Pemerintah percepat pembangunan hunian untuk pengungsi banjir dan longsor Sumatra – “Harus penuhi prinsip keberlanjutan”

Posted on

Pemerintah akan mempercepat penanganan pascabencana Sumatra dengan pembersihan, termasuk penyediaan hunian tetap (huntap) bagi para penyintas. Pakar memperingatkan relokasi bukan semata memindahkan orang, tapi perlu memenuhi prinsip keberlanjutan.

Mantan pengurus Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Tsunami Aceh-Nias juga mengatakan, langkah ini tepat, tapi harus segera direalisasikan agar tidak sekadar memberi harapan.

Para penyintas banjir dan longsor Sumatra punya pandangan berbeda tentang rencana rehabilitasi-rekonstruksi termasuk hunian tetap dari pemerintah.

Meski begitu, mereka punya harapan besar pada huntap yang memberi kelanjutan kehidupan, seperti ketersediaan sumber ekonomi.

Apa yang disiapkan pemerintah jelang fase rehab-rekon pascabencana?

Pembersihan dan rencana pembangunan 2.600 hunian tetap.

Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengutarakan rencana pembangunan 2.600 unit hunian tetap bagi penyintas banjir dan longsor Sumatra.

Masing-masing 1.000 di Aceh, 1.000 di Sumatra Utara dan 600 di Sumatra Barat.

Dalam pertemuan dengan pemerintah Aceh Senin (22/12), Tito menekankan percepatan pembersihan lumpur banjir di Kabupaten Aceh Tamiang.

Pembersihan ini mencakup fasilitas umum, perkantoran, hingga permukiman warga.

Pemkab Aceh Tamiang diminta menyiapkan lahan yang diperlukan.

“Sepanjang lahannya sudah siap, kami akan bergerak cepat,” kata Tito seperti dikutip Kompas.com.

Bagi penyintas yang rumahnya mengalami rusak ringan hingga sedang, akan mendapat bantuan berupa uang tunai untuk renovasi. Duit tersebut dapat digunakan untuk membersihkan rumah dan melakukan perbaikan secara mandiri.

“Setelah data lengkap, mereka akan diberikan bantuan dalam bentuk uang agar bisa melakukan pembersihan dan menyiapkan kembali rumahnya,” kata Tito.

Bagaimana reaksi penyintas bencana?

Tak semua penyintas bahala Sumatra sudah melewati fase tanggap darurat—sebelum menuju masa transisi dan rehab-rekon pascabencana.

Fase tanggap darurat masih seputar pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi seperti makanan, pakaian, listrik dan air bersih.

Sebagaimana Ari Fanda. Ia sudah hampir sebulan mengungsi, sejak rumahnya rata dengan tanah akibat banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh pada 26 November silam.

  • Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur

Warga dari Desa Blang Cut, Kecamatan Meurah Dua, sekarang bernaung di sebuah pesatren sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya. Persoalan yang dihadapi selama di pengungsian sampai hari ini: air bersih.

“Kalau mau ke kamar mandi, misalnya, kalau mau BAB, ya, kami macam kucing. Kami gali tanah, nanti tutup,” kata Ari sambil tertawa getir, Selasa (23/12).

Persoalan lain, lumpur juga masih menumpuk di jalan-jalan menuju desanya. Rumah-rumah warga masih tertimbun lumpur.

“[Tapi] itu pun kemarin dibersihin jalan karena ada isu datangnya Gibran (wakil presiden). Itulah makanya dibersihkan jalan. Kami 10 kali isu datang Gibran, Insyaallah mungkin kampung sudah bersih,” katanya kembali tertawa. Kali ini tawanya terdengar lebih miris.

Tapi BBC News Indonesia tak bisa memverifikasi secara independen keterangan ini.

Sejauh ini, Ari dan sejumlah warga lainnya enggan menetap di pos pengungsian yang tersedia di kantor Pekerjaan Umum karena jaraknya jauh.

Ia secara pribadi menolak direlokasi dari kampung halaman karena di sanalah tanah kelahirannya.

Kalau boleh berharap, kata dia, nantinya hunian tetap dibangun di desanya.

“Kan kita orang-orang di desa maunya juga ingin kembali ke desanya… Apalagi ke depannya itu kan sudah bulan Ramadan,” kata Ari.

Provinsi Aceh paling banyak korban jiwa dalam tragedi banjir bandang dan longsor di Sumatra. BNPB mencatat 483 orang meninggal, dan 32 dinyatakan hilang.

Selain Kabupaten Pidie Jaya, wilayah terdampak lainnya adalah Aceh Tengah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Utara dan Bireun.

Dari Aceh, kami juga berbicara dengan penyintas yang berada di hunian sementara di Kota Padang, Sumatra Barat.

Era Novita warga Batang Kabung yang rumahnya sudah tersapu banjir sudah dua pekan menginap di hunian sementara di Kampung Nelayan yang dulunya bekas lokasi isolasi Covid-19.

Dia sangat mendambakan hunian tetap dari pemerintah. Musababnya, masa tanggap darurat Kota Padang sudah dicabut, dan ia harus merintis kehidupan.

“Yang penting [lokasinya] tidak mengkhawatirkan. Jangan dekat dengan sungai, dekat dengan pantai, apalagi ada isu-isu [banjir] lagi, kan? Yang penting aman,” katanya.

Serupa pendapat, Del Yutri juga mengatakan “bersedia” direlokasi meski tempatnya jauh dari lokasi rumahnya.

“Ya, kalau kami di sini tinggal [hunian sementara] tentu kekhawatiran dengan biaya sehari-hari. Sedangkan kami tidak ada pekerjaan di sini,” katanya.

Bahala di Kota Padang, Sumatra Barat telah menelan 11 korban jiwa. Banjir bandang juga membuat 397 unit rumah rusak berat, dan 2.040 rumah rusak sedang.

Masih dari Sumatra Barat, Warga Palembayan di Kabupaten Agam, Ibnu Riaga pun ingin menempati hunian tetap yang tersedia. Tapi ia berharap tidak jauh dari lokasi tempat tinggalnya saat ini karena di sana “sumber ekonomi kita”.

Atau opsi lain katanya, “melakukan pembangunan mandiri”.

“Contohnya kita punya tanah untuk pribadi. Kita ajukan kepada pemerintah untuk dibangun,” kata Ibnu.

Kami juga berbincang dengan penyintas yang masih mengungsi di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.

Penyintas banjir bandang dan longsor, Arman Jaya Zebua masih tinggal berpindah-pindah di Kelurahan Hutanabolon. Ia bersedia direlokasi ke hunian tetap, asal lokasinya bisa memberi masa depan.

“Ya pasrah saja lah. Tapi salah satunya nanti ya, misalnya di daerah situ ada kerjaan… Kalau mengharapkan bantuan seterusnya, enggak mungkinlah,” katanya.

Pria 25 tahun ini juga meminta pemerintah setempat melibatkan anak-anak muda penyintas bencana dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Misalnya pembersihan dan pembangunan, supaya mereka sementara waktu punya penghasilan.

“Yang diutamakan ya dipekerjakan,” kata Arman.

Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi wilayah paling terdampak bencana banjir di Sumatra Utara. Korban jiwanya mencapai 132 orang, dan 38 orang dinyatakan hilang. Jumlah pengungsi mencapai 5.555 jiwa.

Selain Tapanuli Tengah, terdapat sembilan kabupaten dan tiga kota lain yang terdampak di Sumatra Utara. Di antaranya Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Hubang Hasudutan, dan Kota Sibolga, Kota Medan serta Kota Padangsidimpuan.

Pemkab Tapteng buka opsi lahan plasma HGU sawit untuk relokasi warga

Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu merespons keluhan terkait banyaknya pemuda penyintas bencana yang belum memiliki pekerjaan.

Pemkab, klaim dia, memastikan para pemuda akan dilibatkan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk kegiatan pembersihan dan pembangunan.

“Pasti kita berdayakan di situ. Setelah itu, kita siapkan lahan-lahan yang bisa mereka kelola dan latih untuk bertani, berkebun, serta berusaha,” katanya.

Sejauh ini, Pemkab Tapteng juga membuat klaim mulai merealisasikan pembangunan 118 unit hunian tetap bagi warga terdampak bencana di atas lahan seluas 1,3 hektare.

Bupati Masinton mengatakan, kesiapan lahan menjadi syarat utama agar pemerintah pusat melalui BNPB dan Kementerian Perumahan dapat segera membangun hunian bagi warga terdampak.

Oleh karena itu, pemkab menginventarisasi berbagai aset lahan milik pemerintah kabupaten, provinsi, desa, hingga tanah kas desa yang dinilai aman dari risiko longsor dan banjir.

“Ketika lahan disiapkan oleh pemerintah daerah dan memenuhi kriteria aman, pembangunan bisa langsung dilakukan,” katanya.

Selain memanfaatkan aset pemerintah, Pemkab Tapteng juga membuka opsi penggunaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan sawit.

“Apalagi perusahaan sawit itu belum melaksanakan plasma juga. Kami mau minta 20% dari luas HGU mereka,” katanya.

Lahan ini akan dimanfaatkan sebagai lokasi relokasi dan sumber penghidupan warga.

Ia bilang, lokasi hunian akan disebar dan diupayakan tidak jauh dari sumber mata pencaharian warga, seperti ladang, kebun, atau sawah, agar relokasi tidak memutus penghidupan masyarakat.

Untuk tahap pertama, penerima hunian tetap akan diprioritaskan bagi warga yang bersedia direlokasi, kata Masinton.

  • Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?
  • Kisah warga tolong warga di tengah pemerintah yang disebut ‘lamban’ dan ‘duduk-duduk saja’ atasi bencana di Sumatra
  • Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra

Di lokasi terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Agam, Rahmad Lasmono mengklaim mulai membangun 117 unit hunian sementara (huntara) bagi penyintas bencana.

Pembangunan huntara saat ini tengah berlangsung di sejumlah lokasi yang telah dinyatakan aman berdasarkan kajian kebencanaan.

Huntara di Kabupaten Agam nantinya tersebar di beberapa wilayah. Di Selari Air, huntara direncanakan dibangun di lapangan SD 05 Taing Pasak dan lapangan bola Babaju. Sementara di Maninjau, huntara dibangun di area dekat objek wisata Linggai, meski kapasitasnya dinilai belum mencukupi.

“Kalau di Malalak masih dalam tahap pencarian lahan. Sedangkan di wilayah Empat Koto direncanakan di kawasan daerah otonomi baru Balingka,” ujarnya.

Rahmad memastikan lokasi huntara telah melalui kajian dan dinyatakan aman dari risiko bencana.

Terkait pendataan korban, Pemkab Agam telah mengajukan data berdasarkan nama lengkap dan tempat tinggalnya (by name by address) ke BNPB untuk diverifikasi. Pendataan mencakup kategori rumah rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan.

Adapun warga yang berhak menempati huntara adalah mereka yang rumahnya rusak berat, berada di zona tidak aman, atau rumahnya hilang dan hanyut akibat bencana.

Kelompok ini juga akan diprioritaskan untuk mendapatkan huntap pada tahap selanjutnya, kata Rahmad.

Pemkab Agam memutuskan memperpanjang masa tanggap darurat selama 14 hari.

Keputusan ini diambil karena masih banyak material longsoran seperti kayu dan batu yang belum dibersihkan dari permukiman warga, serta masih terjadinya longsor susulan di sejumlah wilayah, termasuk Maninjau dan Malalak.

Apa yang perlu dicermati dalam fase rehab-rekon?

Salah satu isu penting untuk penetapan huntara dan huntap adalah pemilihan lokasi, kata pakar kebencanaan Profesor Harkunti Pertiwi Rahayu.

“Jangan sampai lokasi yang dipilih justru memiliki potensi terkena banjir bandang berikutnya,” kata Prof Harkunti yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI).

Ia menekankan perlunya pemetaan menyeluruh dari hulu hingga hilir sebelum pembangunan hunian dilakukan.

Menurutnya, pemetaan tersebut harus meliputi kondisi topografi, geologi, serta dampak alih fungsi lahan di kawasan hulu yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang.

Guru besar di Institut Teknologi Sumatera ini juga menyampaikan, saat ini akademisi mulai dilibatkan melalui kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk melakukan pemetaan berbasis data dan survei lapangan.

“Mudah-mudahan dalam satu bulan ini peta-peta itu bisa dihasilkan dengan berbagai kolaborasi yang ada,” katanya.

Terkait waktu penyelesaian hunian, ia menjelaskan penanganan pascabencana mengikuti tahapan yang telah ditetapkan BNPB. Mulai dari tanggap darurat, masa transisi, sampai rehabilitasi dan rekonstruksi.

Menurut Prof Harkunti, masa transisi bencana Sumatra kemungkinan akan berlangsung hingga awal Februari 2026, dengan prioritas penyediaan hunian sementara sebelum hunian tetap.

Selain bagi korban langsung, hunian tetap juga perlu dipertimbangkan bagi warga yang tinggal di wilayah dengan tingkat kerawanan bencana tinggi, meski tidak terdampak langsung. Relokasi ini, menurutnya, sebagai langkah mitigasi risiko bencana di masa depan.

Apa kunci utama hunian tetap yang berkelanjutan?

Profesor Harkunti tak bisa menutup mata dengan adanya penyintas yang enggan untuk direlokasi.

Oleh karena itu, ia menegaskan pembangunan hunian pascabencana harus mengacu pada prinsip “build back better” yang diperluas menjadi lebih aman, berkelanjutan, layak huni, dan dapat diterima oleh masyarakat.

“Kalau kita bicara livable, tentu saja terkait dengan mata pencarian. Harus ada di sekitar situ. Dan yang terakhir adalah lovable. Harus dicintai oleh calon-calon penghuni, terutama dari saudara-saudara kita yang terdampak,” katanya.

Ia juga menolak pendekatan relokasi terpusat. Menurutnya, warga sebaiknya direlokasi ke lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggal semula, selama memenuhi kajian keamanan, agar tetap memiliki rasa nyaman dan keterikatan sosial.

Pembangunan hunian sementara dan hunian tetap bukan akhir dari penanganan pascabencana.

Kata Prof Harkunti, pemerintah juga perlu memastikan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta penciptaan lapangan kerja di kawasan baru.

Pemulihan pascabencana bukan hanya penyediaan rumah, tapi juga kehidupan penyintasnya.

“[Tahap] pemulihan ini harus semua dipulihkan. Tidak hanya masalah hunian. Tetapi bagaimana akses mereka terhadap pelayanan dasar,” katanya.

Hunian tetap dan pertaruhan kepercayaan publik

Teuku Kamaruzzaman pernah bekerja sebagai Sekretaris Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pascatsunami 2004.

Ia berbagi pengalaman di lapangan warga enggan dipindahkan jauh dari lokasi rawan bencana—tepatnya masih berada radius dua kilometer dari bibir pantai.

“Karakter masyarakat seperti ini harus menjadi sebuah perhitungan juga,” katanya.

Berita terkait:

  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’

Meskipun tidak sesuai dengan peta jalan rehab-rekon yang sudah dibuat, pihak BRR saat itu tetap mengikuti keinginan masyarakat melalui “konsultasi desa”.

“Walaupun desa mereka ketika itu ada genangan ya kita terpaksa buat di situ. Kita buat semacam rumah yang agak panggung, disesuaikan dengan kondisi pada saat itu,” kata pria yang akrab disapa Ampon Man.

Menanggapi fase transisi menuju rehab-rekon pascabencana di Sumatra saat ini, Ampon Man mendorong agar pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan dasar para penyintas.

Menurutnya, tanggap darurat di Aceh belum sepenuhnya bisa ke fase berikutnya.

“Dukungan tahap sekarang ini masih tanggap darurat, seperti logistik dan lain-lain itu tentu sebaiknya disediakan, karena yang terdampak ini kan secara ekonomi ini banyak alat-alat produksi ekonomi: Sawah, kebun,” katanya.

Ia juga mendorong agar wacana pemerintah terkait penyediaan ribuan unit hunian tetap di tiga provinsi terdampak bencana benar-benar terealisasi.

Ia melihat selama ini komunikasi dan informasi penanganan bencana Sumatra kerap terjadi “kesenjangan antara di lapangan sama apa yang dibicarakan [pejabat] tingkat atas”.

“Karena ini terdampak trust [kepercayaan] masyarakat kepada pihak pemerintah,” kata Ampon Man.

Wartawan Halbert Caniago di Sumatra Barat berkontribusi dalam reportase ini.

  • Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
  • Pemerintah larang kegiatan delapan korporasi yang turut memicu banjir di Sumatra Utara
  • Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog
  • Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
  • Pemerintah dinilai lamban tangani korban banjir Sumatra, apa sebabnya?
  • Pemerintah tolak bantuan asing, pemulihan wilayah terdampak banjir-longsor di Sumatra diprediksi butuh 30 tahun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *