Naik Drastis! Protes Pajak Bumi dan Bangunan Menyebar Luas

Posted on

Gelombang protes terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) kini tidak hanya berpusat di Pati, Jawa Tengah, melainkan telah merembet ke berbagai daerah lain di Indonesia. Kenaikan pajak ini, yang dinilai memberatkan masyarakat, disebut oleh sejumlah ekonom sebagai dampak langsung dari pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat dalam rangka kebijakan efisiensi. Namun, bantahan keras datang dari Menteri Sekretariat Negara, Prasetyo Hadi, yang menampik klaim tersebut.

Gelombang penolakan terhadap PBB-P2 memang semakin meluas setelah gejolak awal di Pati. Pemerintah daerah beralasan bahwa kenaikan pajak ini adalah upaya untuk mencari pendapatan baru, utamanya melalui penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Beberapa pemda bahkan berdalih bahwa penyesuaian NJOP sudah sangat mendesak, mengingat nilai tersebut tak pernah diperbarui selama lebih dari satu dekade. Perlu dipahami, besaran NJOP sangat dipengaruhi oleh lokasi, zonasi, kondisi lingkungan, hingga aksesibilitas, sehingga nilai pajak properti di area padat penduduk tentu berbeda dengan di pusat kota.

Berikut adalah daftar daerah yang bergejolak menolak kenaikan pajak tersebut:

  • Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan

Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 telah pecah. Mahasiswa berdemo di depan kantor Bupati dan DPRD pada Kamis (14/08), melaporkan kenaikan pajak yang mencengangkan, mencapai 200% bahkan 300%. Ketua cabang PMII Bone, Zulkifli, menegaskan komitmen mereka untuk terus berjuang hingga kebijakan ini dicabut, mengingat aksi sebelumnya pada Selasa (12/08) sempat diwarnai kericuhan. Kecemasan juga dirasakan warga. Fajar, misalnya, mengkhawatirkan PBB-P2 untuk tanah dan bangunan seluas 75 meter perseginya akan melonjak dari Rp27.000 menjadi Rp100.000. Ia bahkan siap bergabung dengan gelombang protes masyarakat jika Pemda Bone tak meninjau ulang kebijakan ini. Pengalaman serupa dialami Suriani, seorang ibu rumah tangga yang terkejut melihat tagihan PBB-P2 untuk tanah seluas satu hektarenya melambung tiga kali lipat, dari Rp100.000 menjadi Rp300.000 tanpa pemberitahuan sebelumnya. Menanggapi protes ini, Kepala Dinas Kominfo Bone, Anwar, mengklarifikasi bahwa kenaikan pajak PBB-P2 yang terjadi hanya sekitar 65%, bukan 300%, dengan target pendapatan PBB-P2 dari Rp30 miliar di 2024 menjadi Rp50 miliar di 2025. Pemkab Bone berdalih bahwa zona nilai properti belum diperbarui selama 14 tahun, dan kenaikan terutama terjadi di area perkotaan serta poros jalan.

  • Kota Cirebon, Jawa Barat

Situasi serupa terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat, di mana Paguyuban Pelangi Cirebon telah aktif menolak kenaikan PBB-P2 sejak awal 2024. Mereka telah menempuh berbagai jalur, mulai dari rapat dengar pendapat dengan parlemen, demonstrasi di jalanan, mengajukan judicial review, hingga melapor langsung ke Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Dalam Negeri, namun tanpa hasil yang memuaskan. Juru bicara paguyuban, Hetta Mahendrati, mengungkapkan bahwa kenaikan pajak di Cirebon sangat drastis, berkisar antara 150% hingga 1.000%. Salah satu anggota, Darma Suryapratana, mengalami lonjakan tagihan PBB-P2 dari Rp6,2 juta pada 2023 menjadi Rp65 juta di 2024, sebuah kenaikan 1.000% yang sangat memberatkan, meskipun ia akhirnya membayar Rp18 juta setelah mendapat diskon. Paguyuban ini menuntut agar besaran PBB-P2 dikembalikan seperti tahun 2023. Mengikuti jejak Pati, Paguyuban Masyarakat Cirebon (Pamaci) berencana menggelar aksi besar pada 11 September, diawali dengan pembukaan “posko partisipasi” untuk menggalang dukungan masyarakat. Walikota Cirebon, Effendi Edo, membantah kenaikan PBB-P2 mencapai 1.000% dan berjanji akan mengkaji ulang kebijakan tersebut. Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, membenarkan adanya lonjakan yang signifikan pada PBB-P2 2024, mengaitkannya dengan penyesuaian NJOP yang tidak diperbarui selama 12 tahun, dan menyatakan akan merevisi aturan dengan menurunkan tarif dasar.

