Pendekatan Korea Selatan menjaga industri film di tengah krisis

Posted on

Sebelum film-film Korea Selatan menjalar ke sejumlah negara, pada era 1990-an industri ini justru disesaki oleh impor film Hollywood.

Dalam catatan The K-Movie Phenomenon: A Global Rise Amidst Domestic Crisis dari diskusi yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada awal Desember 2025, pangsa film lokal Korea bahkan hanya 15,9% pada 1993. Jumlah penonton tahunan berada di bawah 50 juta orang.

Pemerintah Korea dan pihak swasta menyiasatinya dengan berbagai pendekatan, dari penerapan sistem kuota layar, masuknya modal swasta dalam jumlah besar, hingga terbentuknya ekosistem kreatif yang berpusat pada sutradara.

Selaras itu, Undang-Undang Promosi Film direvisi pada 1996, dengan mewajibkan pemutaran film Korea selama 146 hari per tahun. Namun kemudian dikurangi menjadi 73 hari pada 2006 setelah negosiasi free trade agreement (FTA) Korea-Amerika Serikat.

Baca juga:

  • 7 Drama Korea Bernuansa Natal yang Cocok Ditonton Saat Libur Akhir Tahun
  • 8 Drama Korea Terbaru Januari 2026 Wajib Masuk Watchlist
  • 10 Film Indonesia Tayang Januari 2026, Ada Genre Drama Komedi Hingga Horor

“Kuota ini secara signifikan menurunkan hambatan masuk pasar dan memberikan kesempatan pemutaran yang stabil bagi kreator domestik,” demikian bunyi catatan tersebut.

Walhasil, penurunan risiko ini mendorong konglomerat besar seperti CJ, Lotte, dan Showbox untuk berinvestasi secara agresif, yang menjadi dasar transisi menuju produksi film komersial beranggaran besar.

Korea membuka celah pengembangan industri ini dengan meluncurkan Busan International Film Festival (BIFF) pada 1996. Ini menandai titik balik perfilman Negara Gingseng tersebut. Dalam pembukaan perdana saja, BIFF sudah mampu “menyihir” 180.000 orang untuk hadir di perhelatan bergengsi ini.

“BIFF kemudian menjadikan Busan sebagai kota sinema, menginspirasi generasi baru pembuat film dan berkontribusi besar pada pengembangan talenta,” ungkap catatan tersebut.

Evolusi OTT

Penyebaran sinema Korea di kancah internasional sangat berkaitan dengan evolusi platform konten. Ekspansi cepat layanan over the top (OTT), platform konten media seperti Netflix, Viu, Hooq, Disney+, menjadi mesin utama perluasan ke pasar luar negeri. Dengan platform ini, karya sineas Korea berhasil masuk rumah tangga di banyak negara.

Sebagai respons terhadap era OTT, muncul sistem studio yang berfokus pada konten. Perusahaan seperti Studio Dragon, Studio S, dan SLL mengelola perencanaan, produksi, dan distribusi, sehingga memungkinkan penciptaan konten Korea yang dioptimalkan untuk platform global. Langkah kreator dinilai jadi lebih tersistematis.

Sebagai gambaran, ada perbedaan output produk yang dipasarkan.

Film berfokus pada narasi padat berdurasi 2–3 jam, dengan penekanan pada spektakel visual untuk layar besar.

Sedangkan drama (K-Drama) berfokus pada format panjang, umumnya serial 16 episode, dirancang untuk kenyamanan menonton di rumah dan sering mengangkat tema universal yang mudah diterima.

Upaya Resiliensi di Tengah Krisis

Meskipun memiliki posisi global yang kuat, pasar film domestik Korea menghadapi evaluasi berat pada 2025.

Jumlah film komersial domestik berskala besar (dengan anggaran di atas KRW3 miliar) yang dirilis pada paruh pertama 2025 hanya sekitar 20 judul. Angka ini hampir menyamai puncak pandemi pada 2021 yang sebesar 17 film dan jauh menurun dibandingkan dengan 2019 yang bisa mencapai 60 film.

“Masalah utamanya bukan sekadar kegagalan box office, melainkan ketidakstabilan struktural. Ini terlihat dari volume produksi menurun dan pasar investasi menyusut,” sebagaimana diuraikan dalam pernyataan tertulis itu.

Beberapa sumber industri pun melaporkan bahwa jumlah proyek film komersial bioskop yang aktif telah berkurang setengahnya. Ini bersamaan dengan biaya produksi melonjak tajam, sehingga menciptakan struktur yang tidak berkelanjutan: jumlah penonton menurun, sementara anggaran terus membengkak.

Buntutnya, investor hanya memilih genre dan konsep yang telah terbukti, sehingga proyek eksperimental dan kreatif tersingkir sejak tahap perencanaan.

“Ketergantungan berlebihan pada segelintir sutradara ternama juga menghambat pertumbuhan ekosistem produksi yang lebih luas,” tulis keterangan resmi itu.

Melesunya film komersial layar lebar bukan salah OTT. Korea menilai masalah utama adalah kurangnya film bioskop yang benar-benar menarik dan wajib ditonton. Era “menonton film hanya karena sedang tayang di bioskop” telah berakhir.

“Hanya pengalaman sinematik yang benar-benar luar biasa dan berkualitas tinggi yang mampu mendorong penonton keluar dari rumah. Selera konsumen semakin beragam, dan ekspektasi terhadap kualitas film berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah,” ungkap rilis tersebut.

Dukungan Nasional dan Regional

Menghadapi krisis itu, Pemerintah Korea kontan menyusun kebijakan dukungan untuk memperkuat seluruh ekosistem film. Strategi ini berfokus pada perluasan dukungan finansial produksi, peningkatan daya saing melalui pengembangan talenta, serta bantuan penetrasi pasar luar negeri demi pertumbuhan industri yang berkelanjutan.

Dukungan saat ini disalurkan melalui berbagai lembaga. Pertama, Korean Film Council (KOFIC) yang menyediakan pendanaan produksi, dukungan teknologi, bantuan pemasaran luar negeri, serta mengelola Korean Academy of Film Arts (KAFA).

Kedua, pemerintah Korea juga menawarkan insentif pajak dan pinjaman kebijakan untuk investasi film. Kedua pihak ini banyak mendukung di sekup nasional dan internasional.

Di ranah regional atau daerah, ada komisi yang bergerak berdasarkan wilayah.

Contoh, Busan Film Commission (BFC) yang mendorong produksi film di lokasi Busan. Teknis dukungannya adalah pendanaan untuk proyek yang melakukan syuting ≥30% di Busan dan mempekerjakan ≥30% tenaga kerja lokal (termasuk ko-produksi internasional).

Selain itu ada Seoul Film Commission (SFC) dan Gyeonggi Content Agency (GCA).

“Dukungan pemerintah pusat dan daerah yang berkelanjutan, bersama dengan kemampuan industri untuk secara konsisten menghadirkan konten berkualitas tinggi yang melampaui batas medium dan genre, akan menjadi kunci untuk menavigasi krisis,” demikian penutup catatan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *