jadi tidak secepat itu layak dipakai lagi,” Nova bercerita.
‘Natal berjalan, namun hati belum tenang’
Suasana Natal dan Tahun Baru yang berbeda juga dirasakan warga terdampak lainnya, Rores Sinaga, 35 tahun.
Rores adalah warga Desa Sibalanga, Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara.
Desanya juga luluhlantak akibat terjangan banjir dan longsor akhir bulan lalu.
“Natal [tetap] berjalan, namun hati belum tenang, masih trauma,” ungkapnya.
Ketakutan bisa menjalarinya tiba-tiba saat mendengar suara hujan atau petir yang menggelegar.
“Kami masih trauma,” kata Rores kepada wartawan Nanda Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (26/12).
Dia lalu bercerita bahwa dampak banjir-longsor seperti itu sangat berdampak pada kesiapan Rores dan keluarganya menyambut Natal dan Tahun Baru.
“Biasanya kami sudah mempersiapkan malam Natal dan tahun baru, Natal bersama keluarga,” ungkapnya seraya menggendong salah-satu anaknya.
Rores lalu mengisahkan saat banjir menerjang desanya. Bersama warga lainnya, mereka menyelamatkan diri ke gereja setempat.
Desa Sibalanga termasuk desa yang hancur ditelan banjir. Puluhan rumah warga hancur.
Sampai Jumat (26/12) lalu, longsor masih terjadi di beberapa titik disertai hujan lebat jelang sore.
Sejumlah alat berat juga masih beroperasi meratakan material yang menghambat jalan utama penghubung kabupaten.
Kecamatan Adiankoting merupakan salah-satu kawasan yang mengalami kerusakan parah akibat banjir dan longsor pada November 2025 lalu.
Di kabupaten ini, setidaknya 36 jiwa meninggal dunia, dua orang hilang, serta 14.033 jiwa mengungsi.
Di wilayah itu sedikitnya ada 772 rumah warga yang rusak.
Dan ada 55 desa yang luluhlantak, termasuk dua desa yang ditinggali Nova Hutagalung dan Rores Sinaga.
Selain mengungsi di posko-posko pengungsian, tak sedikit warga yang lebih memilih mengamankan diri ke rumah keluarga mereka,
Ada pula yang memilih mendirikan tenda-tenda sendiri di area yang relatif aman.
‘Perasaan campur aduk, ada bahagia, ada trauma’
Sorinma Tampubolon, salah-seorang warga terdampak, memilih mengungsi karena rumahnya tidak dapat ditinggali lantaran rusak parah.
Rumah yang baru dibangun Sorinma enam bulan lalu itu hancur diterjang longsor.
Padahal, rumah ini akan menjadi tempat berkumpul ia bersama keluarganya pada Natal dan malam pergantian tahun.
“Sebelum ada bencana ini, sebenarnya kami dengan keluarga akan kumpul-kumpul,” ungkapnya. “Anak-anak saya akan datang ke sini.”
Perayaan yang sudah dirancang keluarga Sorinma sejak jauh-jauh hari itu akhirnya terpaksa batal.
Sebagian besar isi rumah tidak sempat diselamatkan, ujarnya.
Dalam situasi seperti itulah, Sorinma merayakan Natal dan Tahun Baru dengan cara yang berbeda jika dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dia menggambarkan perasaannya saat ini seperti “campur aduk”.
“Bahagia tetap bahagia, walau kami trauma dalam bencana ini,” katanya.
Bayang-bayang banjir dan longsor yang menyelimuti Nova, Rores, Sorinma, serta warga terdampak lainnya, ikut mempengaruhi perayaan Natal dan Tahun Baru di wilayah itu.
Perayaan Natal di gereja setempat, misalnya, tidak dilakukan lagi pada malam hari seperti biasa.
Ini dilakukan karena hujan masih terus terjadi dan berpotensi menimbulkan longsor susulan.
Bukan hanya cemas berkelanjutan, banjir dan longsor yang terjadi juga meninggalkan persoalan psikologis lainnya.
‘Kehilangan rumah, ladang rusak total’
Menurut pengurus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Parsingkaman, Pendeta Castle Sianipar, banyak jemaat yang kini lebih gampang tersinggung.
“Dampak akibat bencana ini yang pertama sekali emosionalnya, kejiwaannya, terguncang mereka,” kata Castle kepada wartawan Nanda Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Jadi konflik secara horizontal, pergesekan atau pun ketersinggungan itu sangat sensitif pascabencana ini. Mulai dari pertengkaran kecil sampai pertengkaran [besar], itu sangat mudah terpicu,” jelasnya.
Hal itu bisa dipahaminya, karena para penyintas tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga sumber penghasilan.
Castle bercerita, banyak jemaat gereja adalah para petani yang ladangnya rusak akibat banjir-longsor.
“Perekononiam mereka signifikan terganggu. Di mana hasil bumi, hasil tanaman mereka sulit menjualnya karena akses putus. Kedua, harganya dipermainkan, karena tidak sedikit ada orang yang seperti memancing ikan di air keruh,” paparnya.
Dalam menanggulangi beban psikologis penyintas bencana di Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendorong partisipasi dan inisiatif komunitas lokal berbasis kultural.
Menurut Pendeta Victor Rembeth, yang juga pengarah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, pendekatan seperti itu lebih efektif untuk mengurangi beban psikologis para penyintas.
Alasannya, mereka hidup dalam kultur yang sama dengan penyintas, kata Victor.
“Kalau pun didatangkan dari Jakarta atau luar negeri, belum tentu bisa melakukan seperti yang mereka lakukan. Jadi pada dasarnya di BNPB kita menghargai inisiatif-inisiatif lokal,” jelas Pendeta Victor Rembeth.
“Kita mendorong inisiatif masyarakat. Karena inisiatif masyarakat seperti ini yang sifatnya kultural,” tambahnya.
Salah-satu caranya adalah dengan memanfaatkan sekolah minggu di gereja-gereja setempat.
Selain menghibur anak-anak penyintas bencana, sambungnya, BNPB juga mengedukasi para orang tua atau keluarga yang tinggal di kawasan rawan bencana.
Tujuannya agar mereka selalu tanggap terhadap kondisi terburuk.
“Orang tua diberikan literasi pembelajaran bagaimana berjaga-jaga, bersiap-siap,” ujar Victor.
BPBD Sumatra Utara menyebutkan, pada Sabtu (27/12), korban meninggal dunia akibat banjir dan tanah longsor di provinsi ini telah mencapai 365 orang.
Dari total jumlah warga yang meninggal, terbanyak ada di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Jumlahnya mencapai 127 orang. Disusul Kabupaten Tapanuli Selatan 88 orang dan Kota Sibolga 55 orang.
Selain mereka yang meninggal dunia, sampai sekarang juga masih terdapat total 60 orang lainnya yang hilang.
“Proses pendataan masih terus dilakukan di lapangan, terutama di wilayah dengan akses yang sempat terputus akibat longsor dan banjir bandang,” ujar Kepala Bidang Penanganan Darurat, Peralatan dan Logistik BPBD Sumatera Utara, Sri Wahyuni, melalui keterangan tertulis.
Banjir dan tanah longsor pada penghujung November 2025 lalu telah menyebabkan setidaknya 1.803.549 jiwa dari di 19 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara terdampak.
Sebanyak 10.545 orang sempat mengungsi dan sebagian telah kembali ke rumah masing-masing.
Khusus di Kabupaten Tapanuli Utara, bencana ini telah menimbulkan total kerugian sementara Rp665,2 miliar.
Selain 772 unit rumah, bencana tersebut juga menyebabkan sejumlah fasilitas pendidikan dan kesehatan rusak.
Terdapat 58 ruas jalan sepanjang total 82,9 kilometer, 18 unit jembatan serta 76 unit irigasi yang hancur.
Penyintas bencana perlu pendampingan trauma healing
Penelitian berjudul Impact of Natural Disasters on Mental Health: Evidence and Implications (2024) yang ditulis Eamin Z Heanoy dan Norman R Brown dari Universitas Alberta di Edmonton, Kanada, menjabarkan bahwa bencana alam memiliki efek buruk pada kesehatan mental manusia.
Bagi sebagian orang, bencana alam dapat menyebabkan tekanan psikologis jangka pendek atau jangka panjang, yang menyebabkan atau memperburuk penyakit mental, misalnya, depresi, kecemasan, dan Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Sementara dalam penelitian berjudul Prevalence of Post-traumatic Stress Disorder After Flood: A Systematic Review and Meta-Analysis (2022), Mohamad Golitaleb dkk menemukan bukti bahwa prevalensi PTSD pada penyintas banjir mencapai 29,48%.
Prevalensi yang relatif tinggi ini membuat para penyintas butuh tindakan pencegahan, dukungan, terapi, dan tindakan efektif lainnya.
Menurut Psikolog Irna Minauli dari Minauli Consulting, para penyintas bencana banyak yang mengalami trauma.
Tahap awalnya disebut Accute Stress Disorder atau gangguan stres akut.
Mereka umumnya tidak siap dihadapkan secara tiba-tiba pada kehilangan banyak hal, seperti rumah dan anggota keluarga.
“Kondisi ini menimbulkan guncangan, shock, sehingga membuat banyak orang mengalami ketakutan dan kecemasan. Banyak yang kemudian menjadi hypervigilance, menjadi sangat sensitif terhadap sesuatu yang mengingatkannya pada bencana. Mendengar rintik hujan atau aliran air mungkin sudah membuat mereka ketakutan,” ujar Irna.
Menurut Irna, para penyintas bencana cenderung menjadi sangat was-was, sehingga mudah terganggu oleh hal-hal kecil yang berkaitan dengan pengalaman traumatis tersebut.
Jika tidak ditangani dengan baik, barulah gangguan ini berkembang menjadi PTSD, katanya.
“Para penyintas akan mengalami mimpi buruk, adanya lintasan ingatan atau flashback atas peristiwa, dan mereka akan menghindari lokasi atau orang-orang yang mengingatkan pada bencana tersebut,” jelasnya.
Para penyintas yang kehilangan anggota keluarganya, lanjut Irna, kerap merasa bersalah.
Hal itu dapat menyulut depresi dan berdampak pada nafsu makan dan pola tidur.
Kondisi ini, kata Irna, perlu ditangani dengan baik melalui trauma healing.
Dalam proses ini, para penyintas diajak untuk memahami fase trauma yang dialaminya.
Biasanya, kata Irna, terdapat penyangkalan oleh para penyintas pada tahap awal.
Misalnya, mereka beranggapan bahwa anggota keluarganya itu masih hidup. Fase berikutnya, penyintas marah karena merasa tidak mampu menyelamatkan anggota mereka.
Setelah fase itu, para penyintas mulai berangan-angan dengan berkata ‘seandainya dulu’.
Fase keempat masuk ke tahap depresi. Penyintas menjadi murung dan merasa tidak memiliki harapan hidup.
“Jika tidak ditangani maka akan kembali ke fase sebelumnya, yaitu penyangkalan, kemarahan dan depresi lagi. Akan tetapi, dengan penanganan yang tepat, diharapkan mereka akan bisa menerima kondisi tersebut.
“Dukungan sosial dari lingkungan serta spiritualitas yang baik akan membantu seseorang bisa sampai pasa fase penerimaan,” pungkas Irna.
Wartawan Nanda Batubara melakukan reportase ini dan menuliskannya.
- Demi misa Natal, satu keluarga di Aceh Tengah berjuang menembus titik longsor – Bagaimana para penyintas banjir-longsor Sumatra menjalani Natal?
- Foto-foto Natal di Hutanabolon yang luluh lantak akibat banjir hingga ‘sinterklas’ pengatur lalu lintas di Solo
- ‘Tuhan akan mengatur dengan segala kesederhanaan’ – Bagaimana banjir dan longsor akan mengubah perayaan Natal sebuah kampung kecil di Sumatra?