  • Jombang, Jawa Timur

Di Jombang, Jawa Timur, Bupati Warsubi turut menjadi sasaran keluhan atas kenaikan PBB-P2. Ia berdalih bahwa kebijakan yang berlaku pada 2024 ini merupakan warisan dari bupati sebelumnya, bukan keputusannya. “Kami tidak pernah menaikkan pajak. Kami hanya menjalankan apa yang sudah dijalankan di tahun 2024, kami kan belum menjabat,” jelasnya. Kendati demikian, Pemkab Jombang berjanji akan membentuk tim khusus untuk menangani keberatan wajib pajak, menyusul pengakuan warga yang terkejut melihat tagihan pajak mereka melambung hingga 700% bahkan 1.200%.

  • Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Berbeda dengan daerah lain, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, menunjukkan respons positif. Bupati Ngesti Nugraha telah membatalkan kenaikan NJOP yang berdampak pada PBB-P2. Keputusan ini diambil setelah menerima surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum menetapkan atau menaikkan tarif pajak. Bagi wajib pajak yang sudah terlanjur membayar, Bupati Ngesti memastikan kelebihan pembayaran akan dikembalikan sesuai mekanisme yang berlaku. Sebelumnya, warga Kabupaten Semarang juga sempat dibuat terkejut oleh kenaikan PBB-P2 hingga 400%.

Mengapa Kenaikan PBB-P2 Terkesan Serentak?

Lantas, mengapa kenaikan PBB-P2 ini terkesan serentak di berbagai daerah? Para pakar menduga kuat hal ini berkaitan dengan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Herman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menjelaskan bahwa ketika TKD berkurang, cara termudah bagi pemerintah daerah untuk menutup defisit adalah dengan menaikkan pajak. Pada tahun ini, pemerintah pusat memang menerapkan kebijakan efisiensi anggaran besar-besaran, termasuk memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun. Pemotongan ini diklaim untuk mendukung program-program “berdampak langsung pada masyarakat” seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, serta perbaikan sektor kesehatan. Namun, Herman menyoroti bahwa ketergantungan pemda pada TKD, khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik untuk infrastruktur, membuat belanja modal di daerah terganggu. Ia juga menyesalkan kurangnya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam perumusan kebijakan efisiensi anggaran ini.

Apakah Ada Opsi Selain Menaikkan Pajak?

Lalu, adakah opsi lain bagi pemerintah daerah selain menaikkan pajak di tengah tekanan fiskal ini? Herman Suparman menegaskan “ada”. Pertama, ia menyoroti sistem pemungutan pajak yang masih terkesan kuno dan birokratis. Optimalisasi sistem digital dapat mempermudah pembayaran dan mengurangi potensi kehilangan pendapatan. Kedua, perbaikan basis data wajib pajak menjadi krusial untuk meningkatkan efektivitas penagihan. Di samping itu, pemda juga dapat mengoptimalkan aset-aset daerah, meningkatkan kinerja BUMD, menjalin kerja sama dengan pihak lain, atau bahkan mengajukan pinjaman dari bank pembangunan daerah jika memang terdesak. Herman juga menekankan pentingnya mendorong peningkatan investasi di daerah, yang pada akhirnya akan memperbesar potensi penerimaan daerah secara berkelanjutan.

Apa yang Melatarbelakangi Kenaikan PBB-P2?

Di balik kenaikan PBB-P2 yang memicu gejolak, Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky menilai ini sebagai “konfirmasi bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja”. Baginya, ini adalah sinyal peringatan bagi pemerintahan mendatang, mengingat anggaran negara berada dalam tekanan. Yanuar menjelaskan, di balik alasan efisiensi anggaran untuk program prioritas seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan swasembada, tersimpan beban utang jatuh tempo pemerintah yang mencapai Rp2.827 triliun untuk periode 2025-2027, yang secara langsung meningkatkan belanja rutin pemerintah pusat. Tekanan fiskal ini juga diperkuat oleh indikasi menurunnya daya beli masyarakat, ditandai deflasi selama 25 tahun terakhir, serta gelombang PHK di sektor manufaktur dan perhotelan. Meskipun Badan Pusat Statistik mengklaim pertumbuhan ekonomi 5,12% pada April-Juni, Yanuar meragukan angka tersebut karena tidak sejalan dengan realitas yang ada. “Intinya masyarakat lagi susah,” tegasnya, menyerukan agar pemerintah bersikap jujur dan tidak menyangkal kondisi ekonomi yang sebenarnya. Kekhawatiran akan meluasnya kericuhan seperti di Pati juga ia sampaikan, mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengevaluasi kembali makna dan implementasi efisiensi anggaran. Yanuar mengkritik kebijakan yang dianggap “penting tapi tidak genting”, seperti mempertahankan kabinet besar dan penambahan markas Kodam baru, yang seharusnya bisa disesuaikan demi penghematan. Namun, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, tetap membantah bahwa kenaikan PBB-P2 disebabkan oleh kurangnya alokasi anggaran dari pemerintah pusat, menegaskan bahwa ini murni kebijakan masing-masing pemerintah daerah yang berbeda-beda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *