Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan pertumbuhan ekonomi 6%-7% untuk meredam gelombang demonstrasi yang terjadi baru-baru ini. Namun, sejumlah ekonom meragukan efektivitas strategi tersebut dalam mengatasi akar masalah ketidakadilan fiskal. Apa saja tantangan yang dihadapi Menteri Purbaya?
Pelantikan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada Senin, 8 September 2025, menandai babak baru dalam sejarah pemerintahan. Sri Mulyani, yang telah menjabat selama 14 tahun sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meninggalkan posisi tersebut setelah beredarnya kabar di media sosial terkait insiden di kediaman pribadinya. Meskipun Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membantah demonstrasi sebagai faktor utama pergantian ini, Presiden Prabowo Subianto memiliki hak prerogatif dalam merombak kabinet.
Usai dilantik, Purbaya menyatakan akan fokus pada penciptaan pertumbuhan ekonomi 6%-7%, yakin hal tersebut akan mampu meredakan gejolak sosial. Ia bahkan menyebut tuntutan publik yang tertuang dalam ’17+8′ sebagai aspirasi sebagian kecil masyarakat, mengatakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan, sehingga mengurangi aksi demonstrasi. Ia berencana mengoptimalkan instrumen yang ada tanpa perubahan besar pada kebijakan fiskal sebelumnya, misalnya dengan mempercepat belanja pemerintah yang dinilai lamban dalam dua triwulan terakhir.
Namun, sejumlah pengamat ekonomi menilai pernyataan Purbaya terlalu menyederhanakan masalah. Muhammad Andri Perdana dari Bright Institute bahkan menyebutnya tidak memahami keresahan masyarakat, sementara Hendri Saparini dari CORE Indonesia menilai Purbaya terkesan mengabaikan akar permasalahan. Para ekonom ini mengidentifikasi beberapa pekerjaan rumah utama Menteri Purbaya:
1. Bunga Utang yang Menggunung: Postur RAPBN 2026 menunjukkan belanja negara yang lebih besar daripada pendapatan, mengakibatkan defisit yang besar dan rencana penambahan utang baru mencapai Rp781,9 triliun. Hal ini berpotensi meningkatkan beban pembayaran bunga utang hingga lebih dari Rp600 triliun pada 2026 (19% dari total belanja negara), mempengaruhi alokasi anggaran untuk sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hendri Saparini menekankan perlunya koreksi pada sisi belanja dan menghindari penambahan utang yang berlebihan.
2. Ketidakadilan Fiskal: Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, yang menargetkan penghematan Rp750 triliun, telah menimbulkan dampak negatif. Pemangkasan anggaran di sejumlah kementerian menyebabkan ancaman PHK, pengurangan dana penelitian, dan kenaikan PBB-P2 di 104 daerah. Kondisi ini diperparah dengan tetap utuhnya gaji dan tunjangan anggota DPR. Andri Perdana menyoroti kemarahan publik akibat ketidakadilan fiskal ini, terutama dengan rencana pengenaan pajak baru yang lebih menyasar kelas menengah ke bawah. Ia juga mengkritik pengeluaran besar untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih, serta pembangunan tiga juta rumah, yang dinilai tidak berkelanjutan secara fiskal.
3. Memperbaiki Pendapatan Negara: Penerimaan pajak diproyeksikan tidak mencapai target APBN 2025, antara lain karena pembatalan kenaikan PPN ke seluruh barang dan jasa. Pengalihan dividen BUMN ke Danantara juga mengurangi pendapatan negara. Andri Perdana menyarankan agar Kementerian Keuangan fokus pada penagihan pajak kepada orang kaya dan wajib pajak bandel, menegaskan potensi penerimaan negara yang signifikan melalui pajak kekayaan 1%-2% dari 50 orang terkaya di Indonesia.
Hendri Saparini menekankan pentingnya Presiden Prabowo Subianto untuk memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat dan tidak hanya fokus pada target pertumbuhan ekonomi. Ia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi 6%-7% bisa saja tercapai, namun bersifat eksklusif dan bukan inklusif. Ia juga menyarankan agar Purbaya berdiskusi jujur dengan Presiden dan menghindari penyederhanaan masalah ketidakadilan. Baik Andri Perdana maupun Hendri Saparini menekankan pentingnya Menteri Purbaya untuk memiliki pendirian dan berani menantang Presiden jika kebijakan yang diputuskan dinilai tidak realistis.
Menteri Purbaya, dalam pidato serah terima jabatan, mengakui tantangan ekonomi global, termasuk perubahan iklim. Ia menekankan komitmen pada penyusunan RAPBN 2026 yang disiplin dan berpihak pada rakyat, serta menjaga kesehatan fiskal. Ia juga meminta maaf atas pernyataannya yang menyebut tuntutan ’17+8′ sebagai suara minoritas, dan berjanji akan fokus pada pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

- Warisan utang pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan Prabowo, ekonom peringatkan ‘Kita sudah gali lubang tutup lubang’
- Apakah China memancing negara-negara lain untuk berutang?
- Bunga utang kereta cepat Jakarta-Bandung 3,4%, jebakan utang China?
- Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah, mana yang lebih realistis?
- Angka kemiskinan turun, ratusan ribu orang terancam tak menerima bansos?
- Angka kemiskinan turun tapi jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat, apa yang terjadi?