Frustrasi yang memuncak akibat serangkaian gangguan internet di Merauke, Papua Selatan, akhirnya meledak dalam sebuah demonstrasi yang berujung ricuh pada Kamis (21/08). Kerusakan berulang pada kabel bawah laut telah memukul telak roda perekonomian lokal, membuat warga dan pelaku usaha menjerit karena kerugian besar.
Krisis konektivitas ini berawal dari terputusnya kembali jaringan internet 4G Telkomsel di Kabupaten Merauke sejak Sabtu, 16 Agustus. Gangguan ini disebabkan oleh kerusakan kritis pada kabel Sistem Komunikasi Kabel Laut-Sulawesi Maluku Papua Cable System (SKKL-SMPCS) di ruas Sorong-Merauke. Namun, insiden ini bukanlah yang pertama kali; Merauke telah dihantui masalah serupa sejak tahun 2016, dengan gangguan terparah terjadi pada tahun 2023, di mana internet lumpuh selama lebih dari dua bulan. Baru pulih di September 2023, warga kembali dihadapkan pada internet yang “down” di awal Januari 2024. Rentetan gangguan jaringan internet ini secara langsung melumpuhkan berbagai usaha berbasis daring di Kota Merauke.
Dampak buruk dari gangguan internet Merauke ini terasa langsung pada denyut nadi ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang bergantung pada platform digital. Angelbertus Farel, seorang pengemudi ojek online, menuturkan bahwa lumpuhnya jaringan membuat aktivitasnya terhenti total, berujung pada pendapatan nol. “Pendapatan kami justru tidak ada sama sekali selama jaringan internet mati, dari hari pertama sampai saat ini. Kita tidak ada pemasukan,” keluh Farel kepada Emanuel Riberu dari BBC News Indonesia, Jumat (22/08). Ia menegaskan bahwa masalah ini bukan hal baru, dan setiap kali terjadi, ia kehilangan mata pencarian utamanya. Demi bertahan, Farel terpaksa beralih sementara menjadi pekerja bengkel, dengan penghasilan yang jauh lebih rendah dan tidak menentu. “Kalau ojek, saya bisa dapat Rp100.000 sampai Rp200.000, biasanya juga ada bonus dari aplikasi. Tapi kalau jaringan mati begini, kami tidak ada pendapatan,” jelasnya. “Sementara saya kerja di bengkel, paling sehari biasa dapat Rp30.000, kadang Rp50.000. Kita berharap jaringan segera diperbaiki.”
Nasib serupa dialami Sisilia Weni, seorang penjual makanan siap saji daring yang mengandalkan Facebook untuk pemasarannya. “Selama jaringan mati, saya rasa rugi karena selama ini saya ada jualan makanan secara online melalui Facebook,” kata Sisilia. Bisnis kateringnya sangat terhambat, mengingat rata-rata penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp3 juta per bulan. Namun, saat internet mati di Merauke, angkanya anjlok drastis menjadi hanya Rp500.000-Rp600.000, memaksanya untuk berjualan secara luring. “Kita berharap Telkom segera memperbaiki, dan ke depannya tidak terulang lagi,” harapnya.
Bahkan Elisabeth Kartini, seorang ibu rumah tangga yang produktif sebagai pembuat konten, turut merasakan kerugian. Ia tidak bisa lagi menghasilkan uang dari video, vlog, atau siaran langsung yang biasa dibagikannya di Facebook. “Saat jaringan mati begini, kita tidak bisa apa-apa. Lumayan pendapatannya, ada sedikit pemasukan. Saat jaringan internet mati begini, tentu macet,” ujarnya, menggambarkan bagaimana dampak internet mati Merauke memutus aliran penghasilannya.
Kekecewaan yang telah mengendap lama akhirnya memicu aksi demonstrasi ricuh di Merauke. Sekitar 1.000 anggota Aliansi Mahasiswa Masyarakat Kabupaten Merauke, Papua Selatan, turun ke jalan menuju Kantor Telkom Indonesia Daerah Merauke pada Kamis (21/08). Sepanjang perjalanan, gema yel-yel “Bakar Telkom” menyiratkan kemarahan yang membara. Setibanya di Jalan Postel, situasi segera memanas.
Massa yang marah besar, merasa layanan internet yang putus nyaris tak terhitung ini tak pernah teratasi, melampiaskan kekesalan mereka dengan menghujani Kantor Telkom menggunakan batu, kayu, dan botol. Bahkan, molotov dan ban yang dibakar dilemparkan ke arah bangunan. Meskipun api pada ban yang dibakar di halaman kantor berhasil dipadamkan oleh pihak berwenang, amuk massa tak terbendung. Mereka semakin beringas, terus melempari kantor hingga hampir semua kaca jendela hancur, bahkan berupaya membakar gedung tersebut. Situasi semakin tegang dengan bentrokan singkat antara aparat dan beberapa pedemo, yang kemudian berhasil diredam oleh kepolisian dan koordinator aksi.
Puncaknya terjadi pada siang hari, ketika massa yang tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian dari pihak Telkom terkait perbaikan jaringan internet kembali tersulut emosi. Bentrokan tidak terelakkan antara pedemo dengan aparat keamanan yang mengawal aksi tersebut. Para pedemo melempari polisi dengan batu, botol, dan kayu, yang dibalas aparat dengan tembakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Aksi massa akhirnya dibubarkan secara paksa oleh polisi pada sore hari. Akibat insiden ini, beberapa pedemo dan anggota kepolisian dilaporkan mengalami cedera ringan.
Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Andika Labobar, menyampaikan sejumlah tuntutan demonstran yang mendesak. Mereka menuntut pemulihan jaringan internet segera, komitmen nyata dari Telkom untuk membangun jalur cadangan, transparansi anggaran PT Telkom, serta intervensi pemerintah untuk memfasilitasi masuknya provider lain di Merauke. “Kami juga menuntut agar Telkom memberikan kompensasi kepada pengguna Indihome dan data Telkomsel di Merauke yang terdampak,” tegas Andika.
Andika menjelaskan bahwa eskalasi aksi hingga perusakan Kantor Telkom merupakan akumulasi dari puncak kemarahan warga. Sejak tahun 2016, telah terjadi delapan kali penurunan drastis kualitas layanan internet tanpa adanya evaluasi berarti dari Telkom maupun pemerintah. “Pemerintah seakan tutup telinga terkait masalah ini,” tukasnya. Ia menekankan, “Delapan kali terjadi gangguan, tapi pemerintah tidak punya langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah internet di Papua Selatan, seperti memfasilitasi provider lain.” Ia menambahkan, meskipun bentrokan tidak diinginkan, kekecewaan mendalam atas delapan kali gangguan membuat situasi hari itu di luar kendali.
Menanggapi aksi massa, Kapolres Merauke, AKBP Leonardo Yoga, berjanji akan menindaklanjuti dengan memanggil pimpinan Telkom Merauke. “Kami akan memanggil pimpinan Telkom untuk dimintai keterangan terkait aspirasi hari ini,” kata Yoga, demi mendapatkan klarifikasi dan penjelasan atas tuntutan warga.
Aksi demonstrasi gangguan internet tersebut disambut positif oleh warga yang merasakan langsung dampaknya. Elizabeth Kartini, seorang pembuat konten yang sebelumnya mengeluhkan kerugian, mendukung penuh unjuk rasa tersebut. “Masalah jaringan ini bukan baru satu kali terjadi, tapi sudah berulang sejak 2016. Kita masyarakat tentu rugi. Kalau tidak didemo, Telkom bisa seenaknya,” ungkap Kartini. Ia berharap tekanan dari masyarakat melalui aksi ini dapat mempercepat pemulihan jaringan internet di Merauke dan mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan masuknya provider lain.
Dalam keseharian tanpa internet, warga terpaksa mencari alternatif. Kartini menceritakan, “Kalau jaringan tidak ada begini, kami mencari tempat yang masih ada jaringan 4G atau ke tempat yang ada Starlink. Biasanya bayar voucher, 1 jam Rp10 ribu. Kita harus keluarkan uang, tapi mau tidak mau, karena kita juga butuh jaringan untuk berkomunikasi dengan keluarga.” Pengalaman serupa dibagikan Sisilia Weni, penjual makanan daring, yang juga terpaksa mengandalkan Starlink berbayar Rp10.000 per jam. “Masalah jaringan ini juga menghambat komunikasi kami dengan keluarga, sehingga kami harap secepatnya diperbaiki,” ujarnya, menegaskan urgensi perbaikan. Mereka sepakat bahwa protes ini diperlukan agar Telkom melakukan evaluasi menyeluruh dan mencegah terulangnya masalah serupa di masa mendatang.
Menanggapi krisis ini, PT Telkom Indonesia menyatakan bahwa mereka sedang gencar berupaya memulihkan gangguan pada Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Sulawesi-Maluku-Papua Cable System #2 (SMPCS#2) ruas Sorong-Merauke. Gangguan ini telah mengakibatkan penurunan kualitas layanan di wilayah Papua bagian selatan, meliputi Merauke, Timika, dan Kaimana. EVP Telkom Regional V, Amin Soebagyo, menjelaskan bahwa telah teridentifikasi double shunt fault pada dua titik, yakni di sekitar Sorong dan Merauke, dengan kedalaman bervariasi antara 50 hingga 500 meter. Sumber pasti penyebab gangguan masih dalam tahap investigasi.
“Kami memahami betapa pentingnya layanan komunikasi digital bagi masyarakat, khususnya di wilayah Papua bagian selatan,” ujar Amin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/08). Ia menegaskan, “Seluruh tim kami bekerja maksimal untuk mempercepat pemulihan layanan agar pelanggan dapat kembali menikmati konektivitas dengan optimal.” Sebagai langkah darurat, Telkom menyiapkan jalur cadangan berkapasitas terbatas dan menerapkan prioritas layanan (Quality of Service/QoS) agar panggilan suara dan pesan singkat tetap berfungsi. Selain itu, perusahaan pelat merah ini juga mengoptimalkan pengaturan traffic, menambah kapasitas melalui jaringan Palapa Ring Timur dan satelit, serta mempersiapkan kapal khusus untuk perbaikan teknis SKKL.
Amin, yang dikutip oleh Tempo.co, menargetkan tahap pertama perbaikan gangguan internet Merauke yang bersifat temporer akan dilakukan pada minggu pertama September mendatang. “Kami tengah mempersiapkan peralatan dan kapal dijadwalkan akan tiba di titik koordinat pada awal September, diharapkan setelah selesai perbaikan bersifat temporer ini seluruh layanan komunikasi bisa normal,” jelasnya. Setelah itu, pada pertengahan September, akan dilanjutkan dengan tahap kedua perbaikan permanen pada sistem Kabel Laut Ruas Sorong-Merauke. Proses perbaikan permanen ini diperkirakan akan menyebabkan degradasi layanan dua kali, yaitu selama satu hari di awal kegiatan dan dua hari di akhir kegiatan. “Seluruh rangkaian perbaikan permanen ini diharapkan akan selesai di minggu ketiga September,” pungkas Amin.
Reportase oleh wartawan di Merauke, Emanuel Riberu.
- Benarkah jaringan internet di Papua terputus akibat faktor alam?
- PTUN Jakarta putuskan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat ‘melanggar hukum’
- Blokir internet di Papua dan Papua Barat, ‘merugikan perekonomian daerah’ dan ‘memicu masalah’