Muhidin M Dahlan, pendekar kliping dan arsip dari Bantul – ‘Sejarah kita adalah sejarah otoritarianisme’

Posted on

Penguasa dinilai acap menggunting sejarah sesuai dengan versi mereka sehingga mengkliping berita produk jurnalistik merupakan jurus ampuh untuk melawannya, kata Muhidin M Dahlan, yang menyebut dirinya dokumentator partikuler. Dia telah mengarsip dan mengkliping ribuan surat kabar dan majalah.

Setumpuk buku berjudul Kabar Buruk Dari Langit, dan puluhan surat kabar lawasan, berada di atas meja panjang rumah Muhidin M. Dahlan (47).

Di antaranya ada majalah Fikiran Ra’jat (1933); koran Minggoe Merdeka (1947); majalah Api Kartini (1960); majalah Tempo (1971); majalah Forum (1993); dan buletin Suara Independen (1995).

“Ini di antara arsip surat kabar yang saya simpan,” kata Muhidin di rumahnya, Kamis (06/11/2025).

Arsip-arsip surat kabar itu, menurut Muhidin, menjadi bahan menulis dan membuat kronik sejarah di Indonesia.

Seperti buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara (2024). Dan buku berjudul Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia (2025).

“Itu sumbernya kliping berita semua. Saya tidak beropini,” kata Muhidin sambil menujuk buku Kronik Otoritarianisme Indonesia, yang dia terbitkan berkolaborasi dengan Zainal Arifin Mochtar.

Muhidin adalah seorang penulis dari Donggala Sulawesi Tengah, yang kini menetap di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ia relatif sangat produktif dalam menulis buku. Sejak 2000 sampai sekarang, lebih dari 30 buku telah dia terbitkan—sendiri atau berkolaborasi.

Kepindahannya ke Yogyakarta dimulai setelah lulus STM. Niatnya sangat kuat.

Baginya, Yogyakarta adalah Kota Pergerakan dan Kota Buku.

“Saya masuk Yogyakarta tahun 1996,” ujarnya kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Di Yogyakarta, Muhidin kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Yogyakarta, yang sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (IKIP). Dia mngambil jurusan Teknik Bangunan.

Selain kuliah, ia juga aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi.

Tapi di IKIP, Muhidin tidak menuntaskan studinya (1997–2000).

“Itu bukan tujuan saya, maka saya lepaskan,” akunya. “Tujuan saya itu mengenali buku, dari A sampai Z.”

Melepas IKIP, Muhidin mendaftar kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Sejarah Peradaban Islam.

Kuliahnya di kampus yang sekarang bernama UIN Sunan Kalijaga ini, pun bernasib sama dengan IKIP. Dia memilih keluar pada 2001.

Sejak itu, Muhidin mulai aktif menulis buku. Dan sekarang menasbihkan diri sebagai dokumentator partikuler—sebuah pekerjaan yang disebutnya sebagai panggilan jiwa.

Baca juga:

  • Fadli Zon klaim pemerkosaan dalam Kerusuhan Mei 98 ‘rumor’ dan ‘tak ada bukti’
  • Apa bukti Soeharto terlibat pembantaian massal 1965?
  • Penulisan ulang sejarah Indonesia – Rawan dijadikan alat legitimasi, meminggirkan perempuan dan sejarah Papua

Soal keuangan, misalnya, dia mengaku tak peduli. Ada atau tidak ada dana, Muhidin tetap melakoninya.

“Ini tugas sosial,” kata penulis buku Ideologi Saya adalah Pramis: Sosok, Pikiran, dan Tindakan Pramoedya Ananta Toer (2016) ini.

Melihat Pramoedya Ananta Toer setiap hari mengkliping berita

Pada 2003, Muhidin merasa niatnya ke Yogyakarta akhirnya menemukan jalannya. Dia bertemu penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer.

“Jalan yang saya dapatkan adalah, saya bertemu Pram, pertama kali di Jogja,” ujar penulis novel Adam Hawa yang terbit pada 2005.

Katanya, keluarga Pram menimangnya agar bergabung guna mendirikan penerbit buku Lentera Dipantara.

Titi, sapaan Astuti Ananta Toer, salah satu anak Pramoedya, yang mengajaknya mengelola penerbit buku tersebut.

Tugasnya tak enteng, menangani penerbitan ulang karya-karya Pram—sapaan karib Pramoedya—yang pernah diterbitkan Hasta Mitra. “Saya menangani redaksi sama Mbak Titi,” ungkapnya.

Saat itulah Muhidin mengenal Pram lebih dekat. Dia mengaku melihat bagaimana Pram mengarsip.

Dia melihat Pram setiap hari mengkliping berita, menggunting koran, mengelem, menempel, serta merapikannya.

“Gunting, tempel, rapikan. Itu saja kerjaannya setiap hari. Mengkliping,” ujarnya mengenang Pram.

Seperti diketahui, dari bahan-bahan kliping itulah, Pram melahirkan buku Kronik Revolusi Indonesia 1945–1949 sebanyak lima jilid.

Terbitkan buku ‘Seabad Kebangkitan Indonesia’ setebal 1,7 meter

Sepeninggal Pramoedya pada 2006 adalah titik tolak Muhidin melakukan aktifitas yang pernah Pram lakukan, yakni mengkliping.

Dia melanjutkan tradisi Pram yang dia juluki sebagai ‘pendekar gunting’.

“Setelah saya kumpulkan kliping-kliping kematian Pram. Ya sudah, start. Artinya melanjutkan Pram. Jadi estafet,” ungkapnya.

Di tahun yang sama, negara memberikan gelar pahlawan nasional kepada Tirto Adhi Soerjo (TAS), tapi tidak untuk Pram.

Menurut Muhidin, militer tidak setuju sang pendekar gunting yang telah membuka kotak pandora Tirto, menjadi pahlawan.

“Dari situ saya panggil semua para laskar-laskar muda, mari kita ke Jakarta,” ujar Muhidin mengenang proses awal membuat riset surat kabar dan kronik sejarah di bawah bendera Indonesia Boekoe.

Momentum TAS mendapat gelar pahlawan nasional, Muhidin merayakannya bersama timnya.

Dia mengkoordinir anak-anak muda menyusun buku yang bersumber dari kliping berita surat kabar yang terbit mulai tahun1907.

Pilihan dijatuhkan pada tahun 1907, karena pada tahun itulah Medan Prijaji—surat kabar milik TAS—mulai terbit.

Selama setahun (2006 – 2007), Muhidin dan timnya berkantor di Jakarta untuk mengerjakan buku tersebut.

Buku itu kemudian diterbitkan dengan judul Seabad Pers Kebangsaan 1907 – 2007.

“Kita menyeleksi sekitar 4.000 [judul] surat kabar yang terbit dari 1907,” ungkapnya.

Setelah itu, Muhidin melanjutkan membuat buku Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908 – 2008.

Demi menghormati Pram, Muhidin tidak mengerjakan kronik 1945–1949. Mereka memilih hanya mengerjakan dari periode 1908–1944, lalu melompat ke periode 1950–2008.

Kata Muhidin, buku Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia tebalnya mencapai 1,7 meter.

Buku tersebut hanya dicetak satu buah oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta pada 2008. “Untuk merayakan Kebangkitan Nasional,” ujarnya.

Usai menerbitkan buku itu, Muhidin memindahkan arsip surat kabar dan kliping ke tempatnya tinggal, yaitu di daerah Alun-alun Selatan, Yogyakarta.

Saking banyaknya arsip, Muhidin membutuhkan dua truk besar untuk membawanya. Proses pemindahannya itu dilakukan tengah malam lantaran kudu menutup jalan kampung.

Sekarang, arsip-arsip itu menjadi koleksi Warung Arsip dan disimpan di beberapa tempat.

Ada yang dititipkan di salah satu galeri seni, sebagian di rumah Muhidin, dan lainnya lagi disimpan di Magelang, Jawa Tengah.

Sebagian arsip itu telah dipindai dan menjadi arsip kliping digital. Publik bisa mengaksesnya melalui situs warungarsip.co.

Layaknya warung, publik bisa berbelanja buku atau arsip lain di situs tersebut.

“Dikelola Warung Arsip, sampai sekarang, di Yogyakarta,” kata Muhidin yang menjadi salah satu pendirinya.

‘Andai anak-anak remaja punya kebiasaan mengkliping…’

Selama bergelut di dunia buku dengan keluarga Pram, Muhidin sangat dekat dengan Pram dan keluarganya.

Muhidin mengetahui aktivitas Pram nyaris setiap hari. Mulai dari mengkliping, sampai kebiasaan Pram mencatat apa saja yang dijumpainya.

“Setiap hari Pram menulis di catatan harian,” kata Muhidin. “Dia menjadi jurnalis untuk dirinya sendiri.”

Suatu hari, kata Muhidin, Pram menjadi pembicara temu pengarang bersama anak-anak SMP di Bojongsari, Jawa Barat.

Di hadapan mereka, Pram bercerita tentang pentingnya membuat kliping berita, dan mengkritik lembaga pendidikan yang disebutnya tidak serius mengajarkan praktik mengkliping kepada murid-murid.

Peristiwa itu, Muhidin temukan dalam catatan harian Pram.

“Saya menemukan catatan itu [pentingnya kliping] ketika dia selesai memberikan workshop sama anak SMP di Bogor, di dekat Kecamatan Bojongsari,” ungkapnya.

Muhidin mengutip catatan harian Pram, dan menjadikannya mural di dinding tembok kantor Indonesia Boekoe di Sewon, Bantul, DIY.

Bunyi kutipannya seperti ini: “Andai anak-anak remaja itu punya kebiasaan mengkliping, pastilah mereka tak bisa dibohongi karena tahu masalah sampai ke akar-akarnya. Sayang sekali, pendidikan Indonesia tak pernah mendidik muridnya tekun menggali fakta.”

Catatan harian Pram itu, ditemukan Muhidin saat dia menulis untuk majalah Iboekoe edisi khusus Pram.

Dia mendapat izin keluarga Pram untuk membuka catatan harian dan menukil beberapa catatan.

Dan lahirlah tulisan Muhidin berjudul Si Pendekar Gunting Dari Bojong, (2006).

Karena tekun mengkliping berita-berita surat kabar, dan pernah membuat buku Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908 – 2008), Muhidin mengaku tidak bisa dibohongi kekuasaan apa pun—kekuasaan personal maupun institusi.

“Nah kata Pram, hanya orang yang mengkliping yang tidak mudah jatuh dalam dusta kekuasaan. Dusta institusi negara, yang memang banyak dustanya, terutama dalam sejarah. Apalagi sejarah kita adalah sejarah otoriteranisme,” jelas Muhidin.

“Saya membuktikan itu. Tidak bisa dibohongin oleh Prabowo,” Muhidin berkata serius.

Muhidin mencontohkan saat Menteri Kebudayaan yang juga Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, berujar bahwa Soeharto tidak terbukti melakukan genosida pasca 30 September 1965.

“Itu kan [kita] dianggap goblok. Dikiranya enggak ada yang mengkliping. Dikiranya itu semua orang tidak lagi menyimpan ingatan tentang itu,” nada suara Muhidin terdengar geram.

Muhidin lalu mengkritisi rencana pemerintahan Prabowo yang akan melakukan pencatatan ulang sejarah Indonesia. Dia juga menggarisbawahi pernyataan Fadli bahwa tidak ada tragedi perkosaan massal saat peristiwa Mei 1998.

Muhidin mengaku memiliki kliping berita bertarikh September 1998. Kliping itu memuat pengakuan negara tentang terjadinya pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.

Dalam kliping itu disebutkan bahwa negara, melalui pernyataan Menteri Kehakiman Muladi, mengaku adanya perkosaan massal yang dilakukan secara terorganisir.

Dari kliping-kliping itu pula, Muhidin menemukan pola yang sama dalam kasus penculikan aktivis politik pada 1997-1998.

Muhidin mengaku ada rekaman jurnalistik pada kasus pemerkosaan dan penculikan pada 1998. Muhidin menulis dan menerbitkannya dalam buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara (2024).

Pengaburan sejarah ini, menurut Muhidin, jika publik tidak mengkliping dan hanya mendengar saja, maka bisa dengan mudah goyah dan percaya pada narasi yang didengungkan kekuasaan negara.

“Nah kata Pram, kalau kamu mengkliping kamu tidak mungkin bisa terhipnosis, tersirep. Atau dalam bahasanya kasar sekali, dibohongi oleh kekuasaan,” tegasnya.

Muhidin pun tahu kalau bukti kliping yang dia sampaikan akan dibantah, karena hanya berdasarkan pada sumber kliping berita.

Dia memberi solusi, jika yang membantah adalah negara, Muhidin menantang supaya negara membuka arsip nasional dan arsip militer.

“Ayo buka arsip nasional, arsip tentara, dan arsip intelijen kalau mereka berani. Berani enggak?” tantang Muhidin.

“Membuka arsip Prabowo BAP-nya saja enggak mau,” imbuh Muhidin. Dia meyakini negara tidak akan berani membuka arsip kasus pemerkosaan dan penculikan aktivis pada 1998.

Dengan membuka arsip negara, lanjutnya, publik bisa tahu dan semuanya terbuka. Tidak ada yang disembunyikan. Kalau perlu, Muhidin menyarankan negara tidak hanya membuka tragedi 1998, tapi juga peristiwa 1965.

“Nah, itu kan lebih enteng, gitu kan. Ketahuan siapa membohongi. Tapi itu juga enggak dilakukan [negara], gitu,” ujarnya.

‘Bahas sejarah Indonesia, tanpa bahas revolusi cetak, itu cacat’

Banyak peristiwa sejarah penting di Indonesia, yang Muhidin peroleh dari hasil mengarsip dan mengkliping surat kabar.

Katanya, banyak peristiwa sejarah yang penting, dan tidak mungkin dia dapatkan dari teks resmi sejarah versi pemerintah.

Misalnya saja, Muhidin mengetahui bahwa 60% lebih anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah jurnalis. Ini tidak tercatat dalam sejarah resmi, katanya.

Muhidin juga menemukan banyak peristiwa bersejarah yang telah dihapus dalam sejarah versi pemerintah. Dia mencontohkan, siapa sebenarnya WR Supratman dan apa peran penting masyarakat Tionghoa dalam kemerdekaan Indonesia.

“Misalnya ketika melumpuhkan mereka ini [warga Tionghoa] di tahun 1951, lewat Razia Agustus. Penjara di Jawa itu penuh. Apakah itu ada dalam sejarah? Tidak ada, dihapus itu. Razia Agustus awalnya orang Kiri, tapi kemudian orang-orang Tionghoa disapu bersih. Kemudian melahirkan kebijakan Ali Baba,” jelasnya.

Dari semua kliping yang Muhidin miliki, dia yakin, untuk membahas sejarah Indonesia, harus melihat media yang berkembang saat itu. Alasannya, ruh sejarah Indonesia ada dalam surat kabar.

Hasil riset dan klipingnya menunjukkan, mayoritas kepala pergerakan adalah jurnalis, dan ide kemerdekaan juga lahir dari para jurnalis.

Muhidin menukil pernyataan seorang sejarawan (almarhum) Benedict Richard O’Gorman Anderson atau dikenal dengan sebutan Ben Anderson, bahwa sejarah Indonesia sebangun dengan revolusi cetak.

“Membahas sejarah Indonesia tanpa membahas revolusi cetak, itu cacat,” katanya.

Itulah alasan Muhidin menganggap bahwa kliping-kliping berita miliknya bisa menjadi sumber dan fakta sejarah yang terjadi di Indonesia. Jika klipingnya dirapatkan dari hari demi hari, bisa menjadi kronik sejarah yang penting, katanya.

“Enggak boleh diremehkan. Halah cuma media, cuma koran. Karya-karya mereka [jurnalis] sebagai sumber sejarah!” kata Muhidin, tegas.

Muhidin mencontohkan, buku Zaman Bergerak-nya Takashi Shiraishi, juga memakai sumber-sumber koran yang disusun sangat rapi menjadi sebuah disertasi.

“Jadi jangan hanya menolak, tapi pelajarilah sejarah pergerakan,” dia menekankan.

Muhidin sangat cermat dan teliti dalam mengkurasi kliping.

Ia hanya mengambil karya-karya jurnalis sebagai kliping. Bukan dokumen seperti sertifikat tanah, dan surat menyurat.

“Karena sukma sejarah Republik Indonesia ada di situ,” jelasnya.

Sejarawan: ‘Kliping berita surat kabar itu salah-satu sumber primer’

Peneliti yang juga pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah di FISIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Eka Ningtyas, menyebut apa yang dilakukan Muhidin dengan mengkliping berita surat kabar dan menjahitnya menjadi sebuah kronik peristiwa sejarah, secara akademik sah menjadi dasar kronik sejarah.

“[Kliping] itu bisa menjadi satu basis kuat untuk membuat kronik atau serial kejadian,” kata Eka merujuk kliping dalam buku Kronik Penculikan Aktivis 1998.

“Dan tentu saja bisa dikatakan sebagai salah satu sumber primer,” imbuhnya.

Apa yang dilakukan Muhidin sebagai dokumentator partikelir, menurut Eka, sangat bermanfaat bagi publik.

Terlebih untuk menjaga dan merawat ingatan, supaya tidak lupa pada peristiwa sejarah yang pernah terjadi, tambahnya.

Tapi Eka tak melihat itu saja. Kerja partikelir Muhidin disebutnya semacam “pembukuan sejarah publik” guna menangkal narasi sejarah penguasa yang berusaha menghilangkan suatu peristiwa.

Sebagai peneliti dan pengajar sejarah, Eka tahu bahwa setiap pemenang dan yang berkuasa, ingin membuat sejarah versi resminya sendiri.

Dan Eka melihat pemerintah yang berkuasa saat ini memiliki kecenderungan melakukan hal itu.

“Ada tendensi itu terjadi lagi sekarang,” kata Eka.

Dia berharap negara tidak memanipulasi sejarah, terutama soal kekerasan pada 1998.

Namun jika penguasa memang menghapus kasus pemerkosaan dan kekerasan pada tragedi Mei 1998 dalam historiografi Indonesia yang terbaru, menurut Eka, itu adalah kesalahan fatal.

Dan buku kronik yang ditulis Muhidin, bisa menjadi bukti yang sah bahwa peristiwa itu memang ada dan pernah terjadi.

“Buku ini [Kronik Penculikan Aktivis 1998] saya pikir sah, karena memang sudah dikurasi, dan secara kronologis sangat detail dari 1997 sampai 1998 ketika kekerasan itu terjadi,” papar Eka.

‘Demi melawan lupa, harus kerja kolektif’

Pekerjaan Muhidin tidaklah ringan. Tidak hanya gunting–tempel, tapi juga berpikir.

Menurut Muhidin, mengkliping adalah pekerjaan seni berpikir, yang pada akhirnya bagaimana cara mengelola data.

“Ini seni mengelola data sebenarnya,” katanya.

Dalam menggeluti dunia kliping, Muhidin mengidolakan tiga sosok.

Pertama, Pramoedya Ananta Toer yang tekun dan konsisten dalam membuat catatan harian dan mengkliping. Muhidin pun mengidentifikasi dirinya sebagai Pramis yang tekun mengkliping sampai sekarang.

“Di antara semua Pramis, saya yang paling bisa mengkliping,” akunya.

Hans Bague Jassin atau lebih dikenal dengan HB Jassin, seorang sastrawan dari Gorontalo, juga menjadi idolanya dalam hal mengkliping.

Menurut Muhidin, HB Jassin merupakan sosok unik dan aneh dalam hal mengkliping.

Cara membagi waktu dan kerja HB Jassin dalam mengkliping, bagi Muhidin sangat unik dan susah ditiru. Tengah malam, dari jam 12 sampai jam 6 pagi, HB Jassin mengkliping. Paginya mengajar di kampus UI.

Lalu pada sore hari, HB Jassin memutari daerah Senen untuk mencari buku, koran, dan bahan lain untuk dikliping. Magrib tidur. Dan jam 12 malam bangun untuk mengkliping. Begitulah rutinitas HB Jassin setiap harinya.

“Tidak akan mampu saya konsisten itu menirunya,” ujar Muhidin.

Sosok ketiga yang Muhidin idolakan dalam hal mengkliping dan mengumpulkan arisp adalah Pitut Suharto.

Seorang intelijen yang tekun mengkliping. Menurut Muhidin, Pitut mengkliping semua esai surat kabar yang terbit. Kliping yang dikumpulkan Pitut pernah diterbitkan sampai 21 jilid.

“Bayangkan bagaimana kerjanya Badan Intelijen menyusun 21 jilid, dari semua artikel-artikel penting yang pernah terbit sepanjang 1910, 1920, 1930,” jelasnya.

Dari sosok Pitut, Muhidin melihat bahwa negara juga tukang kliping.

“Kekuasaan bekerja dan butuh legitimasi sejarah. Nah itu lawannya.”

Melihat ketiga sosok pengkliping itu, Muhidin memilih melakukan kerja-kerja kliping secara kolektif. Dia tidak bisa sendirian, seperti Pram atau HB Jassin. Juga seperti Pitut yang memang dibiayai negara, punya modal dan teknologi.

Tapi dengan cara kolektif dan kesadaran bersama, Muhidin bisa melakukannya.

“Makanya [buku] Kronik Satu Abad itu bisa dikerjakan satu tahun. Kalau mengikuti seperti Pram atau HB Jassin, seumur hidup nggak bisa,” katanya.

“Saya tahu kelemahannya. Makanya pakai kolektif. Melawan Lupa itu harus kolektif. Kalau nggak itu matilah kita.”

Jurus pindai Muhidin

Di ruangan berukuran sekitar 3,5×3,5 meter, Muhidin mengeluarkan alat-alat yang biasa dia pakai untuk mengkliping. Laptop, pemindai atau scan, dan penggaris, semua dia letakkan di atas meja.

Dia lalu mengukur majalah-majalah di atas meja, dan memasukkan majalah yang telah diukur ke dalam alat pemindai.

Saat melakukan semua itu, Muhidin terlihat sangat terampil dan hafal apa yang harus dilakukan.

Tak perlu menunggu lama. Layar laptopnya memperlihatkan gambar majalah yang telah dipindai, dan langsung tersimpan dalam folder. Proses mengkliping secara digital sudah selesai.

Begitulah cara Muhidin mengkliping saat ini. Lebih praktis dan cepat. Berbeda dengan masa lalu yang menggunakan alat gunting, lem, dan kertas.

“Platformnya berubah,” kata Muhidin tentang cara mengkliping dan mengarsip di masa sekarang.

Dulu Muhidin mengkliping dengan cara menggunting koran, lalu menempel di kertas dan merapikannya. Persis seperti yang dilakukan Pram. Tapi lama-lama Muhidin kasihan dengan bagian-bagian lain yang tergunting. Seperti iklan-iklan yang dia gunting.

“Saya tidak tega membuang iklan,” katanya.

Baginya, iklan juga merupakan produk sejarah. Jadilah Muhidin tidak pernah membuang iklan-iklan yang ada dalam koran.

Semuanya dikumpulkan dan disimpan. Seperti iklan pager, HP, printer, obat nyamuk, dan lainnya. Nanti, 30 atau 50 tahun ke depan, iklan-iklan itu akan menjadi sejarah, ujar Muhidin.

Selain tak tega membuang sisa guntingan. Menggunting juga membutuhkan biaya mahal. Ia harus membeli dua surat kabar. Menggunting di halaman 1, maka halaman 2 ikut tergunting. Padahal halam 2 juga penting.

Jadi Muhidin merasa sangat beruntung karena saat ini sudah ada teknologi alat pemindai.

Ia tinggal menekan tombol lalu halaman sudah terpindai semua. Tak ada yang dibuang. Atau tinggal menggunakan kamera HP untuk mengambil gambar.

“Maka saya beruntung tidak seperti Pram, yang harus menggunting,” Muhidin berkata.

Jika dibandingkan generasi sekarang, teknologinya lebih canggih lagi. Menurut Muhidin, platformnya terus berubah, tapi yang tidak pernah berubah adalah ketekunan.

Di masa Pram, harus menggunakan gunting karena alat pindai atau untuk mendigitalisasi belum ada. Dan sekarang, alat pindai sudah ada, namun tidak semua juga bisa mengkliping.

“Tidak semua orang bisa mengkliping. Padahal teknologinya ada,” ujarnya.

Muhidin tahu, yang penting dari proses mengkliping adalah tujuan.

Tanpa tujuan, hanya akan jadi tukang dan membuang waktu.

Muhidin pun tidak mempersoalkan orang yang tidak mengakui, bahkan menolak kliping arsip berita-beritanya dapat menjadi sumber sejarah.

Baginya, mengkliping adalah sebuah seni berpikir dan tindakan politik. Juga untuk menghormati jurnalis yang telah bekerja mengumpulkan fakta di lapangan.

“Mau dianggap ini [kliping berita] bukan dokumen arsip autentik. Terserah. Ini pilihan ideologis. Dan ini adalah penghormatan kepada kaum jurnalis,” katanya, tegas.

‘Publik jangan mau dibohongi’

Menurut Muhidin, melihat realitas negara punya tukang kliping dan memiliki kepentingan legitimasi sejarah, dan tendensi sejarah adalah milik pemenang, maka publik harus punya benteng pengetahuan sendiri agar tidak mudah dibohongi.

“Massa harus punya benteng pengetahuan sendiri. Karena dia massa, maka dokumentasi massa itu ada media massa,” ujarnya.

Sebenarnya banyak orang yang telah mengenal tentang cara mengkliping. Paling tidak semasa sekolah dasar (SD), mereka pernah mendapat pengetahuan tentang itu. Tapi sedikit yang sampai sekarang masih menekuninya.

Maria Al-Zahra, mahasiswi semester akhir UIN Sunan Kalijaga, mengaku semasa SD pernah dikenalkan cara kliping oleh gurunya, lewat pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).

Waktu itu dia mendapat tugas dari gurunya untuk menggunting berita dan menempelkannya di kertas. Tapi seingatnya cuma sekali, setelah itu tidak ada lagi.

Begitu juga dengan Aqeela Jangkar Kemilauva, mahasiswi semester 3 UIN Sunan Kalijaga. Jangkar juga mengaku pernah dikenalkan praktik kliping saat SD, oleh guru Bahasa Indonesia. Setelah itu pun Jangkar tidak pernah mengkliping lagi.

Jangkar dan Maria mengkliping lagi setelah kuliah.

Mereka berdua yang sama-sama aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena UIN Sunan Kalijaga, mengarsip berita surat kabar 1975 – 2025, dan mengumpukan esai seorang tokoh dari 1980–1987.

Mereka pun mengerjakannya secara kolektif. Selain mencari koran dan arsip di tempat jual-beli buku dan koran bekas, mereka juga berburu di perpustakan Jogja Library Center (JLC)—sebuah perputakaan yang memang menyimpan ribuan arsip surat kabar lawasan.

Menurut Maria, saat dia mengarsip berita mulai 1975–2025, menemukan banyak informasi yang tidak mungkin dia temukan tanpa mengkliping.

Seperti model pembiayaan kampus; intimidasi kampus yang terjadi di kampus; hingga kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah kampus.

“Jadi ngerasa menyesal, kok gak [mengkliping] dari dulu saja. Kenapa baru sekarang dan di akhir perkuliahan,” kata Maria, menyesal.

Sementara Jangkar, yang mencari essai seorang tokoh sejak 1980–1987, menyadari bahwa proses mengkliping dulu dan sekarang sudah berbeda. Dulu harus dipotong dengan gunting, tapi sekarang bisa dengan foto HP.

Dari proses itu, mereka sadar bahwa mengkliping akan lebih mudah dan ringan jika dikerjakan secara kolektif.

Mereka juga tahu, kliping berita bisa menjadi dasar argumen dan bukti bahwa pernah terjadi peristiwa di masa lalu.

“Setidaknya itu menjadi penguat argumen kita,” kata Jangkar.

Generasi sekarang, kata Jangkar, sebenarnya sudah banyak melakukan praktik kliping, hanya beda platform saja.

Misalnya dengen membuat cut-out posting sesuatu di media sosial.

“Jadi tinggal mengubah kontennya dengan berita-berita surat kabar,” katanya.

Platform mungkin telah berubah. Dahulu Pram mengkliping dengan menggunakan gunting, kini Muhidin menggunakan alat pindai.

Namun mereka punya satu tujuan, yaitu membentengi diri dan tidak bisa dibohongi kekuasaan.

Muhidin berujar, dalam kultur otoritarianisme, ada yang suka menggunting sejarah.

Mengkliping salah satu metode klasik membentengi diri. Dan itu sangat ampuh, katanya.

“Karena tingkat akhir dari mengkliping adalah berpikir rasional, dan berpijak pada realitas. Maka, mengklipinglah,” tandas Muhidin.

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan liputan ini dan menuliskannya untuk BBC News Indonesia.

  • ‘Saya suka Pram karena lambangkan perlawanan’ – Pramoedya Ananta Toer di mata Gen Z, Gen Milenial dan Gen X
  • Satu abad Pramoedya Ananta Toer: ‘Meneguhkan dan tidak membuat FOMO’
  • Mengenal Pramudya Ananta Toer lebih dekat lewat catatan dan surat-surat
  • Kerusuhan Mei 1998: “Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?”
  • Perkosaan Mei 1998 ‘tak pernah terungkap, tak pernah dituntaskan’
  • Tragedi Mei 1998 : Kenangan dua ibu yang kehilangan anaknya
  • ‘Saya suka Pram karena lambangkan perlawanan’ – Pramoedya Ananta Toer di mata Gen Z, Gen Milenial dan Gen X
  • Dulu dilarang Orde Baru, novel ‘Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer kini masuk kurikulum sekolah – Mengapa siswa direkomendasi membaca sejumlah karya sastra terpilih?
  • Satu abad Pramoedya Ananta Toer: ‘Meneguhkan dan tidak membuat FOMO’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *