Petugas MBG Curhat: Kontrak Kerja Hilang, Gaji Telat, Jam Kerja Kacau!

Posted on

Sejumlah pekerja yang terlibat dalam program vital Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menyuarakan keluhan serius: mereka bekerja tanpa kontrak tertulis, menghadapi jam kerja yang tidak menentu, dan kini terlambat menerima gaji. Gelombang kekecewaan ini membanjiri akun media sosial Instagram Badan Gizi Nasional (BGN), dengan tuntutan agar upah mereka segera dilunasi. Menanggapi situasi ini, Kepala BGN, Dadan Hindayana, mengakui adanya kendala dalam sistem penggajian bagi Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang bertugas di dapur-dapur MBG, serta berjanji akan menyelesaikan pembayaran dalam waktu dekat.

BBC News Indonesia berhasil mewawancarai seorang pekerja di dapur MBG yang menceritakan langsung pengalaman pahitnya.

‘Saya merasa kerja ini tidak manusiawi’

Dani, seorang pekerja di salah satu dapur MBG di Jawa Timur, tak lagi bisa menahan kesabarannya. Sudah berbulan-bulan, upahnya tak kunjung dibayarkan. Frustrasi memuncak, ia pun melampiaskan kekecewaannya di kolom komentar Instagram BGN, menuntut pemerintah segera membayarkan haknya.

“Kami dituntut bekerja tidak boleh lengah sedikit pun, karena ini menyangkut banyak nyawa. Masa gaji saja terlambat?” keluhnya dengan nada kesal.

Dani adalah salah satu dari ribuan lulusan program SPPI Batch 3, yang seharusnya ditugaskan sebagai Kepala Program Makan Bergizi Gratis atau kepala dapur di berbagai wilayah. Namun, karena dapur di daerahnya belum sepenuhnya terbangun, Dani ditempatkan sebagai pengawas dengan status “magang” di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah beroperasi.

“Kami yang belum dapat dapur ini diarahkan untuk magang ke dapur terdekat wilayah kami. Walaupun pada praktiknya, tidak dekat, jauh dari lokasi tempat tinggal saya sekarang,” ungkapnya.

Sebelum terjun ke dapur MBG, Dani, seorang sarjana hukum dari universitas negeri, sempat menjalani pendidikan militer dasar selama sebulan. Ia digembleng untuk patuh pada perintah atasan dan siap bekerja 1×24 jam. Hingga awal Agustus, ia ditempatkan di sebuah dapur MBG yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya.

Yang mencengangkan, tidak ada perjanjian atau kontrak kerja tertulis. Semua instruksi, mulai dari gaji sebesar Rp5,5 juta per bulan hingga rincian pekerjaan di lapangan, disampaikan secara lisan. “Ya aneh sekali sebenarnya, tapi tidak tahu lah, saya juga bingung,” imbuhnya.

Sebagai pengawas di dapur MBG, hari kerja Dani dimulai pukul 01.00 WIB, mengontrol masakan yang akan disajikan. Proses memasak biasanya rampung sekitar pukul 05.00 WIB. Setelah itu, ia harus mengawasi proses penyajian masakan ke ribuan ompreng hingga pukul 09.00 WIB, memastikan semuanya sesuai standar BGN.

“Harus benar-benar jeli. Bayangkan ada 4.000 ompreng dan kami mengawasi satu per satu, supaya teliti dan tidak ada yang namanya keracunan atau kesalahan,” paparnya.

Pukul 09.00 WIB, Dani turut mengawal proses distribusi MBG kepada penerima manfaat, termasuk pelajar, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Sekitar pukul 12.00 WIB, ia kembali mengontrol dan menghitung ompreng yang dikembalikan, karena kekurangannya menjadi tanggung jawabnya. Pekerjaannya berlanjut memantau pencucian ompreng hingga bersih sempurna, biasanya sampai pukul 18.00 WIB.

“Jam 6 sore itu, kami lanjut persiapan memotong sayur, lauk, dan lain-lain, sampai jam 10 malam. Itu baru kami bisa rehat,” ucapnya. “Nanti saya berangkat lagi ke dapur jam 1 pagi, begitu terus dari Senin sampai Jumat. Sekarang bayangkan kami kerja tidak bisa napas, tidak bisa bergerak ke mana-mana.”

Jika dihitung, Dani bekerja lebih dari 20 jam sehari. Ia terkadang harus mencuri-curi waktu tidur setelah salat agar tubuhnya tidak ambruk. Pekerjaan ini menuntut ketelitian dan ketepatan waktu yang luar biasa, sebab mereka selalu diwanti-wanti bahwa makanan yang disiapkan menyangkut nyawa banyak orang. Namun, ironisnya, hasil keringatnya tak kunjung cair di bulan ketiga bekerja. Gaji di bulan pertama dan kedua saja baru dibayarkan sekaligus pada Oktober lalu.

Sementara itu, Dani sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari: makan, bensin, dan kuota internet. “Kami punya grup SPPI Batch 3, dan semuanya mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, belum terima [gaji]. Kami disuruh sabar saja, tapi belum ada kepastian kapan dibayar,” akunya.

Meski merasa tidak manusiawi, Dani mengaku tidak punya pilihan selain terus bekerja di dapur MBG demi menyukseskan program andalan Presiden Prabowo Subianto. Ia tidak ingin para pekerja MBG dicap tidak becus. “Intinya kami sudah mendedikasikan hidup kami untuk MBG, tapi masa gaji kami ditunda-tunda,” keluhnya. “Walaupun saya merasa kerja ini sebenarnya tidak manusiawi loh. Tapi ya bagaimana lagi, saya sudah mengabdikan diri untuk negara. Cari pekerjaan lain juga susah, banyak PHK. Kalau tidak kerja begini, mau makan apa?”

Untuk mengisi rekeningnya yang kosong melompong, Dani terpaksa mencari pekerjaan sambilan sebagai pengemudi ojek online di hari libur. Ia juga tidak tahu sampai kapan status “magang” ini berakhir dan kapan ia akan ditempatkan sebagai kepala dapur. Semuanya serba tidak pasti, dan Dani merasa dieksploitasi. “Ini sudah eksploitasi sebenarnya. Saya merasa sekali. Saya kira kayak gini berhenti di rezim Orde Baru, tapi mau bagaimana, mencari kerja susah. Jalanin saja walaupun setengah kerja rodi,” cetusnya.

Berutang untuk bertahan hidup

Kisah Risky, seorang Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3 yang kini bekerja di dapur MBG di Provinsi Aceh, tidak jauh berbeda dari Dani. Ia juga belum menerima gaji. “Seharusnya tanggal 6 November terima gaji, tapi tidak ada. Sampai ramai di media sosial BGN. Ya, karena tidak ada informasi apakah akan dirapel atau bagaimana,” keluhnya dengan emosi. “Sedangkan kami sudah melaksanakan kewajiban di dapur,” sambungnya.

Seperti Dani, Risky saat ini berstatus “magang” sembari menunggu pembangunan dapur-dapur baru. Ia dipekerjakan sebagai pengawas di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah beroperasi. Tujuannya, agar ia “khatam” dengan segala persoalan dan cara mengatasinya ketika nanti menjabat sebagai kepala dapur.

Berbeda dengan Dani yang tanpa kontrak, Risky rupanya mendapatkan Surat Pemberitahuan Kontrak (SPK) yang merinci besaran gaji dan tugas-tugasnya selama “magang”. “Kewajiban kami intinya mengawasi dapur,” akunya.

Tugas pengawasan Risky pun serupa dengan Dani—meminimalisir insiden yang tak diinginkan, terutama keracunan makanan. Ia memantau ketat setiap proses di dapur, mulai dari menyortir bahan baku, menyiapkan makanan, mengamati proses memasak, pemorsian, pendistribusian, hingga membuat laporan ke BGN. Karena ada dua pekerja “magang” di dapurnya, Risky dan rekannya berbagi kerja dalam dua shift.

“Saya misalnya, kerja jam 7, sudah di tahap persiapan atau pengemasan. Setelah selesai, baru distribusi ke sekolah-sekolah dari jam 8 sampai jam 11 siang,” tuturnya. “Kemudian, pengambilan ompreng sekitar jam 1 sampai 2 siang. Itu semua harus diawasi untuk dibuat laporan ke BGN pada sore hari, apakah ada yang kurang atau komplain dari siswanya.”

Setelah Risky selesai bekerja pukul 19.00 WIB, shift berikutnya mengambil alih, dimulai dengan mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak sekitar pukul 02.00 WIB. “Jadi 24 jam aktif dapur itu,” cetusnya.

Sarjana agribisnis dari salah satu universitas di Sumatra Selatan ini mengaku digaji Rp6 juta per bulan, yang baginya terbilang “aman” dengan beban kerja yang masih masuk akal. Namun, masalahnya kini hak mereka tidak jelas. Padahal, mereka membutuhkan uang untuk makan, bensin, dan kebutuhan sehari-hari lainnya, apalagi jarak rumahnya ke dapur cukup jauh, sekitar 20 menit berkendara motor.

Untuk bertahan hidup, Risky terpaksa meminjam uang dari orang tua atau teman-temannya, berjanji akan melunasi setelah gajinya cair. “Itu solusi untuk bertahan sementara. Nanti kalau sudah dapat gaji, baru tutup lubang. Apalagi banyak teman-teman saya yang sudah berkeluarga, apa tidak susah?” ungkapnya. “Ya, pada intinya kesalnya kayak kami ini… sudah menunaikan kewajiban, sudah mematuhi aturan, bahkan kalau ada kesalahan ditegur. Tapi kenapa ketika ingin mengambil hak, tidak ada kejelasan.”

Membuka lapangan kerja, tapi pekerjaan yang tidak layak

Nabiyla Risfa Izzati, pakar hukum perburuhan dari Universitas Gadjah Mada, menggarisbawahi bahwa persoalan ini mengindikasikan program unggulan Presiden Prabowo Subianto tidak dipersiapkan secara matang dari berbagai sisi. Jika di sisi produksi masih ditemukan kasus keracunan makanan, maka di sisi sumber daya manusia muncul persoalan hubungan ketenagakerjaan yang karut-marut.

“Dari cerita-cerita yang muncul itu, memang kecenderungannya situasi kerja yang mereka alami sangat dekat dengan situasi kerja yang biasa dialami oleh pekerja informal yang tentu saja rentan,” papar Nabiyla kepada BBC News Indonesia. “Karena salah satu faktor utamanya adalah ketiadaan kontrak tertulis.”

Dalam kasus pekerja MBG ini, Nabiyla merasa heran dengan absennya kontrak kerja tertulis. Menurutnya, hal ini sama saja menempatkan para pekerja dapur MBG sebagai pekerja informal yang rentan dieksploitasi dan hak-haknya dipangkas. Eksploitasi yang kerap menimpa pekerja informal meliputi besaran upah yang tidak jelas, jam kerja yang tidak menentu, hingga waktu pembayaran upah yang tak pasti. Lebih parah lagi, jika semua hal itu terjadi, para pekerja tidak memiliki jalur hukum yang bisa ditempuh untuk menuntut hak-hak mereka.

“Jadi kalau menurut saya sih [masalah ini] tidak bisa ditolerir ya. Karena ketika hubungan kerja itu berjalan ya seharusnya hubungan kerja itu berjalan sebagaimana mestinya,” jelas Nabiyla. “Apalagi ketika kita bicara proyek strategis nasional, yang digadang-gadang akan membawa pekerjaan baru, lapangan kerja baru, seharusnya lapangan pekerjaan baru yang layak, bukan justru yang rentan,” tegasnya.

Oleh karena itu, Nabiyla menilai dinas ketenagakerjaan harus segera turun tangan menangani permasalahan ini. Bersamaan dengan itu, para pekerja di dapur MBG wajib menuntut kepastian dalam bentuk kontrak kerja tertulis. Sebab, bagaimanapun, hubungan antara pekerja dan pengelola dapur MBG adalah relasi kerja, bukan sekadar pengabdian. Lebih lanjut, Nabiyla menegaskan Presiden Prabowo harus mengevaluasi ulang proyek andalannya ini. Jika program MBG memang bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan baru, maka pekerjaan yang ditawarkan harus dipastikan layak.

“[MBG] membuka lapangan kerja baru, tapi yang belum layak. Jadi harus bersamaan lah, menyerap tenaga kerja baru, tetapi lapangan kerja yang layak.”

Apa kata BGN?

Kepala BGN, Dadan Hindayana, mengakui adanya keterlambatan gaji pekerja MBG dan berjanji persoalan ini akan beres dalam pekan ini. “Kami sekalian untuk menyelesaikan minggu ini, kami sudah geser anggaran untuk tuntas sampai Desember. Jadi bulan depan sudah tidak akan ada keterlambatan lagi,” kata Dadan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (12/11).

Dadan menjelaskan, Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) pada Batch 1 dan 2 statusnya sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sehingga mereka tidak mengalami masalah gaji, bahkan telah menerima tunjangan kinerja. Sementara itu, untuk Batch 3, ia menyebut tesnya baru dilakukan bulan ini sehingga anggarannya berbeda. Imbasnya, terjadi keterlambatan pembayaran beberapa hari karena menunggu proses pergeseran anggaran. “Tapi karena masih ada hal yang harus diselesaikan, maka sementara ini SPPI Batch 3 ini dan juga AG (petugas ahli gizi) dan AK (akuntan) masih harus digaji dengan sistem istilahnya konsultan perorangan,” ucapnya. “Jadi kami secara administrasi harus menggeser anggaran,” tambahnya.

Terkait dugaan eksploitasi kerja yang disuarakan para pekerja, Dadan Hindayana tidak memberikan respons terhadap pertanyaan yang diajukan BBC News Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *