MK Tolak Uji Materil UU TNI: Dampaknya Bagi Rakyat Indonesia

Posted on

Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Formil UU TNI: Dampak bagi Demokrasi Indonesia?

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji formil terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Putusan ini, yang dibacakan pada Rabu, 17 September 2025, menyatakan bahwa proses pembentukan UU tersebut telah sesuai dengan aturan dan tidak melanggar hak konstitusional. Namun, putusan ini menuai kontroversi dan kekhawatiran dari kalangan ahli hukum terkait dampaknya terhadap demokrasi Indonesia. Hakim MK, Guntur Hamzah, menegaskan bahwa proses pembentukan UU 3/2025 secara formil tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga UU tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

Putusan tersebut diwarnai dissenting opinion dari empat hakim, yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani. Mereka berpendapat MK seharusnya mengabulkan sebagian permohonan uji formil karena adanya cacat formil dalam proses pembentukan undang-undang. Dua hakim lainnya, Suhartoyo dan Saldi Isra, juga menyatakan perbedaan pendapat terkait empat permohonan lain yang ditolak karena masalah kedudukan hukum. Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, MK juga telah menolak lima permohonan uji formil lainnya dengan alasan serupa. Beberapa permohonan lainnya bahkan ditarik oleh para pemohon. Menariknya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya telah meminta MK untuk menolak semua permohonan, mengklaim bahwa penyusunan revisi UU TNI telah sesuai peraturan.

Alasan MK Menolak Uji Formil UU TNI

MK berargumen bahwa RUU TNI tidak melanggar hukum karena telah terdaftar berulang kali dalam Prolegnas, termasuk dua kali dalam Prolegnas Prioritas, dan kebutuhan pembaruannya juga didasarkan pada Putusan MK 62/PUU-XIX/2021. MK juga mengutip rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025, di mana RUU tentang Perubahan Atas UU 34/2004 dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025. Hakim Daniel Yusmic menyatakan bahwa perubahan agenda acara tersebut dibenarkan karena dilakukan dalam rapat pleno yang dihadiri seluruh anggota DPR.

Lebih lanjut, MK menganggap RUU TNI sebagai carry over, mengingat proses penyusunannya yang dimulai sejak 2022 dan berlanjut hingga disahkan pada 2025. Proses ini, menurut MK, telah dilakukan secara intensif dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. MK juga menilai perubahan UU TNI sesuai dengan reformasi TNI, diarahkan untuk menghadapi tantangan pertahanan negara, dan memenuhi kebutuhan organisasi TNI. Asas kebutuhan juga dipertimbangkan, mengingat UU TNI sebelumnya telah berlaku lebih dari 20 tahun. Terakhir, MK menekankan bahwa pembentukan UU 3/2025 telah selaras dengan asas kejelasan tujuan dan dilaksanakan secara proporsional.

Terkait transparansi dan akuntabilitas, MK mencatat bahwa DPR telah melakukan diskusi, rapat kerja, dan rapat dengar pendapat, termasuk mengundang masyarakat sipil. Akses dokumen dan informasi juga diklaim terbuka, dibuktikan dengan akses Indonesia Strategic & Defense Studies (ISDS) terhadap draf RUU dari Badan Legislasi DPR. Bahkan rapat di luar gedung DPR pun dinilai tidak menjadi masalah.

Dissenting Opinion: Suara-Suara yang Berbeda

Hakim Suhartoyo mempertanyakan keterbukaan, kemudahan akses dokumen, dan partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU TNI. Ia menilai hak masyarakat untuk memberikan masukan terhambat karena kurangnya informasi dan kesulitan akses terhadap naskah akademik dan rancangan undang-undang. Rapat-rapat tertutup juga turut memperburuk situasi. Suhartoyo menekankan pentingnya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna, menyarankan agar permohonan dikabulkan sebagian dengan syarat perbaikan dalam waktu dua tahun.

Hakim Saldi Isra juga mempersoalkan partisipasi publik, khususnya dalam konteks revisi UU yang lahir dari “roh” reformasi. Ia menyorot sentralitas isu pertahanan dan keamanan negara yang seharusnya membuka ruang lebih luas bagi partisipasi publik. Terkait carry over, Saldi tidak sepakat dengan pandangan MK dan berpendapat permohonan seharusnya dikabulkan karena adanya cacat prosedural.

Hakim Enny Nurbaningsih fokus pada isu carry over dan partisipasi publik. Ia berpendapat RUU TNI tidak memenuhi syarat sebagai carry over karena ketidakadaan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada saat yang tepat, sehingga perubahan undang-undang ini cacat formil.

Hakim Arsul Sani, mantan anggota DPR, menyorot kaitan antara prolegnas prioritas dan partisipasi publik. Ia berpendapat bahwa meskipun revisi UU TNI tepat dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025, prosedur perubahan Prolegnas tersebut tidak ditempuh, sehingga menimbulkan cacat formil.

Dampak terhadap Demokrasi dan Intimidasi

Muhammad Isnur dari YLBHI menilai MK gagal melihat fakta-fakta terkait tindakan DPR dan pemerintah yang tidak partisipatif. Ia menyoroti dissenting opinion dari empat hakim sebagai pertanda diskusi yang alot dan mengkritisi klaim DPR tentang partisipasi publik yang dianggap manipulatif. Isnur juga menghubungkan UU TNI dengan tindakan TNI di lapangan yang dinilai telah melebihi batas dan berdampak serius pada demokrasi.

Ardi Manto dari Imparsial berpendapat senada, menganggap regulasi ini cacat dan bermasalah. Ia menitikberatkan pada isu carry over dan DIM yang baru tersedia setelah periode DPR baru.

Siapa yang Mengajukan Uji Formil?

Sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas ternama di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Gadah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Brawijaya (UB), serta Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan (terdiri dari YLBHI, Imparsial, KontraS, Inayah Wahid, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty) mengajukan uji formil. Lima permohonan lainnya ditolak karena masalah kedudukan hukum dan hubungan kerugian konstitusional.

Poin-Poin Uji Formil

Sebagian besar permohonan uji formil berfokus pada lima hal utama: ketidaksesuaian revisi UU TNI dengan agenda reformasi pasca-1998; status revisi yang bukan carry over; perencanaan revisi yang ilegal dalam Prolegnas; proses pembahasan yang tertutup dan tidak akuntabel; serta penahanan revisi dan minimnya akses dokumen kepada publik. Kuasa hukum pemohon juga mengkritik kurangnya transparansi dan aksesibilitas dokumen, serta pelanggaran hak konstitusional untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Beberapa pemohon juga mempersoalkan pasal-pasal yang menimbulkan ketidakpastian tugas dan fungsi TNI yang masuk ke ranah sipil.

Intimidasi Sepanjang Pengajuan Uji Formil

Sejumlah pihak yang aktif bersuara dan mengajukan uji formil mengalami intimidasi, mulai dari kunjungan orang tak dikenal, teror digital, hingga pemanggilan mahasiswa oleh pihak militer. Hal ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan upaya membungkam kritik terhadap revisi UU TNI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *