Sembilan pekerja bank swasta menggugat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan pajak pensiun dan pesangon, yang dianggap sebagai beban berat di masa senja. Uang pensiun, bagi mereka, adalah tumpuan hidup saat fisik renta, pikiran tak lagi tajam, dan kemampuan bekerja sudah sirna. Namun, bayangan potongan pajak menggerogoti rasa aman di hari tua. Akankah gugatan mereka membuahkan hasil?
Gusar Menatap Masa Pensiun
Lyan Widiya, salah satu penggugat, sudah jauh-jauh hari merencanakan masa pensiunnya. Ia memperkirakan, tabungan hari tuanya yang mencapai Rp500 juta akan digunakan untuk membiayai kuliah anak bungsunya dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Anak saya yang nomor tiga umurnya masih 3 tahun 8 bulan. Dia masih butuh sekolah dan lain sebagainya,” ujar ayah tiga anak ini.
Namun, kekhawatiran mulai menghantuinya akibat pemberlakuan pajak pensiun sebesar 25%. Jika dipotong pajak, uang pensiunnya hanya tersisa Rp375 juta. Jumlah ini, menurutnya, tidak akan cukup untuk menghidupi keluarga selama lima tahun setelah pensiun, apalagi untuk biaya kuliah si bungsu.
“Potongan itu sangat besar. Padahal uang itu yang saya harapkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak saya yang terakhir. Sebab saya sudah tidak produktif lagi untuk mendapatkan pekerjaan,” keluhnya.
Pria yang sudah hampir 15 tahun bekerja di sebuah bank swasta ini, memiliki usia pensiun 55 tahun. Artinya, masa produktifnya tinggal 15 tahun lagi. Lyan dan keluarganya tinggal terpisah. Istri dan anak-anaknya menetap di Surabaya, sementara ia bekerja dan ngekos di Kuningan, Jakarta Selatan. Ia sengaja tidak memboyong keluarganya ke Jakarta karena biaya hidup yang lebih tinggi. Oleh karena itu, ia hanya bisa pulang ke rumah setiap dua bulan sekali.
Kegelisahan serupa ternyata juga dirasakan oleh rekan-rekan kerjanya. Mereka dihantui bayang-bayang masa pensiun yang tak berdaya, keresahan yang berubah menjadi ketakutan akan masa depan yang tak pasti.
Berangkat dari keresahan inilah, Lyan dan delapan pekerja bank swasta lainnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 10 Oktober 2025. Mereka menggugat Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 17 UU PPH juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pasal 4 ayat 1 UU Pajak Penghasilan menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun. Sedangkan Pasal 17 mengatur penerapan tarif progresif atas pesangon dan pensiun.
Intinya, ketentuan ini menyamakan pesangon dan pensiun dengan penghasilan baru yang diperoleh dari aktivitas ekonomi, seolah-olah para pekerja masih dalam kondisi kuat dan produktif. Padahal, mereka adalah kelompok rentan yang telah kehilangan kekuatan fisik, mental, dan akses ekonomi.
Menurut Lyan dan para pemohon, pesangon dan pensiun adalah hak normatif atau hasil jerih payah pekerja yang dikumpulkan selama puluhan tahun bekerja.
“Uang itu kan kita kumpulkan setiap bulan yang dipotong dari gaji setiap bulan sampai pensiun berpuluh-puluh tahun, kenapa negara sampai tega memotong pajak juga?” tanyanya dengan nada miris.
Dengan gugatan ini, mereka berharap hakim MK mengabulkan permohonan agar pemerintah tidak mengenakan pajak pensiun maupun pesangon kepada seluruh pekerja, baik swasta maupun pemerintah. Setidaknya, uang ‘tabungan terakhir’ itu bisa diterima utuh.
“Bagi kami, uang pensiun dan pesangon adalah harapan terakhir atau harapan satu-satunya buat bertahan hidup selama tidak mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya penuh harap. “Kami harus survive sampai ajal menjemput. Untuk bertahan hidup, kami butuh uang.”
Mengapa Pesangon dan Uang Pensiun Kena Pajak?
Pajak atas pesangon dan uang pensiun diatur dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 5 UU Pajak Penghasilan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009.
Menurut akademisi dan praktisi perpajakan, Prianto Budi Saptono, pengenaan pajak untuk keduanya bersifat final. Artinya, pegawai yang sudah membayar pajak penghasilan atas pesangon atau uang manfaat pensiun yang dibayarkan sekaligus tidak perlu lagi memasukkan penghasilan tersebut ke dalam perhitungan PPh tahunannya.
Berdasarkan UU yang berlaku, ”uang pesangon dan uang pensiun merupakan penghasilan karena bisa digunakan penerima penghasilan untuk menambah konsumsi dan/atau menambah harta.”
Dari sisi pekerja, iuran pensiun memang belum dianggap sebagai penghasilan, sehingga belum ada pemotongan pajak.
”Pemotongan pajak baru dilakukan ketika ada pembayaran manfaat pensiun bagi pekerja yang pensiun,” jelas Prianto kepada BBC News Indonesia.
”Hal yang sama terjadi untuk pesangon. Pembayaran iuran Jaminan Hari Tua (JHT) oleh pemberi kerja dan atas nama pekerja ke Jamsostek belum menjadi penghasilan. Makanya, pembayaran iuran JHT tersebut belum dikenai pajak.”
”PPh atas pesangon berupa klaim JHT baru muncul pada saat klaim tersebut dibayarkan.”
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar. Ia mengatakan bahwa iuran pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja tidak dikenai pajak. Konsekuensinya, ketika pekerja mendapatkan uang pensiun nanti, barulah dikenakan pajak.
Pesangon, di sisi lain, adalah kompensasi ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tidak sukarela. Besaran pesangon diberikan berdasarkan masa kerja dan besaran gaji.
Artinya, perusahaan membayarkan gaji bagi yang terkena PHK dalam beberapa bulan ke depan sebagai bentuk kompensasi atau bantalan sosial. Oleh karena itu, saat mendapatkan pesangon, pekerja harus membayar pajaknya.
”Jadi, atas kedua penghasilan tersebut, tidak ada pengenaan pajak lebih dari sekali. Bagaimana di negara lain? Sepengetahuan saya, perlakuannya sama.”
”Lalu soal tarif pesangon bergantung besaran yang didapatkan, menggunakan tarif progresif. Pesangon kurang dari Rp50 juta, tidak kena pajak sama sekali. Bahkan tarif untuk pesangon lebih rendah dibandingkan tarif pajak ketika mendapatkan gaji atau upah,” bebernya.
Perlakuan Pajak yang Tidak Adil
Namun, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako, melihat dari sudut pandang yang berbeda. Ia memahami kegundahan para pekerja swasta atas pemotongan pajak pesangon dan pensiun.
Menurutnya, UU sudah menyatakan pesangon dan uang pensiun termasuk penghasilan yang akan diterimanya kembali, kala tak lagi bekerja. Namun, ada perlakuan yang berbeda antara pekerja swasta dengan aparatur sipil negara (ASN).
”ASN/TNI/Polri bahkan pejabat negara itu pajaknya tetap dibayarkan, tapi ditanggung oleh negara,” ucapnya.
”Jelas ini bentuk ketidakadilan,” sambungnya. ”Kalau ASN [pajak] pensiunnya ditanggung negara, kenapa pekerja swasta tidak?”
Pertanyaan tentang ketidakadilan inilah, menurutnya, yang harus menjadi dasar bagi Lyan dan rekan-rekannya ketika menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana Pasal 28D UUD 1945 menyatakan setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, mengapa hanya aparatur sipil negara yang diberikan keistimewaan oleh negara.
Dengan demikian, para pemohon bisa menuntut agar mereka diberikan hak yang sama: negara turut menanggung pajak pekerja swasta.
”Sama-sama makan nasi kok, cuma beda pekerjaan doang, seharusnya aturan dibuat sama,” imbuhnya.
”Namun, semestinya bukan minta agar pemerintah tidak mengenakan pajak. Justru minta kesetaraan.”
Ia juga menilai pemerintah tidak akan dirugikan jika harus menanggung pajak pesangon dan pensiun pekerja swasta. Menurutnya, itu hanya masalah pembukuan dan tarifnya tidak sebesar pajak penghasilan ketika memotong upah pekerja.
”Kan, UU itu dibuat oleh pemerintah DPR, mereka [buat aturan] untuk kepentingan mereka. Ini saatnya menuntut keadilan.”
Apa Kata Menkeu Purbaya?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi gugatan tentang aturan pajak penghasilan atas pesangon dan dana pensiun yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Ia menyatakan tidak merasa khawatir dan yakin akan memenangkan perkara tersebut.
”Gugatnya ke kita bukan? Saya belum tahu. Ke kita bukan?” ujar Purbaya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta Selatan, Selasa (14/10).
Meskipun belum mengetahui secara rinci isi gugatan, Purbaya menegaskan bahwa Kementerian Keuangan memiliki dasar hukum yang kuat dalam menetapkan aturan pajak tersebut.
”Kalau kita jangan sampai kalah. Saya enggak pernah kalah kalau digugat di pengadilan,” katanya.
* Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah, mana yang lebih realistis?
* Kakeibo: Metode kuno mengelola keuangan ala Jepang
* Indonesia alami deflasi tahunan lagi setelah 25 tahun – Mengapa pakar menyebutnya ‘semu’ dan ‘daya beli masyarakat’ justru turun?
* PPN 12% dan tax amnesty akan diberlakukan 2025 – Pajak orang kaya diampuni, ‘kelas pekerja dibikin menderita’
* BPJS Kesehatan terancam tekor Rp20 triliun dan gagal bayar klaim, kenaikan iuran jadi ‘keniscayaan’
* Siapa 10 keluarga terkaya di dunia dan dari mana sumber uang mereka?
* Rupiah dan IHSG anjlok mendekati level terendah – ‘Ruang fiskal Indonesia compang-camping dan rentan tergelincir krisis’
* Apakah membeli emas bijak dilakukan di tengah ketidakpastian ekonomi?
* ‘Saya kecewa, kok enggak bisa ditolong’ – Pasien DBD ditolak RS karena ‘tidak gawat’ dan tak ditanggung BPJS Kesehatan
* PPATK buka 28 juta ‘rekening menganggur’ yang sempat mereka blokir, kebijakan terbukti bermasalah sejak awal?
* China tawarkan subsidi Rp24 juta agar warganya punya anak, bisakah cara ini tingkatkan angka kelahiran?
* Apa yang ingin dicapai pemerintah dengan memajaki penjual di lapak online?