Pembangunan industri di pesisir utara Jawa yang ambisius menjanjikan investasi puluhan triliun rupiah dan membuka lapangan kerja bagi puluhan ribu orang. Namun, alih-alih kesejahteraan ekonomi, yang dirasakan masyarakat adalah bencana rob yang semakin parah, kerusakan ekosistem pesisir yang tak terkendali, dan kehilangan tempat tinggal.
Seharusnya, kawasan tata ruang pesisir utara Jawa dilindungi dan dilestarikan. Namun, kenyataannya, lahan-lahan tersebut dialihfungsikan demi kepentingan pembangunan, dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi.
Ironisnya, alih-alih mendatangkan kemajuan ekonomi, yang terjadi justru serangkaian bencana: banjir rob yang semakin sering dan dahsyat, kerusakan lingkungan pesisir yang mengkhawatirkan, dan penggusuran yang memaksa masyarakat setempat kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal.
Pakar hukum lingkungan dari UGM menyebutkan, atas nama “kepentingan umum”, telah terjadi praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha yang pada akhirnya merugikan rakyat kecil.
Liputan ini adalah bagian kedua dari seri investigasi mendalam yang mengungkap apa yang disebut sebagai “ekosida”—perusakan lingkungan yang terstruktur, masif, dan sistematis—di wilayah Pantura.
Dalam liputan kali ini, kami menyoroti bagaimana kebijakan ekspansi industri hanya menguntungkan segelintir oligarki melalui siasat regulasi, sementara masyarakat sekitar dan lingkungan hidup menanggung kerugiannya.
Seri liputan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Pulitzer Center.
Ruang Hidup Tergusur, Alam Rusak Tak Terukur
Di Bale Gede Lumpur, Gresik, Jawa Timur, pada pertengahan Juli lalu, tampak sekelompok nelayan berkumpul, menikmati kopi sambil berbagi cerita. Namun, pemandangan itu kini tinggal kenangan. Sebagian besar dari mereka tak lagi minyang—istilah setempat untuk mencari ikan di laut. Mereka terpaksa beralih profesi menjadi pengemudi ojek online (ojol) demi menyambung hidup.
Beberapa nelayan mengaku sudah tiga tahun meninggalkan laut, sementara yang lain baru setahun terakhir berganti pekerjaan. Apa yang memaksa mereka meninggalkan profesi yang sudah dijalani turun temurun? Jawabannya adalah dua masalah utama: ruang tangkap yang semakin sempit dan hasil tangkapan yang tak lagi sebanding dengan biaya melaut.
Isharul Munir, seorang nelayan sekaligus pelestari mangrove, membenarkan krisis yang melanda komunitasnya. Ia mengungkapkan bahwa jumlah nelayan di pesisir Manyar, Gresik, terus menurun dari tahun ke tahun.
Pria berusia 47 tahun ini sudah akrab dengan laut sejak kecil. Meski baru menjadi nelayan penuh waktu setelah lulus SMA, ia sudah menemani ayahnya mencari ikan sejak masih duduk di kelas 3 SD. Isharul mengenang, saat ayahnya masih melaut, ada lebih dari 100 nelayan di desanya. Namun, jumlah itu terus menyusut dari waktu ke waktu.
“Jumlah nelayan di sini terus menurun, sekarang tersisa 30-an orang,” ungkap Isharul dengan nada sedih.
Menurut Isharul, penyebab utama krisis ini adalah maraknya reklamasi, pengurukan, dan pembangunan industri di kawasan pesisir Gresik. Aktivitas-aktivitas ini menyebabkan daerah tangkapan ikan (fishing ground) menyempit. Bahkan, jalur-jalur yang biasa dilewati ikan pun ikut berubah.
Situasi semakin sulit bagi para nelayan ketika pembangunan kawasan industri seluas 2.167 hektare, yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) Gresik, dimulai sekitar tahun 2016.
“Lebih parah lagi karena JIIPE juga melakukan reklamasi,” kata Isharul, menambahkan bahwa laju reklamasi di pesisir Gresik, khususnya di Kecamatan Manyar, sangat pesat.
Isharul merasa ruang geraknya untuk mencari ikan semakin terbatas. Dengan perahu kecilnya, ia tak mungkin berlayar jauh hingga ke Laut Jawa karena risikonya terlalu besar.
“Kita ini nelayan kecil. Kalau dipaksa keluar zona pantai dan sungai, dan harus ke laut Jawa, ya sama saja bunuh diri. Tapi, sebagai masyarakat kecil, ya tetap tertindas. Kalah,” keluhnya.
Akibatnya, hasil tangkapan ikan nelayan Gresik kini sangat berbeda dibandingkan masa lalu. Isharul mengenang masa kejayaan saat bisa mendapatkan 100 kg ikan Blanak sekali melaut. Sekarang, hasil rata-rata mereka seringkali tak sampai 10 kg, dan mencapai 15 kg saja sudah sangat sulit.
Dahulu, hasil yang melimpah—walaupun harga ikan murah—masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, kini situasinya berubah drastis. Meskipun harga jual ikan sekarang lumayan tinggi, penghasilan nelayan tetap merosot karena hasil tangkapannya sangat sedikit.
“Sekarang [pendapatan per hari] Rp100.000, dan itu dipakai belanja ke pasar saja tidak cukup,” keluhnya, seraya menambahkan bahwa penghasilannya dulu bisa mencapai Rp600.000 per hari.
Kisah serupa juga dialami oleh para nelayan di pesisir Batang, Jawa Tengah—berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Gresik. Abdul Hamid, 67 tahun, mengaku bahwa pembangunan industri di kawasan pesisir berdampak besar pada kehidupan nelayan di kampungnya. Lalu lalang kapal-kapal besar membuat ia dan nelayan lainnya merasa was-was.
Kampung nelayan Celong terletak di antara dua proyek besar: Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang dan KEK Industropolis Batang. Area tangkap nelayan semakin sempit, memaksa Hamid hanya bisa melaut tak jauh ke utara karena keterbatasan bahan bakar.
Arah lain terhalang. Jika ke barat, ia berisiko tertabrak kapal PLTU Batang. Sementara itu, ke timur, ia terhalang pembangunan pelabuhan KEK Industopolis Batang.
Hamid bercerita, pada malam hari, banyak kapal besar dan kapal tongkang berlalu lalang. Tak jarang, batu bara yang dibawa kapal jatuh ke laut dan merusak jaring nelayan.
“Itu kalau malam kapal tongkang banyak, bersamaan dengan nelayan. Jadi kan takut nelayannya,” kata Hamid.
“Takut tertabrak,” imbuhnya.
“Kapal nelayan kan kecil. Takutlah sama kapal besar. Bahkan, dulu pernah ada orang sini ditabrak tongkang,” ujar Hamid.
Sisi timur Celong saat ini masih aman karena proyek pelabuhan baru dalam tahap pembangunan. Belum ada lalu lintas kapal besar seperti di sisi barat. Namun, Hamid khawatir situasinya akan segera berubah. Ia yakin, setelah pelabuhan beroperasi, banyaknya kapal besar akan semakin mengganggu aktivitas nelayan.
“Ya, takut juga kalau di sana sudah beroperasi,” kata Hamid sambil menunjuk ke arah pelabuhan KEK Industropolis Batang yang sedang dibangun.
Ikan bagas, ikan kembung, dan udang yang dulu melimpah—bahkan Hamid pernah mendapat 80 kg udang—kini semakin jarang atau bahkan tidak ada sama sekali. Hasil tangkapan Hamid memang berkurang drastis. Namun, ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Ia menduga, suhu laut yang terlalu panas membuat ikan-ikan menjauh.
“Biasanya tidak sepanas ini, masih ada angin dari hutan atas sana,” kata Hamid, sambil menunjuk ke arah selatan musala.
Dulu, banyak sekali pohon-pohon besar berdaun rimbun yang tumbuh di sekitar perkampungan, termasuk hutan di atas Celong sebelah selatan. Hutan itu layaknya kanopi bagi penduduk sekitar.
Panas terik yang dirasakan Hamid setiap hari adalah salah satu dampak hilangnya hutan di sekitar kampungnya. Ia akhirnya terbiasa dengan kondisi ini, meskipun sangat tidak nyaman.
Pada suatu hari di tahun 2021, Hamid mengalami kejadian tak terduga yang belum pernah dialaminya selama tinggal di Celong.
“Banjir bandang sampai masuk musala,” kata Hamid.
Hamid ingat, banjir bandang itu terjadi saat ia menjadi panitia zakat fitrah di musala pada tahun 2021. Sebelumnya, tak pernah ada banjir bandang. Namun, semenjak hutan di atas kampungnya hilang, banjir bandang kerap menerjang Celong yang berada di dataran rendah.
“Rumah saya juga kemasukan air, warnanya cokelat kemerahan,” ujar Hamid seraya menuding rumahnya yang hanya berjarak sepelemparan batu dari musala.
Rekaman video banjir bandang yang terjadi di Celong memperlihatkan air keruh mengalir deras di perkampungan.
Ketika surut, banjir bandang itu menyisakan lumpur tebal di rumah-rumah warga dan pendangkalan tempat berlabuhnya perahu nelayan. Bahkan, banjir hampir menutup terowongan yang menjadi akses jalan warga Celong.
Bekas lumpur sisa banjir bandang masih tampak di tembok ruang tamu Hamid. Noda lumpur berwarna kecokelatan setinggi 30 centimeter kini menghiasi bagian bawah dinding.
Sementara di luar rumah, tinggi air bisa mencapai 1 meter lebih.
Menurut Hamid, selama 40 tahun lebih tinggal di Celong, belum pernah ada cerita banjir bandang menerjang kampungnya.
Bencana ini baru ia alami setelah ada pembangunan proyek jalan tol dan kawasan industri. Rumah Hamid memang berada di area KEK Industropolis Batang.
“Saya selama di sini enggak pernah banjir. Tapi, ternyata ada bangunan, jalan tol saja banjir. Lagi-lagi ditambah industri, banjir. Sampai sembilan kali banjir,” katanya.
Sutini, 62 tahun, istri Hamid, menuturkan bahwa semenjak ada kawasan industri di desa mereka dan pembangunan jalan tol, beberapa kali sungai tidak mengalir.
Itu tak lazim karena, menurutnya, biasanya air sungai yang melintasi kampung mereka tidak pernah kering. Sutini tak tahu apa penyebabnya.
Sungai kecil itu memang menjadi tempat warga membuang limbah rumah tangga. Tak ayal, ketika sungai kering, bau comberan menguar ke mana-mana.
Situasi seperti itu terjadi sampai sebulan lebih. Warga resah, terutama ibu-ibu, termasuk Sutini.
Sutini tak ingat siapa yang mengomando saat itu. Namun, didasari keresahan, para ibu-ibu nelayan akhirnya berdemo mendatangi pengelola kawasan.
Ketika bertemu dengan penjaga di pos jaga kawasan industri, ibu-ibu meminta agar air sungai Celong dialirkan.
“Pokoknya kalau tidak dialirkan, do ngamuk iki. Wis tak gawakne arit iki (ibu-ibu marah, sudah bawa parang ini),” kenang Sutini sambil tertawa.
Usaha Sutini dan ibu-ibu kampung nelayan lainnya berhasil. Sutini bercerita, sebuah bego turun untuk membersihkan sumbatan-sumbatan yang ada di sungai.
Sutini pula yang biasanya menyambut Abdul Hamid saat pulang melaut. Dia kemudian menjual hasil tangkapn ke tempat pelelangan ikan tak jauh dari rumah mereka.
Tangkapan cumi-cumi Hamid pada hari itu seberat 5 kg laku Rp360.000. Sutini menghitung masih ada sisa Rp240.000 setelah dikurangi biaya solar Rp120.000.
Keuntungan seperti hari itu tidaklah terjadi setiap hari. Menyambut suaminya yang pulang tanpa ikan pun Sutini alami, bahkan lebih sering terjadi pada beberapa tahun terakhir.
“Kalau lagi banyak jualan bisa Rp500 ribu. Kadang pulang cuma bawa ikan sak comot, enggak bawa ikan sama sekali juga sering,” kata Sutini sembari tersenyum.
Dahulu, suaminya sering membawa pulang hingga 25 kilogram udang, yang memungkinkan Sutini memperoleh penghasilan sampai Rp1,5 juta.
Sutini tidak tahu pasti mengapa hasil tangkapan ikan sekarang menurun. Ia hanya tahu bahwa ikan-ikan hasil tangkapan suaminya tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
“Mungkin ini memang sudah takdir Allah,” ujar Sutini.
Sekitar 1,5 jam perjalanan dari Batang ke arah barat, hamparan tambak tampak berjejer rapi di Desa Purwokerto, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sekitar 1,5 hektare lahan tambak di sana dimiliki Turmudzi.
Beberapa tahun terakhir, air rob sering masuk ke dalam tambaknya. Tak jarang, abrasi membuat tanggulnya jebol. Tak terhitung sudah berapa kali dia harus memperbaiki dan meninggikan tanggul.
Air rob yang masuk ke tambak, dianggap Turmudzi, memengaruhi kualitas pertumbuhan ikan. Padahal, pakannya masih sama. Imbasnya, hasil panen turun drastis.
Sebelumnya, satu hektare tambak bisa menghasilkan hingga 3 ton bandeng dalam enam bulan. Dengan harga bandeng sekitar Rp25.000 per kg, Turmudzi bisa mendapat omzet Rp75 juta dalam sekali panen.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, hasil panen mereka berkurang lebih dari sepertiganya, menjadi sekitar 1 ton.
“Saya kira sekarang tidak ada yang bisa menghasilkan 1 ton bandeng dalam 1 hektare,” katanya pesimis.
Tak jauh dari hamparan area tambak Turmudzi—sekitar 1,5 kilometer—tampak kompleks bangunan beton KEK Kendal. Saking dekatnya, Turmudzi menduga ini menjadi penyebab panennya tak lagi maksimal.
Faktor kedekatan ini, menurut Turmudzi, menyebabkan air limbah kawasan industri yang dibuang ke laut, terbawa banjir rob, masuk ke sungai dan tambak-tambak, sehingga berpengaruh pada kualitas air tambak.
Dampaknya, ikan bandeng tidak bisa tumbuh maksimal: tubuhnya kecil, yang besar hanya matanya saja.
“Ini dampaknya [dari kawasan industri], hasil [panen] petani tambak menurun,” ujarnya, getir.
Pemerhati lingkungan di Kendal, Wasito, menyebutkan bahwa air limbah yang dibuang ke laut akan kembali lagi saat terjadi banjir rob, lalu masuk ke tambak-tambak warga yang ada di pesisir.
Tercemarnya air tambak membuat plankton alami tidak bisa tumbuh, demikian halnya dengan lumut, yang biasa disebut klekap oleh para petani tambak. Padahal, ini dibutuhkan ikan sebagai pakan alaminya di dalam tambak.
“Airnya sudah tercemar. Apalagi sekarang ditambah dengan kawasan industri,” jelas Wasito.
Wakil Ketua Tim Pelaksana di Dewan Nasional KEK, Elen Setiadi, menyanggah tudingan bahwa KEK di Pantura telah menggerus dan merampas ruang hidup warga sekitar.
Ellen mengklaim sudah ada sekitar 179.000 tenaga kerja terserap di 25 KEK yang tersebar di beberapa lokasi. Dari industrialisasi itu, tercatat Rp294 triliun investasi—tak hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri.
“Dengan adanya industri, buka lapangan kerja, ada multiplier effect. Multiplier effect itulah yang membangun kehidupan masyarakat,” ujar Elen yang merangkap sebagai salah satu deputi di Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
“Jadi, merampas ruang hidup itu agak membingungkan saya untuk menjelaskan seperti apa,” katanya.
“Mana yang kita rampas ruang hidupnya? Malah kita buka ruang kerja di sana dengan kepastian, dengan perlindungan dan lain sebagainya. Jadi, saya menyanggah, menegasi bahwa KEK merampas ruang hidup,” tegas Elen.
Meski merasakan dampak buruk dari kawasan industri, Turmudzi tak menafikan sisi lain dari pembangunan KEK Kendal, yakni terbukanya lapangan kerja.
Menurutnya, banyak pekerja dari luar daerah Kendal yang bekerja di proyek industri tersebut. Mereka ngekos di sekitar kawasan industri. Sementara, warga di desanya tak banyak yang mendapat pekerjaan.
“Ada yang kos sebelah itu, ada dari Lampung, Pekalongan, Temanggung, dan Jogja,” katanya.
Biasanya, perempuan menjadi pekerja di pabrik tekstil, sementara laki-laki sebagai mekanik. Meski tidak semua warga desanya bisa bekerja di KEK Kendal, namun Turmudzi senang lulusan SLTA di Kendal dan sekitarnya bisa mendapatkan pekerjaan.
Manajemen KEK Kendal mengklaim mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Hingga Juli 2025, tercatat ada 64.000 orang yang bekerja di sana. Mayoritas adalah penduduk Indonesia, dan 2 persennya merupakan ekspatriat.
Dalih Dongkrak Ekonomi
Pengembangan KEK sebenarnya dimulai sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK disahkan.
Dia lalu melahirkan istilah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada 2011, yang menjadi acuan pembangunan ekonomi saat dia menjabat presiden.
Sejak itu, pembangunan ekonomi dan pengembangan industri digenjot. Tercatat ada delapan KEK seluas 9.704 hektare yang ditetapkan sepanjang dua periode pemerintahan SBY.
Presiden Indonesia selanjutnya, Joko Widodo, mengubah istilah MP3EI, melabelinya dengan nama “Proyek Strategis Nasional” atau PSN, dan mengeluarkan kebijakan deregulasi yang bertujuan mempercepat investasi dan pembangunan.
Kebijakan ini memungkinkan pelaku usaha mendapatkan izin investasi hanya dalam waktu maksimal tiga jam, dan mereka dapat langsung memulai konstruksi.
Sementara itu, izin lain seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan izin Lingkungan dapat diselesaikan belakangan, berbarengan dengan proses konstruksi berjalan.
Lewat proyek-proyek ini, menurut Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agung Wardana, Jokowi melanjutkan, bahkan memperluas strategi yang akrab di era Orde Baru, yaitu menggunakan narasi “pembangunan untuk kepentingan umum”.
Bedanya, kata Agung, Jokowi memperluas makna frasa tersebut dengan menyoroti janji penciptaan lapangan kerja dan dorongan pada pertumbuhan ekonomi sebagai justifikasi utama di balik proyek-proyek pembangunan tersebut.
“Lalu masuklah proyek-proyek yang bersifat komersial, bersifat private, keuntungan pribadi, yang dipandang akan membuka lapangan pekerjaan. Bukan proyek-proyek untuk kebutuhan masyarakat kebanyakan. Nah, inilah salah satunya kawasan-kawasan ekonomi khusus ini,” kata Agung Wardana.
Sepanjang dua periode sebagai presiden, Jokowi mengeluarkan 17 Peraturan Pemerintah (PP) untuk menetapkan 17 KEK, dengan luas lahan 12.680,41 hektare.
Dia mencabut satu KEK yang telah ditetapkan pendahulunya, melalui PP Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pencabutan KEK Tanjung Api, Sumatra Selatan, karena dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak dapat menyelesaikan tenggat waktu yang telah ditetapkan.
Kawasan industri di pesisir utara Kendal merupakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pertama yang ditetapkan di wilayah Pantura pada masa pemerintahan Jokowi.
Penetapan resminya diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2019, yang diterbitkan pada Desember 2019. KEK Kendal memiliki luas 1.000 hektar dan berlokasi di dua kecamatan, yaitu Kaliwungu dan Brangsong.
Pengelola KEK KEndal, PT Kawasan Industri Kendal, adalah konsorsium dua perusahaan swasta besar dalam dan luar negeri, yakni PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) dengan Singapore Sembcorp dari Singapura.
PT KIJA, selain mengelola KEK Kendal, juga mengelola KEK Tanjung Lesung Banten melalui anak perusahaannya PT Banten West Java Tourism Development (BWI), dan KEK Morotai melalui anak perusahaannya PT Jababeka Morotai (JM). Keduanya ditetapkan di masa pemerintahan SBY.
Kendati baru ditetapkan sebagai KEK pada 2019 silam, kawasan industri ini telah beroperasi sejak 2016. Saat itu sudah ada 49 perusahaan yang beroperasi di KEK Kendal, menurut Direktur Eksekutif KIK, Juliani Kusumaningrum.
Setelah ditetapkan menjadi KEK, Juliani mengklaim jumlah pelaku usaha di kawasan industri yang ia kelola meningkat tajam.
Sampai Juli kemarin, ada 129 perusahaan yang beroperasi di KEK Kendal, sebanyak 43 persen dari China, 25 persen dari Indonesia, dan sisanya dari Korea Selatan dan negara lainnya.
Industri global di KEK Kendal antara lain, PT Indonesia BTR New Energy Material; PT Alba Tridi Plastics Recycling Indonesia, PT Ebako Nusantara, dan PT Beurer Indonesia Technology.
“Paling banyak pertama dari fashion, kedua otomotif dan renewable energy, dan ketiga elektronik,” kata Juliani.
Foto satelit menegaskan bahwa area KEK Kendal dulunya adalah lahan tambak dan mangrove. Lahan tersebut kini sudah ditimbun total, digantikan oleh bangunan pabrik beton, dan pohon mangrove (termasuk yang ditanam oleh Wasito) telah lenyap.
Perubahan fungsi lahan ini tak terhindarkan memperparah gelombang abrasi di pesisir sekitar KEK Kendal, bahkan menyebabkan banjir tak terelakkan.
Sebuah dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dari perusahaan yang akan membangun di KEK Kendal menyebutkan pembangunan kawasan industri ini dilakukan di atas kawasan tambak dan hutan mangrove.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, KEK Kendal dilaporkan menggunakan empat sumur air tanah dalam, berdasarkan dokumen bertanggal April 2023 itu.
Dokumen yang sama juga mengungkapkan bahwa manajemen KEK Kendal membuang limbahnya ke Sungai Waridin. Selain itu, mereka berencana membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk kemudian membuang limbah yang sudah diolah langsung ke Laut Jawa.
Sungai Waridin yang disebutkan dalam dokumen itu merupakan cabang dari Sungai Blorong. Aliran sungai ini melintasi KEK Kendal, tepatnya berada di sisi barat.
Sungai ini juga menjadi pembatas antara kampung tambak Turmudzi dengan KEK Kendal.
Hasil uji laboratorium menunjukkan kualitas air Sungai Waridin berada di atas ambang batas baku mutu yang ditetapkan.
Merujuk pada PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tingginya polutan ini mengakibatkan air Sungai Waridin tidak layak untuk berbagai pemanfaatan, termasuk untuk pertanian, perikanan, dan bahkan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Secara spesifik, parameter yang terdeteksi melebihi ambang batas baku mutu meliputi kandungan deterjen, amonia, nitrit, dan sulfat. Tingginya konsentrasi zat-zat ini juga diketahui berdampak negatif pada pertumbuhan ikan di sungai tersebut.
Direktur Eksekutif KIK, Juliani Kusumaningrum, membantah bahwa pihaknya telah menghilangkan bakau dan mangrove. Ia mengklaim bahwa semua bakau masih utuh karena berfungsi sebagai penahan alami terhadap abrasi.
Namun, citra satelit memperlihatkan hilangnya banyak bakau dan ekosistem mangrove setelah area tersebut dikembangkan menjadi kawasan industri.
Wasito, yang mengaku pernah menanam bakau di sana, juga yakin bahwa penghilangan bakau memang terjadi.
Mengenai kebutuhan energi, Juliani menyatakan bahwa sumber listrik KEK Kendal berasal dari PLN, bukan dari batu bara.
Sementara itu, manajemen KEK Kendal bertugas menyuplai gas kepada perusahaan-perusahaan di kawasan yang memerlukan energi pembakaran.
Namun, aliran gas di KEK Kendal baru masuk pada 2023. Padahal, mereka telah beroperasi sejak 2016.
“Waktu pipa gas ini tidak tersedia, mereka menggunakan batu bara,” kilahnya.
“Hanya 1 perusahaan yang terpantau pakai batu bara,” akunya kemudian tentang masih adanya pemakain batu bara di KEK Kendal.
Juliani meragukan hasil uji air Sungai Waridin karena, menurutnya, KEK Kendal tidak lagi membuang limbah ke sana, melainkan langsung ke laut.
Pembuangan limbah ke laut ini, lanjutnya, telah mendapat persetujuan dari Departemen Lingkungan Hidup.
Namun, Juliani membenarkan bahwa manajemen KEK Kendal memang pernah membuang limbahnya ke Sungai Waridin.
Lebih lanjut, ia tidak membantah bahwa KEK Kendal mengambil air tanah untuk kebutuhan operasional kawasan industri. Meskipun penggunaannya sekarang hanya sebagian, praktik pengambilan air tanah tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
“Sejak 2021, sumber air berasal dari bendung Blorong. [air] sumur sekarang ini bisa dibilang hanya dipakai untuk contingency plan saja,” katanya.
Adanya eksploitasi air tanah dan alih fungsi lahan untuk industri berdampak pada krisis lingkungan di Kendal. Akibatnya, muka tanah turun dan terjadilah banjir rob yang semakin masif. Ruang hidup masyarakatnya pun kian tergerus.
Namun, manajemen KEK Kendal kembali membantah sebagai penyebab masalah lingkungan yang terjadi. Menurut mereka, penyebab banjir rob yang melanda perkampungan dan abrasi yang merusak tanggul tambak warga adalah karena ketinggian tanah perkampungan lebih rendah daripada permukaan air laut.
Betapapun, manajemen KEK Kendal terus melanjutkan pembangunan dan berencana melakukan perluasan bertahap ke arah barat seluas 500 hektare, dengan target total area mencapai 1.200 hektare.
Dalam rangka pengembangan ini, KEK Kendal juga membangun temporary shore protection atau perlindungan pantai sementara. Bentuk tanggul ini bertujuan untuk melindungi kawasan industri dari ancaman banjir rob dan abrasi.
Dengan adanya tanggul ini, kawasan KEK Kendal akan terlindungi dari banjir dan ombak besar. Namun, tidak demikian halnya dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Juliani pun menegaskan bahwa banjir dan abrasi yang terjadi di sekitar KEK bukan karena adanya tanggul yang dibangun.
Menurutnya, pihak KEK Kendal membangun shore protection untuk melindungi kawasan industri dari abrasi dan banjir, bukan memindahkannya ke daerah sekitarnya.
“Kita enggak ada sangkut pautnya dengan itu. Salahkan airnya dong,” kata Juliani menjawab mengapa banjir rob dan abrasi semakin masif di sekitar KEK Kendal, sementara tidak bagi KEK Kendal.
Setelah Jokowi turun dari jabatannya pada 2024 lalu, pengembangan industri lewat KEK dan PSN ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Prabowo Subianto.
Pada 19 Maret 2025—hanya dalam hitungan bulan setelah menjabat presiden—Prabowo menetapkan KEK Industropolis Batang lewat PP Nomor 12 Tahun 2025.
Dalam beleid itu disebutkan luas proyek ini seluas 2.886,87 hektare dan berada di tiga kecamatan, yakni Subah, Banyuputih dan Gringsing.
“Hari ini Indonesia memiliki kawasan yang diharapkan menjadi Shenzhen-nya Indonesia,” kata Prabowo dalam pidato peresmian KEK Industropolis Batang, 20 Maret 2025.
Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung nama Jokowi dan mantan Bupati Batang, Wihaji, sebagai sosok yang berperan penting dalam proses KEK ini.
Wihaji adalah politisi Partai Golkar yang pernah menjadi Bupati Batang periode 2017-2022. Dia kini menjabat sebagai Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga serta Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Semula, proyek pengembangan industri ini akan dilakukan di Brebes. Namun, saat politikus Partai Golkar sekaligus Menteri Investasi kala itu, Bahlil Lahadalia, berkunjung ke Batang, ia lalu mengusulkan kawasan industri dibangun di Batang, dan melaporkannya ke Joko Widodo.
“Setelah proses yang sangat cepat pada saat itu, Pak Menteri Investasi, Pak Presiden, menentukan lokasi ini sebagai kawasan industri terpadu batang,” kata Direktur PT Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), M Fakhrur Rozi, akhir Juni silam.
KITB adalah pengelola KEK Industropolis Batang, sebuah konsorsium perusahaan plat merah yang terdiri dari PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma (KIW), PT Pembangunan Perumahan (PP), Perumda Batang, dan PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN IX).
PTPN menjadi tuan tanah, KIW sebagai pengelola kawasan, dan PTPP selaku konstruktor dan pembuat masterplan.
KITB sendiri sudah mulai beroperasi sejak 2022. Sebelum berstatus KEK, sudah ada 27 pelaku usaha di sana. Saat ini, jumlahnya bertambah menjadi 28 pelaku usaha.
Tujuh yang sudah beroperasi, sedangkan 10 lainnya konstruksi dan sisanya dalam tahap pembangunan.
Mayoritas tenan dari China, sebanyak 17 pelaku. Sisanya dari Singapura, Korea, Taiwan, Belanda, Amerika, dan pelaku usaha lokal.
Dalam masterplan kawasan industri KITB, ditetapkan luasnya mencapai 4.300 hektare. Fase pertama yang akan dikembangkan menjadi kawasan industri seluas 3.100 hectare.
Namun, karena sebagian areal dianggap hutan lindung yang harus dipertahankan, maka hanya 2.886,87 hektare yang disetujui dan ditetapkan menjadi KEK.
“Akhirnya ada perubahan areal yang kita usulkan untuk mendapatkan KEK Industropolis itu dari 3.100 menjadi 2.800 sekian hektare,” kata Fakhrur Rozi.
Citra satelit menunjukkan, lahan yang dijadikan area KITB merupakan areal pertanian dan perkebunan yang hijau. Alih fungsi lahan besar-besaran pun terjadi saat sejumlah pabrik industri global dibangun di atasnya.
Untuk menyebut beberapa, ada SEG Solar dari Amerika; Pipa Wavin dari Belanda; Window Shutter dari Inggris; pabrik besi dan baja Waxinda Group dari China, dan lainnya yang kini beroperasi di KEK Industropolis Batang.
Kini, kanopi alami vegetasi yang tadinya berfungsi untuk menyerap karbon telah rusak dan hilang, digantikan oleh bangunan beton. Perubahan ini memicu bencana, setidaknya di wilayah Celong, tempat tinggal pasangan Abdul Hamid dan Sutini.
Masyarakat di kampung nelayan Celong kini merasakan langsung dampaknya berupa terjadinya banjir bandang dan peningkatan hawa panas di wilayah mereka.
“Itu terjadi tahun 2020-2021, pada awal-awal pembangunan,” kata Fakhrur Rozi, mengamini bencana yang dialami kampung nelayan Celong seperti yang diceritakan Hamid dan Sutini.
Dia beralasan, banjir bandang terjadi ketika terjadi peralihan fungsi lahan, intensitas hujan yang terjadi kala itu tak sesuai prediksi. Di sisi lain, saat itu belum ada kolam retensi untuk menampung hujan sementara waktu.
Untuk mengantisipasi insiden serupa tak terulang, Fakhrur Rozi mengatakan pihaknya telah menyiapkan kolam retensi di beberapa titik.
“Setelah itu relatif tidak begitu ada kejadian.”
Selain banjir bandang, warga sempat merasakan dampak limbah dari KITB mengalir ke drainase warga dan bermuara ke lautan. Dampaknya, nelayan yang melaut mengalami gatal-gatal sampai beberapa hari.
“Kita sudah ada tindakan, melakukan pemberhentian,” aku Fakrur Rozi. “Penghentian sementara saja,” tambahnya.
Limbah industri KITB yang dibuang ke laut, melalui sungai Brontok, diklaim sudah memenuhi baku mutu sesuai ketetapan Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka mengolahnya sebelum dibuang ke laut.
Untuk mencukupi kebutuhan air minum, pihak KITB mengklaim menggunakan air permukaan, bukan air tanah. Sumbernya dari Bendungan Kali Urang. Jika ditarik garis lurus,