Pengangguran Turun? Klaim Prabowo Vs. Realita Lapangan

Posted on

Presiden Prabowo Subianto Mengklaim Angka Pengangguran Terendah Sejak 1998: Realita Lapangan Berbeda?

Klaim Presiden Prabowo Subianto tentang penurunan angka pengangguran Indonesia ke level terendah sejak krisis 1998 menuai kontroversi. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 yang dirilis BPS, tingkat pengangguran memang tercatat 4,76%, turun 0,06% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini lebih rendah dibandingkan 5,46% pada Februari 1998. Namun, sejumlah pengamat meragukan klaim tersebut, menilai metode perhitungan BPS memiliki kelemahan dan tidak sepenuhnya merepresentasikan kondisi riil di lapangan.

Salah satu poin krusial yang dikritik adalah definisi BPS tentang “bekerja”. BPS mengklasifikasikan seseorang yang bekerja minimal satu jam dalam seminggu sebagai angkatan kerja, bukan pengangguran. El Bram Apriyanto, pengamat ketenagakerjaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mempertanyakan relevansi definisi ini dengan kesejahteraan masyarakat. “Kalau seseorang hanya bekerja sejam seminggu, apakah ia bisa memenuhi kebutuhan hidup?” tanyanya. Definisi ini, meskipun sesuai dengan standar ILO tahun 1982, dinilai sudah usang dan terlalu sempit untuk mengukur kesejahteraan.

BBC Indonesia juga mewawancarai sejumlah individu yang bekerja di sektor informal dengan jam kerja panjang, tanpa kontrak, dan jaminan sosial, namun tidak termasuk dalam kategori pengangguran menurut BPS. Kondisi mereka rentan terhadap kemiskinan dan pengangguran, menggarisbawahi keterbatasan data BPS.

Keterbatasan Indikator dan Rumus Perhitungan

Para ahli menekankan perlunya indikator tambahan untuk mengukur kondisi ketenagakerjaan secara komprehensif. Indikator-indikator tersebut meliputi tingkat underemployment (setengah pengangguran), jumlah pekerja informal, median upah dibandingkan upah minimum, persentase pekerja berkontrak, jumlah pekerja terdaftar dalam jaminan sosial, dan kualitas hidup mereka secara umum. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyarankan agar data BPS dikonfrontir dengan indikator-indikator lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat.

Qisha Quarina, pengamat ketenagakerjaan UGM, menambahkan bahwa penurunan persentase angka pengangguran juga dipengaruhi oleh rumus perhitungan. Peningkatan jumlah angkatan kerja nasional (“bilangan penyebut” dalam rumus) mengakibatkan angka pengangguran tampak lebih rendah, meskipun jumlah pengangguran absolut (7.278.307 jiwa pada Februari 2025) justru meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Meningkatnya Pekerja Informal: Sinyal Bahaya Ekonomi?

Para ahli lebih menekankan pentingnya memperhatikan maraknya pekerjaan informal. Proporsi pekerja informal mencapai 59,40% pada Februari 2025, meningkat dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pekerja tidak diiringi peningkatan kualitas pekerjaan. Nabiyla Risfa Izzati, pengamat hukum ketenagakerjaan UGM, menyebut peningkatan ini sebagai “sinyal bahaya” karena pekerja informal minim perlindungan hukum dan jaminan sosial. Mereka sulit mengakses kredit, pelatihan, dan program peningkatan keterampilan, yang berdampak pada stagnasi produktivitas dan kesulitan untuk beralih ke sektor formal. Kondisi ini juga berdampak pada pendidikan anak-anak mereka, menciptakan siklus kemiskinan.

Kisah Nyata Pekerja Informal: Di Bawah UMR, Tanpa Jaminan Sosial

Laporan BBC Indonesia menampilkan kisah nyata beberapa pekerja informal: seorang asisten rumah tangga yang bekerja lebih dari 8 jam sehari dengan upah di bawah UMK dan terpaksa berutang; seorang pengemudi ojek online yang bekerja lebih dari 8 jam sehari dengan penghasilan tidak menentu dan tanpa jaminan sosial; dan seorang pekerja kebersihan di Papua dengan gaji terlambat dan tanpa jaminan pekerjaan tetap. Kisah-kisah ini mengilustrasikan realita lapangan yang tidak sepenuhnya tercermin dalam data BPS.

Tanggapan Pemerintah

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa data pengangguran merupakan kewenangan BPS, namun mengakui adanya keluhan masyarakat terkait kesulitan mendapatkan pekerjaan. Pemerintah, menurutnya, terus berupaya menyediakan lapangan pekerjaan melalui berbagai program.

Kesimpulannya, meskipun data BPS menunjukkan penurunan angka pengangguran, para pengamat mempertanyakan akurasi data tersebut dan menekankan perlunya analisis yang lebih komprehensif dan indikator yang lebih relevan untuk menggambarkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia secara akurat dan mencerminkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan jumlah pekerja informal menjadi isu yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *