Tahun ini telah menjadi periode yang penuh gejolak dan dinamika signifikan bagi pasar saham global. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada April lalu sempat menciptakan guncangan hebat di Bursa, namun pasar dengan cepat menunjukkan kemampuan untuk pulih dan kembali menorehkan pertumbuhan di paruh kedua tahun ini.
Meskipun terjadi rebound yang cukup impresif, banyak investor kini mulai dihinggapi pertanyaan fundamental: akankah pasar saham global dapat mencapai stabilitas yang dicari pada tahun 2026, atau justru harus bersiap menghadapi gelombang koreksi baru? Para analis, dalam prediksinya, mengindikasikan bahwa tahun depan akan menyajikan perpaduan antara peluang pertumbuhan yang menjanjikan dan risiko-risiko signifikan yang patut diwaspadai oleh para pelaku pasar.
Suku bunga dan tingkat pengangguran: penentu utama arah pasar saham 2026
Isu suku bunga telah mendominasi diskursus ekonomi sepanjang tahun 2025. Setelah serangkaian penurunan suku bunga pada bulan September, The Federal Open Market Committee (FOMC) memproyeksikan akan ada dua kali pemangkasan tambahan hingga akhir tahun. Langkah ini diharapkan dapat memicu aktivitas ekonomi yang lebih dinamis menjelang tahun 2026. Namun demikian, Stephen Callahan, seorang pakar perdagangan dari Firstrade, menegaskan bahwa fokus utama tetap akan tertuju pada tingkat pengangguran.
“Dengan adanya peningkatan pengangguran, The Fed kemungkinan besar akan terus melanjutkan kebijakan penurunan suku bunga untuk memberikan stimulus pada pasar tenaga kerja,” jelas Callahan. Kebijakan pelonggaran moneter memang seringkali menjadi pendorong bagi pasar saham, tetapi penting untuk diingat bahwa hal tersebut tidak selalu menjamin hasil yang positif. John Murillo dari B2BROKER mewanti-wanti potensi koreksi tajam jika pemangkasan suku bunga gagal secara efektif menumbuhkan ekonomi riil atau justru malah memicu gelombang inflasi baru yang dapat memperburuk kondisi ekonomi.
Inflasi masih menjadi ancaman serius bagi ekonomi AS
Inflasi tinggi masih menjadi tantangan ekonomi AS yang sangat serius dan memerlukan perhatian ekstra. Meskipun The Fed telah berupaya keras menekan inflasi melalui kebijakan suku bunga yang kini mulai melonggar, harga-harga secara umum diperkirakan akan tetap menunjukkan kenaikan pada tahun 2026. Callahan memprediksi, “Kami memperkirakan tingkat inflasi 2026 akan lebih tinggi dari tahun ini. Hal ini secara langsung akan menekan daya beli masyarakat dan pada gilirannya melemahkan konsumsi rumah tangga yang merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi.”
Selain itu, dampak dari tarif perdagangan yang masih tinggi berpotensi memperburuk situasi inflasi. Kebijakan ini dapat mendorong kenaikan harga barang secara signifikan dan membebani sektor-sektor konsumsi vital, seperti ritel dan otomotif, yang menjadi penopang utama perekonomian.
Strategi investasi defensif: kunci sukses di tengah ketidakpastian 2026
Tingginya tingkat ketidakpastian ekonomi yang diproyeksikan untuk tahun 2026 membuat banyak analis merekomendasikan pendekatan strategi investasi defensif. Strategi ini mengarahkan investor untuk fokus pada perusahaan-perusahaan yang memiliki karakteristik kuat: arus kas stabil, kontrol yang ketat terhadap rantai pasok, dan keberadaan aset nyata (hard assets) yang memberikan nilai intrinsik.
“Tahun 2026 bukan lagi eranya mengejar ‘hype’ inovasi semata, melainkan kembali kepada fundamental perusahaan yang kokoh. Perusahaan dengan arus kas yang kuat dan nilai riil akan jauh lebih unggul dibandingkan saham-saham yang hanya bergantung pada sentimen pasar,” tegas Murillo. Sektor-sektor yang memiliki potensi besar untuk bertahan di tengah gejolak pasar ini meliputi energi, infrastruktur, dan komoditas — bidang-bidang yang secara inheren memiliki daya tahan tinggi terhadap tekanan inflasi dan dampak kebijakan moneter yang melonggar.
Setelah periode pasar saham yang bergejolak pada tahun ini, tahun 2026 diprediksi masih akan membawa tantangan-tantangan besar. Oleh karena itu, investor sangat disarankan untuk tetap berhati-hati, terus mencermati fundamental perusahaan, dan menghindari euforia sesaat yang kerap menyesatkan. Mereka yang memilih untuk fokus pada perusahaan stabil dan bernilai nyata kemungkinan besar akan muncul sebagai pemenang, bahkan di tengah lanskap ketidakpastian ekonomi global yang terus membayangi.