Pemungutan Suara Ulang Pilkada: Asa di Tengah Tantangan Papua dan Antusiasme Barito Utara
Rabu (6/8), pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan kepala daerah digelar di tiga wilayah. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan hasil pencoblosan sebelumnya akibat praktik politik uang dan ketidaklayakan calon, menjadi alasan utama PSU ini. Di tengah harapan baru, tantangan lama seperti sulitnya lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi, terutama di Papua, masih membayangi.
Di Provinsi Papua, PSU Pilgub diharapkan menjadi solusi bagi generasi muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, bahkan bagi lulusan universitas luar negeri. Sementara itu, di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, semangat warga untuk kembali mencoblos tak padam meski pemilihan sebelumnya ternodai praktik politik uang.
Lantas, bagaimana pandangan warga terhadap PSU ini? Apakah Pilkada masih relevan dengan harapan mereka?
Lulusan Luar Negeri Papua Berjuang Mencari Kerja
PSU Pilgub Papua berlangsung di 2.023 TPS yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota, memicu beragam respons dari anak muda Papua. Rachel Mansawan, 24 tahun, lulusan aircraft mechanical engineering dari Aviation Australia, Brisbane, Queensland, Australia, adalah salah satunya.
“Saya ikut memberikan suara dalam PSU Pilgub Papua hari ini. Saya memilih karena saya merasa penting untuk ikut menentukan arah kebijakan daerah ke depan,” ujar Rachel kepada Muhammad Ikbal Asra dari BBC News Indonesia. “Apalagi sebagai anak muda Papua, saya punya harapan besar untuk melihat perubahan yang nyata di tanah sendiri.”
Sebagai penerima beasiswa Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Rachel merasakan langsung ironi yang ada. Dua tahun setelah menyelesaikan studinya di luar negeri, ia kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya di tanah kelahirannya.
“Waktu kuliah saya berharap bisa langsung kerja di bidang aviation. Tapi setelah kembali ke Papua, kenyataannya jauh dari harapan. Sulit cari kerja di Papua,” keluhnya.
Rachel mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapinya. Pertama, proses penyetaraan ijazah luar negeri yang berbelit. “Penyetaraan ijazah hanya bisa dilakukan di Jakarta atau Bali. Di Papua belum ada. Prosesnya bisa enam bulan hingga setahun. Tidak semua orang punya kemampuan untuk bolak-balik ke Jakarta hanya untuk mengurus penyetaraan,” jelasnya.
Kedua, diskriminasi gender. Rachel mengaku telah melamar ke sejumlah maskapai di Papua, khususnya di Jayapura, namun mendapati bahwa posisi teknisi pesawat lebih sering diberikan kepada laki-laki. “Teknik pesawat dianggap pekerjaan berat. Jadi mereka lebih memilih engineer laki-laki. Ditambah lagi mereka lebih suka pelamar yang punya lisensi dari dalam negeri,” katanya.
Ketiga, Rachel menyoroti ketimpangan akses dan jejaring antara pencari kerja Papua dan non-Papua. Ia mengamati bahwa teman-teman kuliahnya yang bukan orang asli Papua cenderung lebih cepat mendapatkan pekerjaan.
Kini, Rachel beralih menjadi tutor bahasa Inggris di sebuah yayasan lokal di Jayapura, sambil melanjutkan studi pendidikan bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih. Ia berharap pemimpin Papua yang baru dapat lebih memperhatikan potensi anak muda Papua, baik yang berkuliah di dalam maupun luar negeri.
“Banyak yang punya skill, tapi kalah karena ijazah. Saya harap ada sistem yang lebih adil, bukan cuma lihat gelar, tapi juga kemampuan dan pengetahuan,” tegasnya. “Saya berharap pemimpin Papua yang baru adalah orang yang jujur. Karena kalau jujur, pasti bisa bekerja dengan rendah hati dan setia untuk tanah Papua.”
Kesulitan serupa juga dialami Lovery Elsword, seorang dokter muda asal Papua lulusan kedokteran dari China. Ia menghadapi proses yang rumit saat kembali ke Indonesia untuk mengabdi di tanah kelahirannya.
“Berkarier di luar negeri seperti di Singapura atau Malaysia bagi kami yang lulusan luar negeri justru lebih mudah. Tapi ketika kembali ke Indonesia, prosesnya lebih panjang karena harus penyetaraan, apalagi saya dari fakultas kedokteran yang langsung berhadapan dengan pasien,” ujar Lovery.
Meski demikian, Lovery memilih kembali ke Papua karena merasa terpanggil untuk membagikan ilmunya kepada generasi muda di daerahnya. “Saya lahir dan besar di Papua. Hati ini memang untuk Papua. Rasanya tidak adil kalau saya tidak membawa ilmu itu kembali. Saya ingin jadi motivasi buat adik-adik bahwa orang Papua juga bisa,” katanya.
Lovery menambahkan bahwa fasilitas kesehatan di Papua masih jauh tertinggal dibandingkan di Pulau Jawa. “Di sini umumnya hanya puskesmas. Kalau di Jawa, selain puskesmas dan rumah sakit, banyak klinik-klinik swasta juga. Jadi tempat pengabdian dokter di Papua sangat terbatas,” jelasnya. Saat ini, Lovery masih menunggu proses penyetaraan gelar dokternya agar dapat segera bekerja secara resmi.
Terry Anderson, 28 tahun, asal Sentani, Kabupaten Jayapura, juga merasakan hal yang sama. Lulusan SMA ini telah mengikuti berbagai pelatihan keterampilan, namun masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Sekarang saya masih kerja freelance di salah satu yayasan. Saya terus mempersiapkan diri kalau suatu saat ada pekerjaan yang lebih baik,” kata Terry. Ia tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya dan dokumen pendidikan pentingnya hilang akibat banjir bandang. Terry bercerita bahwa banyak teman sebayanya yang tidak melanjutkan kuliah, sebagian besar sudah menikah muda, dan hanya sedikit yang berhasil menjadi pegawai negeri.
Terry menilai sistem rekrutmen kerja, khususnya untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN), masih menyulitkan anak muda lokal. “Kami ingin diberi ruang yang sama untuk berkembang. Jangan sampai kami hanya jadi penonton di tanah sendiri,” ujarnya. Ia berharap pemimpin Papua yang baru lebih serius memperhatikan peluang kerja untuk anak muda lokal. “Banyak dari kami lulusan SMA atau SMK. Pemerintah harus membuka akses kerja yang sesuai dengan kemampuan kami. Jangan semua diserahkan ke pendatang atau sektor yang butuh ijazah tinggi saja,” tegasnya.
Pengangguran di Papua: Titik Kritis yang Mengkhawatirkan
Provinsi Papua menempati urutan kedua dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, mencapai 6,48%, hanya di bawah Provinsi Banten (6,68%). Pakar Sosiologi Universitas Cenderawasih di Jayapura, Prof. Dr. Avelinus Lefaan, menyebut tantangan ketenagakerjaan di Papua sudah mencapai titik kritis. Jumlah lulusan sarjana terus meningkat setiap tahun, namun lapangan kerja tidak bertambah sebanding.
Lefaan mencontohkan, Uncen meluluskan sekitar 3.000 hingga 4.000 sarjana setiap tahun. Namun, negara belum mampu menyediakan pekerjaan formal yang sesuai, baik bagi lulusan SMA maupun perguruan tinggi. “Banyak sarjana kita, terutama dari jurusan ilmu sosial atau biologi, benar-benar kesulitan mencari kerja karena sektor-sektor itu tidak dikembangkan secara maksimal,” ujarnya.
Ketidakseimbangan ini, menurut Lefaan, dapat memicu frustrasi sosial. “Kalau orang tidak bekerja, dia hanya duduk-duduk, maka pikiran negatif bisa muncul. Mereka bisa mudah dipengaruhi agenda tertentu, bahkan terlibat kriminalitas hanya untuk bertahan hidup,” katanya. Situasi ini tidak hanya menghasilkan pengangguran fisik, tetapi juga “konflik gagasan”, di mana anak muda merasa kehilangan ruang untuk mengekspresikan potensi dan kreativitas.
Lefaan juga menyoroti bahwa banyak pemuda Papua yang dikirim belajar ke luar negeri, namun kesulitan mendapatkan pekerjaan saat kembali. “Negara harus mengakui kredensial mereka. Jangan sampai mereka pulang, tapi malah bersaing dengan lulusan dalam negeri untuk posisi yang sama, padahal lapangannya sangat terbatas,” tegasnya.
Ia berharap PSU di Papua tidak hanya menjadi ritual politik, tetapi juga jalan untuk menghadirkan pemimpin yang peka terhadap problematika riil masyarakat. “Pemimpin ke depan harus mampu membaca potensi sumber daya alam dan manusia Papua, lalu menciptakan lapangan kerja nyata. Jangan sampai malah memunculkan konflik baru,” kata Lefaan. Ia mengingatkan bahwa jika potensi anak muda Papua tidak difasilitasi secara serius, bonus demografi akan berubah menjadi bencana sosial. “Pemuda Papua punya semangat dan potensi besar. Tapi tanpa ruang kerja yang jelas, mereka hanya akan jadi penonton di tanah sendiri.”
PSU di Provinsi Papua dilakukan setelah MK mendiskualifikasi Yermias Bisai karena terbukti “tidak jujur dan tidak beriktikad baik dalam memenuhi persyaratan menjadi cawagub.” Yermias kemudian digantikan oleh Constant Karma untuk mendampingi Benhur Tomi Man sebagai paslon nomor urut satu, yang diusung oleh PDI Perjuangan. Pasangan ini menekankan pada “pembangunan ekonomi yang inklusif dan bernilai tambah, merata dan berkelanjutan” sebagai salah satu misinya.
Sementara itu, paslon nomor urut dua, Mathius Fakhiri dan Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, diusung oleh belasan partai. Salah satu misi mereka adalah “meningkatkan produktivitas masyarakat melalui inovasi, keterampilan, dan pengembangan sumber daya alam secara berkelanjutan.”
Pada Pilkada Papua 27 November 2024, paslon Benhur-Yeremias unggul dengan perolehan 269.970 suara, dibandingkan 262.777 suara yang diperoleh paslon Matius-Aryoko.
Antusiasme Warga Barito Utara Tak Padam
Selain di Papua, masyarakat Barito Utara juga antusias mengikuti PSU. PSU ini dilaksanakan di seluruh Barito Utara setelah MK mendiskualifikasi dua pasangan calon sebelumnya, yaitu Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo dan Ahmad Gunadi-Sastra Jaya, karena kasus politik uang.
Di TPS 01 Kelurahan Melayu dan TPS 04 Desa Malawaken, pemilih mengikuti PSU untuk kedua kalinya. Sebelumnya, dua TPS ini telah melaksanakan PSU pada 22 Maret 2024. Meski telah tiga kali datang ke TPS untuk memilih, masyarakat di TPS 01 Melayu tetap antusias menggunakan hak pilihnya.
Sejak pagi, warga yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sudah berkumpul di sekitar TPS 01 Melayu. Beberapa bahkan harus berdiri di luar area pemungutan suara. Menjelang siang, masyarakat masih terus berdatangan untuk menggunakan hak pilihnya.
Seorang pemilih, Joni Effendi, 51 tahun, mengungkapkan alasannya tetap datang ke TPS. “Saya lihat di TPS 01 ini warga tidak bosan mencoblos, pemerintah pun sudah meminta dukungan. Artinya jangan sampai tidak menggunakan hak pilih,” kata Joni. Ia mengaku sempat mendapat tawaran uang pada pilkada sebelumnya, namun menolaknya. Pada PSU kali ini, Joni belum mendengar informasi terkait politik uang. “Kalau ada politik uang, pemerintahan ke depan akan sulit dan nama Barito Utara akan tercoreng,” ujarnya.
Harapan serupa disampaikan Megawati, 43 tahun, pemilih di TPS 01 Melayu. “Kita kan mencari calon pemimpin, jadi harus tetap menggunakan hak pilih,” ungkapnya, yang telah datang ke TPS untuk ketiga kalinya. Ia tidak mempedulikan isu politik uang meski mendengar adanya tawaran. “Menurut saya itu urusan masing-masing. Saya berharap yang terpilih nanti bisa memajukan daerah Barito Utara ini,” tegasnya.
Aulia (28), pemilih yang terdaftar di TPS 30 Melayu, juga bersedia kembali datang ke TPS. Ia antusias untuk melihat pemenang PSU Barito Utara pasca putusan MK. Aulia mengaku belum pernah mendapat tawaran uang untuk memilih paslon tertentu, dan juga tidak pernah mendengar tetangga maupun kerabatnya mendapat tawaran uang. “Kalau yang sebelum-sebelumnya, pernah ada mendengar. Kalau jumlah besar yang saya tahu baru sekali saja,” ungkapnya.
Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan: pasangan Shalahuddin-Felix yang menjanjikan perubahan dan keadilan sosial, dan pasangan Jimmy-Inry yang siap melanjutkan pembangunan. Pasangan Shalahuddin-Felix diusung oleh koalisi delapan partai politik, termasuk PKB, PKS, PAN, Hanura, Perindo, Partai Ummat, PSI, PPP, dan PBB. Sementara itu, Jimmy-Inriaty diusung oleh koalisi Partai Demokrat, Golkar, Gerindra, NasDem, dan PDI Perjuangan.
PSU di Barito Utara diselenggarakan di sembilan kecamatan sebagai tindak lanjut putusan MK yang mendiskualifikasi kedua paslon sebelumnya. MK menyatakan adanya tindakan pembelian suara yang dilakukan kedua paslon di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru, Kabupaten Barito Utara. Mahkamah menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih dengan nilai Rp16 juta per pemilih, hingga Rp64 juta untuk satu keluarga.
Untuk mencegah kejadian serupa, pemerintah pusat, melalui Kemenko Polkam, turut melakukan sinergi dan koordinasi dengan seluruh pihak di Barito Utara. “Perlu saya tegaskan bahwa kehadiran kami bukan untuk mengambil alih tugas teknis penyelenggaraan, melainkan untuk memastikan bahwa proses PSU benar-benar dilaksanakan sesuai asas demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,” kata Yoedhi Swastanto, Staf Khusus Bidang Pertahanan Kemenko Polkam, Letjen TNI (Purn.) yang juga sebagai Ketua Tim Pemantau.
Daerah Mana Saja yang Menggelar PSU?
Dalam putusannya, MK menetapkan 24 daerah harus melaksanakan PSU, sementara sembilan perkara ditolak, lima tidak dapat diterima, satu perkara memerlukan rekapitulasi ulang, dan satu perkara harus melakukan perbaikan surat keputusan KPU.
Wilayah yang melakukan PSU selain Papua dan Barito Utara adalah: Kabupaten Pasaman, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Magetan, Kabupaten Buru, Kota Banjarbaru, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Serang, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Sabang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Banggai, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Bungo, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kota Palopo, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Siak, Boven Digoel, dan Kabupaten Pulau Taliabu.
—
Wartawan Muhammad Ikbal Asra di Jayapura dan Ahmad di Barito Utara berkontribusi dalam artikel ini.