MRT-LRT Jakarta: Kabar Baik! Tarif Tetap Stabil Hingga 2026

Posted on

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menegaskan komitmennya untuk mempertahankan keterjangkauan transportasi publik bagi warganya. Keputusan penting telah diambil: tarif MRT Jakarta dan LRT Jakarta dipastikan tidak akan mengalami kenaikan hingga tahun 2026, sebuah kebijakan yang tetap dipertahankan meskipun daerah menghadapi penyusutan anggaran yang signifikan.

Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menjelaskan bahwa penetapan tarif saat ini bukan tanpa dasar. Keputusan ini lahir dari kajian mendalam yang mempertimbangkan kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk membayar (willingness to pay dan ability to pay) ongkos transportasi massal. “Dari sisi perhitungan kita, tidak ada kenaikan tarif MRT dan LRT. Berdasarkan kajian willingness to pay dan ability to pay pengguna, tarif yang berlaku saat ini masih sesuai dengan kemampuan masyarakat,” tegas Syafrin dalam acara Media Fellowship Program MRT Jakarta 2025 di Wisma Nusantara, Kamis (9/10).

Syafrin menambahkan, meskipun terjadi efisiensi pada anggaran subsidi transportasi, pemerintah tetap teguh menjaga tarif agar tidak membebani warga ibu kota. Ia memberikan gambaran, “Kalau dilihat dari perhitungan tahun lalu, angka keekonomian tarif MRT itu sekitar Rp 13 ribu, sementara tarif yang diberlakukan hanya Rp 7 ribu. Artinya, subsidi rata-rata per perjalanan mencapai sekitar Rp 6.000. Nilai ini masih dalam batas wajar dari sisi perhitungan kami,” ujarnya, menunjukkan bahwa dukungan finansial pemerintah memainkan peran krusial.

Melengkapi pernyataan tersebut, Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda), Tuhiyat, menyoroti strategi keberlanjutan operasional MRT yang tidak semata-mata bergantung pada kucuran dana dari pemerintah pusat, seperti Dana Bagi Hasil (DBH). Ia menekankan pendekatan non-farebox yang telah diupayakan sejak awal. “Ada DBH, tidak ada DBH, MRT Jakarta memang sejak awal kami upayakan non-farebox. Jadi begini, ada pendapatan dari penumpang atau tarif. Kalau ridership-nya naik, ditopang oleh PSO (Public Service Obligation),” jelas Tuhiyat. Ia juga menguraikan bahwa biaya keekonomian layanan MRT sesungguhnya mencapai sekitar Rp 32 ribu per penumpang, namun masyarakat hanya membayar Rp 14 ribu. “Artinya, ada sekitar Rp 18 ribu yang disubsidi pemerintah melalui PSO. Itu sudah cukup untuk menutup biaya layanan,” imbuhnya, menegaskan peran vital subsidi PSO dalam menopang operasional.

Keputusan untuk menahan tarif MRT dan LRT Jakarta ini menjadi semakin relevan mengingat kondisi keuangan daerah. Pemerintah pusat diketahui telah memangkas dana transfer ke daerah (TKD) untuk Jakarta secara signifikan, dari yang seharusnya Rp 26 triliun menjadi hanya Rp 11,15 triliun. Pemangkasan drastis ini berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, yang turun dari Rp 95,35 triliun menjadi Rp 79,06 triliun.

Dengan demikian, di tengah tantangan pemotongan anggaran dan upaya menjaga efisiensi, Pemprov DKI Jakarta tetap berkomitmen penuh untuk memastikan transportasi publik yang andal dan terjangkau, menegaskan prioritasnya pada kesejahteraan dan mobilitas warga ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *