Polda DIY Tangkap Pemain Judi Online, Tapi Bandarnya Kemana?

Posted on

Sejumlah pakar hukum pidana menyoroti keanehan penangkapan lima orang di Yogyakarta oleh kepolisian atas tuduhan merugikan situs judi online. Keheranan publik ini muncul lantaran pihak kepolisian tidak turut mempersoalkan bandar atau pemilik situs judi tersebut, padahal pemerintah, sejak Prabowo Subianto menjabat presiden, berulang kali berjanji akan memberantas judi online.

Menurut ahli hukum, Pasal 303 KUHP tentang perjudian sejatinya secara khusus ditujukan untuk menjerat bandar judi, bukan sekadar pemain.

Selain itu, pengamat kepolisian Bambang Rukminto berpendapat bahwa Polri, dengan perangkat siber yang canggih, seharusnya mampu mendeteksi keberadaan bandar judi online. Namun, realitanya, Bambang menyatakan, “polisi sangat jarang menangkap bandar.” Kondisi ini memicu asumsi di masyarakat bahwa kepolisian “ada main” atau “menjadi beking” bandar judi online.

Menanggapi tuduhan tersebut, Polda DIY secara tegas membantah melindungi bandar judi online. Mereka mengklaim akan menindak siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi online.

Siapa pelapor kasus judi online itu dan apa modusnya?

Penangkapan lima orang yang dituduh sebagai pemain judi online yang merugikan bandar di Yogyakarta ini, menurut polisi, bermula dari adanya “laporan masyarakat”. Klaim ini menjadi titik awal penyelidikan.

Berdasarkan laporan tersebut, polisi menyatakan menemukan adanya aktivitas mencurigakan di sebuah rumah kontrakan di daerah Banguntapan. AKBP Slamet Riyanto, pejabat di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda DIY, menjelaskan bahwa “informasi awal berasal dari warga yang melihat dan mendengar bahwa ada aktivitas mencurigakan dari para pelaku.”

Lebih lanjut, Slamet menambahkan bahwa “informasi itu kami kembangkan, bekerja sama dengan intelijen. Kemudian kami tindaklanjuti secara profesional.” Penyelidikan ini berujung pada penangkapan kelima orang tersebut pada tanggal 10 Juli 2025.

Kelimanya diidentifikasi sebagai RDS (32 tahun) warga Bantul, NF (25 tahun) asal Kebumen, EN (31 tahun) dan DA (22 tahun) dari Bantul, serta PA (24 tahun) yang merupakan warga Magelang.

Berdasarkan keterangan awal dari polisi, modus para pelaku adalah memanfaatkan sistem promosi situs judi online. Mereka dituduh membuat puluhan akun baru setiap hari untuk mengeksploitasi bonus pengguna baru yang ditawarkan oleh situs bandar judi online. Akibat perbuatan ini, polisi mengklaim situs judi online tersebut mengalami kerugian besar, meskipun nominal kerugian tidak disebutkan secara spesifik.

AKBP Slamet Riyanto merinci, “Para pelaku ini merupakan pemain judi online dengan modus memainkan akun-akun dan memanfaatkan promo untuk menambah deposit.”

Apa saja peran para pelaku?

Dalam komplotan tersebut, pelaku RDS diidentifikasi sebagai koordinator. Ia berperan menyediakan berbagai fasilitas, mulai dari perangkat komputer, SIM card, hingga daftar situs-situs judi online yang menawarkan promosi menggiurkan.

Sementara itu, empat pelaku lainnya berperan sebagai operator. Mereka mendapatkan bayaran mingguan sebesar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta dari RDS. Slamet Riyanto menjelaskan lebih lanjut bahwa “RDS berperan sebagai koordinator sekaligus penyedia sarana, modal, dan pencari situs judi online berbonus, sedangkan empat lainnya berperan sebagai operator atau pemain yang menjalankan akun-akun judi.”

Polisi menuding bahwa keempat operator menggunakan empat komputer, di mana masing-masing mengelola 10 akun. Dengan sistem ini, dalam sehari, keempatnya bisa membuat hingga 40 akun baru. Dijelaskan pula bahwa “mereka mencari situs judi yang ada promosi. Akun baru kemungkinan menangnya besar. Itu teknik bandar, kalau dia pemain baru dikasih menang. Sehari satu akun top up [isi ulang] Rp50.000.”

Dari hasil penggerebekan di rumah kontrakan tersebut, polisi menyita sejumlah barang bukti yang meliputi empat komputer, lima ponsel, sejumlah uang tunai, tangkapan layar situs judi online, dan ratusan SIM card.

Penindakan polisi disebut ‘aneh’, apa saja kejanggalannya?

Penindakan oleh Polda Yogyakarta ini sontak menyulut pertanyaan besar di kalangan publik: siapa sebenarnya pelapor yang dimaksud polisi? Dan mengapa polisi tidak turut menangkap bandar situs judi online yang merugi tersebut?

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, menegaskan bahwa kecurigaan terhadap polisi yang mengemuka di media sosial terkait penangkapan lima pelaku ini sangat berdasar. Menurut Eva, prosedur penindakan polisi “memang aneh”.

Ia menjelaskan bahwa Pasal 330 KUHP tentang perjudian sebetulnya secara spesifik ditujukan kepada penyelenggara judi atau yang dikenal sebagai bandar.

“Jadi ketika penyelenggara judi [bandar] tak diproses oleh polisi, artinya apa yang diselenggarakan [perjudian] tidak terlaksana,” kata Eva kepada BBC News Indonesia, Minggu (10/08). Ia menambahkan, “secara teoritis sebetulnya konstruksinya memang jadi aneh, ketika hanya pemain saja yang ditindak, sementara justru mastermind-nya [aktor utamanya] tidak diproses.”

Eva juga menyoroti bahwa tindak pidana perjudian dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tergolong delik biasa, bukan delik aduan. Ini berarti polisi memiliki kewenangan untuk mengungkap kasus judi online tanpa harus menunggu aduan dari masyarakat.

Dalam kasus yang ditangani Polda DIY ini, polisi menolak mengungkap identitas pelapor yang mereka sebut sebagai “masyarakat”, dengan alasan wajib melindungi pelapor. Informasi inilah yang kemudian memicu dugaan warganet bahwa pelapor yang dimaksud polisi adalah bandar situs judi online yang merasa dirugikan.

Eva Achjani Zulfa berpendapat, kalaupun pelapornya terkait dengan komplotan bandar situs judi online, maka polisi semestinya turut menangkap mereka. “Karena ketika dia [bandar] sebagai pelapor, tapi dia bagian dari tindak pidana itu, polisi tidak bisa mengatakan bahwa dia korban. Karena sesungguhnya, kalau bicara pasal, dia adalah aktor utama dalam persoalan yang dilarang dalam ketentuan itu,” tegasnya. Eva mengilustrasikan, “Ibarat ada beberapa orang maling, terus salah satunya teriak maling. Tidak berarti si maling yang teriak maling ini bebas dari pertanggung jawaban pidananya.”

Oleh karena itu, Eva menyarankan agar polisi segera menangkap bandar judi dari puluhan situs judi daring yang dimanfaatkan para pelaku. Menurutnya, langkah ini krusial untuk membuktikan bahwa “polisi tidak melindungi bandar judi online“. Ia menekankan, “Kalau penyelenggaranya [bandar judi] sudah diketahui, saya kira polisi harus bersikap, bukan hanya menyasar konsumennya, tapi bandarnya juga. Justru mereka yang menjadi penting untuk diproses, kalau itu tidak segera dilakukan bisa jadi pertanyaan, ada apa di balik itu?”

Senada dengan Eva, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ESESS), Bambang Rukminto, menyoroti kejanggalan lainnya yang terlihat dari sikap polisi yang hanya menyasar pemain judi online di level bawah. Padahal, kata Bambang, dengan perangkat siber yang canggih, bandar judi online yang mengumpulkan uang setoran dari para pemain seharusnya lebih mudah terdeteksi.

“Kalau ratusan ribu pemain level bawah terdeteksi, bandar judi online yang lebih sedikit, harusnya lebih mudah terdeteksi,” ungkap Bambang Rukminto kepada BBC News Indonesia, Minggu (10/08). Ia melanjutkan, “Realitasnya nyaris sangat jarang penangkapan bandar, bahkan tak pernah ada penangkapan bandar besar. Akibatnya muncul asumsi di masyarakat kalau kepolisian ada main atau menjadi beking bandar judi online.”

Merujuk keterangan Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, jumlah pelaku judi online pada tahun 2024 menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, terdapat 1.196 kasus dengan 1.967 tersangka, sementara pada tahun 2024 tercatat 792 kasus dan 1.158 tersangka. Polri menyebut bahwa mayoritas pelaku judi online yang dijadikan tersangka adalah pemain di level bawah dan orang yang mempromosikan situs judi online.

Meskipun demikian, dalam setahun terakhir, setidaknya ada 10 bandar judi online yang berhasil dibekuk polisi. Di antaranya adalah bandar judol h55.hiwin.care; bandar judol 1Xbet; bandar judol H5 GF777, RGO Casino, dan Agen 138; bandar judol Akurasi4D; serta jaringan judi online di Komdigi yang sempat menggemparkan.

Dalam beberapa kesempatan, Polri kerap berdalih mengalami kesulitan dalam menangani kasus yang melibatkan situs judi online di luar negeri karena perbedaan yurisdiksi hukum dan kompleksitas kerja sama antarnegara. Namun, Bambang Rukminto mempertanyakan, “Ini yang kemudian memunculkan pertanyaan pembanding, mengapa tidak ada informasi masyarakat terkait bandar judi online besar yang ditangkap?”

Menurut Bambang, jika dalam kasus di Yogyakarta polisi tak kunjung menangkap bandarnya, maka prasangka publik terhadap kepolisian akan semakin kuat. “Karena alih-alih menangkap bandar judi online, tetapi menangkap pemain yang membobol akun bandar,” ujarnya. Komisioner Kompolnas, Gufron Mabruri, juga menyerukan pendapat serupa, meminta Polda DIY untuk turut menangkap bandar judi dari situs-situs yang mereka sebut.

Polda DIY bantah lindungi bandar judi

Kepala Sub Direktorat V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto, dengan tegas membantah tuduhan bahwa pihaknya melindungi bandar judi online. “Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak. Mulai dari pemain, operator, pemodal, hingga bandar dan pihak-pihak yang mempromosikan. Tidak ada toleransi untuk perjudian dalam bentuk apapun,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa penangkapan komplotan ini bukan didasarkan pada pembelaan terhadap bandar judi online, melainkan murni hasil dari laporan masyarakat yang melihat adanya aktivitas ilegal. Slamet berulang kali menekankan bahwa seluruh proses penyelidikan dilakukan secara profesional dan transparan. “Penindakan itu juga berkat laporan dari masyarakat yang melihat dan mengetahui aktivitas judi kelima orang tersebut,” pungkasnya.

Pasal apa yang dikenakan kepada para pelaku?

Setelah ditangkap pada 10 Juli lalu, kelima pelaku segera ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan di rumah tahanan milik Polda DIY. Perkara mereka kini telah naik ke tahap penyidikan dan dijerat dengan sejumlah pasal berlapis, antara lain:

  • Pasal 303 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP tentang perjudian.
  • Pasal 45 Ayat 3 juncto Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE yang mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Atas dakwaan tersebut, ancaman hukuman maksimal yang bisa mereka terima mencapai 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.

  • Pengusaha dan politikus Indonesia diduga berada di balik bisnis judi online di Kamboja, bisakah polisi menjerat mereka?
  • Kecanduan judi online bisa sebabkan gangguan jiwa – Apa ciri-cirinya?
  • Kontroversi rekening judi online, apakah satgas pemberantasan bentukan pemerintah efektif?
  • Sadbor ditangkap, tapi sejumlah artis tidak diproses hukum – Benarkah polisi tebang pilih menangkap pelaku judi online?
  • Anak-anak SD di Indonesia kecanduan judi online sampai ‘ngamuk’, streamer game mengaku sengaja mempromosikan situs judi
  • Polisi tetapkan 24 tersangka sindikat judol Komdigi – Bagaimana modus operandi dan apa peran mereka?
  • Judi online marak di Indonesia: ‘Uang tabungan habis, mobil saya jual’
  • Ratusan warga China dibekuk lantaran ‘terlibat sindikat judi terbesar‘ di Vietnam
  • Kisah ketagihan judi: Pasang taruhan Rp1 miliar, lalu hilang segalanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *