Mitos Iklim Viral: Fakta vs. Hoax, Jangan Sampai Tertipu!

Posted on

Di tengah sorotan KTT Iklim COP30 yang berlangsung di Brasil awal November ini, narasi keliru dan menyesatkan tentang perubahan iklim justru semakin merajalela di media sosial. Beberapa klaim palsu ini bahkan telah dibaca oleh jutaan orang. BBC telah mengulas lima klaim utama tersebut dan akan menjelaskan secara lugas mengapa semua itu tidak benar, berdasarkan bukti ilmiah yang kuat.

Klaim 1: Perubahan iklim bukan buatan manusia
Unggahan tanpa dasar yang menyatakan bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim terus menyebar luas dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis. Memang benar bahwa bumi secara alami telah mengalami siklus pemanasan dan pendinginan sepanjang sejarah geologisnya, yang sebagian besar dipicu oleh faktor-faktor alam seperti aktivitas vulkanik atau variasi aktivitas matahari. Namun, perubahan-perubahan ini biasanya terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang, seringkali ribuan, bahkan jutaan tahun.

Ironisnya, dalam kurun waktu hanya 150 tahun terakhir, planet kita telah menghangat sekitar 1,3° Celsius, menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Meskipun angka ini mungkin terdengar kecil, para ilmuwan menegaskan bahwa laju pemanasan global saat ini belum pernah terjadi sebelumnya, setidaknya dalam ribuan tahun terakhir. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sebuah badan PBB yang menyatukan para ilmuwan untuk meninjau penelitian iklim dan menyajikan laporan berbasis bukti, menyatakan bahwa pemanasan ini “jelas” disebabkan oleh aktivitas manusia. Pemicu utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran ini melepaskan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), yang kemudian bertindak seperti selimut di atmosfer, memerangkap energi berlebih dan memicu peningkatan suhu bumi.

“Perubahan iklim bukanlah masalah keyakinan; ini adalah masalah bukti,” tegas Joyce Kimutai, seorang ilmuwan iklim dari Imperial College di London. Ia menambahkan, “Jejak aktivitas manusia terlihat jelas di setiap sudut sistem iklim planet ini, menjadikannya fakta yang tak terbantahkan.”

Klaim 2: Dunia semakin dingin, bukan semakin panas
Beberapa pengguna media sosial, di wilayah seperti Polandia atau Kanada, menggunakan kondisi cuaca lokal yang lebih dingin dari biasanya sebagai “bukti” bahwa para ilmuwan berbohong tentang pemanasan global. Klaim bahwa planet ini mendingin juga tersebar luas di dunia maya, namun ini adalah kesalahpahaman yang besar.

Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara “cuaca” dan “iklim”. Cuaca mengacu pada kondisi atmosfer jangka pendek di suatu lokasi tertentu, sedangkan iklim menggambarkan pola jangka panjang dalam periode waktu yang panjang. “Catatan suhu global jangka panjang dengan jelas menunjukkan permukaan bumi secara keseluruhan semakin hangat, meskipun beberapa wilayah mungkin mengalami pendinginan jangka pendek atau lokal,” jelas Joseph Basconcillo, pakar iklim di Filipina. WMO juga mengkonfirmasi bahwa sejak tahun 1980-an, setiap dekade tercatat lebih hangat daripada dekade sebelumnya, sebuah tren yang diperkirakan akan terus berlanjut. Bahkan, tahun 2024 disebut sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global sekitar 1,55°C di atas tingkat akhir tahun 1800-an.

Klaim 3: CO2 bukan polutan
Akun media sosial yang menyangkal perubahan iklim akibat ulah manusia sering kali mengklaim bahwa karbon dioksida (CO2) “bukan polutan” melainkan “makanan nabati” yang bermanfaat. Unggahan yang ditemukan BBC dalam bahasa Portugis dan Kroasia bahkan menunjukkan bahwa keberadaan CO2 dalam jumlah besar di atmosfer hanya akan berdampak baik bagi alam.

Memang benar, pada tingkat normal di atmosfer, CO2 sangat penting bagi kehidupan di bumi. Tanpa gas rumah kaca seperti CO2, planet kita akan terlalu dingin untuk mendukung kehidupan, seperti yang dijelaskan oleh NASA. Tumbuhan juga memanfaatkan CO2, digabungkan dengan air dan sinar matahari, untuk menghasilkan oksigen dan bahan organik yang membentuk dasar sebagian besar rantai makanan di planet ini. Namun, masalah muncul ketika terdapat terlalu banyak CO2 di atmosfer. Pada titik ini, para ilmuwan mengklasifikasikannya sebagai “polutan” karena mulai menyebabkan kerusakan yang signifikan.

Kadar karbon dioksida mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024, setelah meningkat drastis sejak tahun 1750 dari sekitar 280 ppm (bagian per juta) menjadi 423 ppm, menurut WMO. Para ilmuwan secara konsisten mengaitkan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer yang disebabkan oleh manusia ini dengan pemanasan global, yang kemudian memiliki konsekuensi luas bagi ekosistem. “Hutan menjadi lebih rentan terhadap kebakaran, tanaman pangan rusak akibat kekeringan atau banjir, dan satwa liar kehilangan habitat karena ekosistem menjadi tidak seimbang,” papar Michelle Kalamandeen, seorang ahli ekologi, ilmuwan konservasi, dan konsultan yang berbasis di Kanada. Meskipun IPCC menyatakan bahwa peningkatan CO2 di atmosfer dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, hal itu mungkin tidak cukup untuk mengimbangi dampak negatif perubahan iklim, termasuk tekanan panas dan kelangkaan air.

Klaim 4: Pembakaran, bukan perubahan iklim, yang menyebabkan kebakaran hutan
Ketika kebakaran hutan besar terjadi, seperti yang terlihat pada awal tahun ini di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Turki, beberapa pengguna media sosial cenderung berfokus pada pembakaran yang disengaja sebagai penyebab tunggal, mengabaikan faktor-faktor krusial seperti perubahan iklim. Unggahan viral tentang penangkapan pelaku pembakaran sering kali dibumbui dengan ejekan terhadap ilmuwan dan politisi yang mengaitkan kebakaran tertentu dengan perubahan iklim.

Meskipun banyak kasus kebakaran memang dimulai secara sengaja atau tidak sengaja oleh manusia, menggeneralisasi kebakaran hutan menjadi satu penyebab tunggal sangatlah menyesatkan, kata Dolores Armenteras, peneliti ekologi kebakaran di Universitas Nasional Kolombia. Menghubungkan kebakaran tertentu secara langsung dengan perubahan iklim memang sulit, sebagian karena banyak faktor yang memengaruhi kebakaran hutan, termasuk bagaimana hutan dikelola, kondisi cuaca, dan topografi. Namun, kita tahu pasti bahwa perubahan iklim menciptakan kondisi ideal bagi terjadinya dan penyebaran kebakaran hutan yang lebih intens. IPCC menyatakan bahwa di wilayah seperti Amerika Utara bagian barat atau Eropa selatan, perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan yang disebut “cuaca kebakaran”: kombinasi kondisi kering jangka panjang, panas ekstrem, dan angin kencang. Dalam kondisi tersebut, sumber penyulut—baik yang alami seperti petir, maupun yang disebabkan manusia seperti pembakaran atau kecelakaan—yang dikombinasikan dengan vegetasi yang melimpah dapat menyebabkan kebakaran hutan ekstrem.

“Pertanyaannya bukanlah pembakaran atau perubahan iklim,” ujar Armenteras. “Melainkan bagaimana iklim yang memanas dengan kondisi yang lebih ekstrem memperkuat konsekuensi dari setiap sumber penyulutan, menciptakan kebakaran dahsyat yang sekarang kita amati di banyak tempat.”

Klaim 5: ‘Rekayasa’ iklim menyebabkan cuaca ekstrem
Klaim bahwa hujan lebat, banjir, atau badai disebabkan oleh manipulasi cuaca atau rekayasa iklim terus bermunculan di internet secara berkala. Ketika banjir bandang melanda Dubai di Uni Emirat Arab atau di Valencia, Spanyol, tahun lalu, banyak pengguna media sosial dengan cepat menyalahkan rekayasa iklim. Namun, manipulasi cuaca dan rekayasa iklim—yang sebenarnya berbeda satu sama lain—tidak dapat menjadi penjelasan atas fenomena cuaca ekstrem yang dialami berbagai belahan dunia.

Memanipulasi cuaca memang merupakan praktik yang bisa dilakukan. Salah satu teknik yang paling umum adalah penyemaian awan (cloud seeding), yang telah diterapkan di lebih dari 30 negara dalam beberapa tahun terakhir, termasuk China, Meksiko, dan India, menurut laporan pemerintah AS. Teknik ini dilakukan dengan menjatuhkan partikel kecil, seperti perak iodida, ke dalam awan untuk mendorong uap air mengembun atau membeku, sehingga meningkatkan kemungkinan hujan atau salju. “Teknik manipulasi cuaca berpotensi pada skala lokal dalam periode waktu yang sangat singkat,” kata Govindasamy Bala, profesor di Pusat Ilmu Atmosfer dan Kelautan di Institut Sains India. “Oleh karena itu, teknik ini tidak bisa memperhitungkan perubahan iklim yang semakin cepat di setiap bagian atau sudut planet ini selama beberapa dekade terakhir.”

Meskipun terdapat beberapa perdebatan mengenai efektivitas modifikasi cuaca seperti penyemaian awan, para ilmuwan sepakat bahwa teknik tersebut bukan faktor tunggal yang menyebabkan banjir besar atau badai berskala luas. Sementara itu, rekayasa iklim mengacu pada upaya untuk memanipulasi lingkungan dengan tujuan mengubah iklim global. Salah satu bentuk rekayasa iklim yang sering disebutkan adalah modifikasi radiasi matahari, dengan menyemprotkan partikel halus zat tertentu ke atmosfer untuk memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa, yang secara teori berarti untuk mendinginkan bumi. Namun, selain sejumlah kecil eksperimen yang sangat terlokalisasi, rekayasa energi matahari belum dilakukan dalam skala besar di mana pun di dunia. Meskipun demikian, di sejumlah negara, termasuk Inggris, telah bermunculan investasi untuk penelitian rekayasa energi matahari dalam beberapa tahun terakhir, dengan tujuan memahami apakah teknik itu bisa membatasi pemanasan global yang berbahaya.

Jadi, apa yang melatarbelakangi beberapa cuaca ekstrem yang dialami dunia saat ini? Para ilmuwan dengan tegas menyatakan bahwa perubahan iklim membuat beberapa jenis cuaca ekstrem, seperti gelombang panas atau curah hujan ekstrem, menjadi lebih mungkin terjadi dan lebih intens. Dengan demikian, memahami fakta dan membedakannya dari mitos adalah langkah krusial dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

  • Foto-foto sebelum dan sesudah gletser mencair di seluruh dunia
  • Suara gletser mencair di Islandia mengungkap isu perubahan iklim
  • Kabut di sekitar Jakarta – Anomali cuaca atau polusi udara?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *