Pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan menandatangani kontrak pembelian 48 unit pesawat tempur KAAN dari Turki, dengan nilai fantastis lebih dari Rp160 triliun. Kesepakatan strategis ini terjadi di tengah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang mengalami defisit serta dorongan kebijakan efisiensi anggaran yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto. Akibatnya, sumber pendanaan untuk akuisisi jet tempur generasi kelima ini sontak menjadi pertanyaan besar dari kalangan ekonom.
Bhima Yudhistira, Direktur lembaga riset Center for Economic and Law Studies (Celios), menyoroti bahwa sekitar 25% dari penerimaan pajak negara, setara dengan Rp552 triliun, habis dialokasikan untuk membayar bunga utang negara yang mencapai Rp800 triliun. Situasi ini diperparah dengan perkiraan Kementerian Keuangan bahwa defisit APBN sepanjang tahun 2025 akan mencapai angka sekitar Rp662 triliun. “Saya tidak mengerti, mau dibayar pakai apa? Uangnya [APBN] sudah hampir tidak ada, kecuali menambah utang. Tapi itu bisa membuat terperangkap utang dan menjadi negara yang gagal secara sistemik,” ujar Bhima Yudhistira pada Senin (04/08).
Lebih lanjut, Bhima mewanti-wanti bahwa jika pembelian pesawat tempur dengan anggaran jumbo ini tetap dipaksakan menggunakan APBN, ada potensi besar untuk mengurangi alokasi anggaran pada pos-pos belanja prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Sebagai perbandingan, biaya pembelian pesawat KAAN ini bahkan lebih besar dari total dana abadi pendidikan LPDP yang sebesar Rp154 triliun, atau setara dengan sepertiga dari anggaran perlindungan sosial Rp504,7 triliun yang menyasar puluhan juta warga.
Kewajiban utang Indonesia hingga akhir tahun 2024 sendiri telah mencapai Rp10.269 triliun. Sekitar 25% atau Rp552 triliun dari penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utang jatuh tempo tahun ini, yang totalnya mencapai Rp800 triliun. Bhima juga mencontohkan bahwa porsi bunga utang terhadap belanja pendidikan pada tahun 2025 adalah 76,3%, dan jika dibandingkan belanja kesehatan mencapai 256%. “Jadi kalau ditambah lebih besar lagi maka Indonesia dianggap berpotensi sebagai negara yang gagal secara sistemik. Artinya belanja bunga utangnya lebih tinggi daripada belanja kesehatan atau belanja pendidikan,” tambahnya, menegaskan bahwa kondisi ini bisa terjadi bahkan tanpa skenario resesi ekonomi.
Pembelian pesawat tempur ini bukanlah yang pertama di bawah kepemimpinan Prabowo. Sebelumnya, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga telah memesan 42 jet tempur Rafale dari Prancis dengan nilai kontrak lebih dari Rp130 triliun dan mengakuisisi sederet persenjataan lainnya, termasuk 12 unit Mirage 2000-5 bekas Angkatan Udara Qatar senilai Rp11,8 triliun, dua pesawat angkut Airbus A400M, dua kapal selam Scorpene dari Prancis, dan kapal perang fregat.
Dari sisi pertahanan, pakar militer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin, mengakui bahwa pembelian jet tempur memang krusial dalam rangka modernisasi kekuatan pelindung langit Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya pemerintah untuk mempertimbangkan secara seksama skema pembiayaan, kesiapan personel, serta pembaruan doktrin militer agar pesawat-pesawat tersebut dapat beroperasi secara optimal dan bermanfaat. Terkait pandangan para pengamat, BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemhan, Brigjen Frega Wenas Inkiriwang, namun belum ada tanggapan hingga artikel ini diterbitkan.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kontrak pembelian jet tempur tersebut, meskipun saat ini pemerintah tengah mewajibkan efisiensi anggaran demi menopang perekonomian. “Efisiensi bukan berarti tidak berbelanja. Memperkuat pertahanan dengan menggunakan alutsista-alutsista memang itu kita butuhkan, kita perlukan,” kata Prasetyo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, (04/08). Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang menegaskan bahwa efisiensi APBN dilakukan untuk realokasi anggaran ke kegiatan yang lebih produktif dan bermanfaat, termasuk memperkuat pertahanan di tengah ketidakpastian global.
Penandatanganan kontrak pembelian 48 jet tempur KAAN dari Turki dilakukan dalam rangkaian pameran pertahanan internasional (IDEF) 2025 di Istanbul pada Sabtu (26/07). Menurut Kementerian Pertahanan, hal ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan yang telah ditandatangani kedua negara pada 11 Juni 2025, saat acara Indo Defence di Jakarta, yang disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo.
Dilansir dari media spesialis militer, Army Recognition, KAAN adalah pesawat tempur generasi kelima dengan kemampuan siluman yang dikembangkan Turki selama hampir satu dekade. Pesawat yang dikembangkan oleh Turkish Aerospace Industries (TAI atau TUSAŞ) ini melakukan uji terbang perdana pada tahun 2024 dan dijadwalkan untuk diproduksi secara massal pada tahun 2028. KAAN dirancang untuk beragam misi vital seperti superioritas udara, serangan presisi, penaklukan pertahanan udara musuh (Suppression of Enemy Air Defenses/SEAD), hingga peperangan elektronik. Jet ini diklaim memiliki kemampuan siluman, supercruise, sensor fusion, dan operasi berbasis jaringan (network-enabled operation), yang memungkinkannya beroperasi tanpa mudah terdeteksi. Kecepatan jet ini mencapai 2.200 km/jam dengan ketinggian hingga 55.000 kaki dan radius tempur sekitar 1.100 km. Indonesia menjadi pembeli pertama jet tempur canggih ini, sementara negara lain seperti Azerbaijan, Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia juga telah menyatakan minatnya.
Selain pembelian pesawat KAAN, Kepala Biro Informasi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Brigjen Frega Wenas Inkiriwang, menyatakan bahwa kontrak ini juga merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat kapasitas industri pertahanan dalam negeri. “Basis industri lokal yang akan dibentuk di Indonesia diharapkan menjadi bukti nyata dari kemitraan yang saling menguntungkan dan berlandaskan pada persahabatan,” ujar Frega. Dalam proyek ini, dua entitas industri pertahanan nasional, yakni PT Republik Aero Dirgantara (PT RAD) dari pihak swasta dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dari BUMN, ditunjuk sebagai mitra utama Turkish Aerospace Industries. PT RAD, sebagai anak perusahaan Republikorp, akan bertanggung jawab dalam pembangunan fasilitas Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) utama jet tempur KAAN di Indonesia, serta mengurus operasionalisasi pusat pelatihan dan simulator untuk mendukung kesiapan personel TNI AU dan peningkatan kapasitas dukungan domestik yang mandiri. “Ini adalah momentum strategis untuk membawa kemampuan manufaktur dan peningkatan kapasitas dukungan domestik yang mandiri,” kata Norman Joesoef, pimpinan Republikorp. Sementara itu, PTDI berperan dalam proses perakitan akhir sebagian unit KAAN di Indonesia, kolaborasi rekayasa dan berbagi teknologi bersama TUSAŞ, serta kesiapan teknis dan pemeliharaan industri untuk memperkuat dukungan logistik nasional. Republikorp juga diketahui bekerja sama dengan Roketsan Turki untuk sistem rudal ÇAKIR dan PAVO Group dari Turki untuk sistem intelijen canggih bagi TNI, serta dengan perusahaan Prancis SECAMIC untuk pengembangan layanan MRO pesawat sipil dan militer di Indonesia.
Pengamat militer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhamad Haripin, mengemukakan bahwa pembelian pesawat tempur KAAN memang dibutuhkan mengingat jumlah dan kekuatan armada udara Indonesia masih jauh dari ideal. Hal ini terlihat dari simulasi operasi tempur, di mana respon TNI AU dan AL terhadap gangguan serentak di wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) masih terbatas pada wilayah Jawa atau Sumatra, menciptakan ketimpangan kekuatan. Selain ketersediaan dan keefektifan yang belum ideal, kekuatan dan teknologi jet tempur Indonesia juga masih terbatas. Kekuatan udara Indonesia saat ini bertumpu pada jet-jet tempur generasi empat dan sebelumnya, seperti 11 unit Sukhoi Su-30 MK2 Flanker dan lima unit Sukhoi Su-27 dari Rusia, serta 33 unit jet tempur F-16 Falcon buatan AS yang telah beroperasi sejak 1988 dan kini akan memasuki masa pensiun. Selain itu, ada satu skadron jet tempur ringan Hawk-200 buatan British Aerospace. Sekjen Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya TNI Donny Ermawan Taufanto, pada tahun 2022 pernah menyatakan bahwa mayoritas pesawat tempur Indonesia berusia lebih dari 20 tahun, dengan F-16 mencapai lebih dari 30 tahun dan Sukhoi mendekati 20 tahun, serta menghadapi keterbatasan suku cadang dan jumlah peluru kendali yang memengaruhi kesiapan tempur. Padahal, untuk memenuhi alutsista MEF tahap III periode 2020-2024, TNI AU menargetkan bisa memiliki 344 unit pesawat, 32 unit radar, 72 rudal, dan 64 unit penangkis serangan udara.
Peneliti militer BRIN, Haripin, mengidentifikasi beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam pengadaan pesawat KAAN dan persenjataan lainnya. Pertama adalah sumber pembiayaan, yang sejalan dengan Bhima, memerlukan cara pembayaran inovatif agar tidak membebani keuangan negara. Salah satunya adalah pembenahan tata kelola anggaran militer yang saat ini sebagian besar tersedot untuk belanja pegawai, dengan hanya sekitar 10-15% yang dialokasikan untuk pengadaan, riset, dan pengembangan teknologi. Oleh karena itu, Haripin menyarankan perampingan personel dan struktur agar anggaran militer dapat dialihkan ke alutsista dan teknologi. Upaya ini memerlukan pembaruan doktrin militer saat ini, yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang mengedepankan jumlah personel, padahal tren perang saat ini lebih bersifat terbatas dan terfokus pada aset strategis lawan. “Pola pikir demikian yang akhirnya kita ketinggalan dalam banyak hal, terutama dalam konteks alutsista ini,” ujarnya. Faktor selanjutnya adalah kesiapan personel dan sistem pertahanan di Indonesia dalam menerima beragam alutsista dari berbagai negara, mengingat setiap alutsista memiliki sistem pengoperasian yang berbeda, menjadi tantangan tambahan bagi operator. Komponen penting dalam militer, dikenal sebagai TEPIDOIL (pelatihan, peralatan, manusia, informasi, doktrin, organisasi, infrastruktur, dan logistik), harus dipertimbangkan secara komprehensif.
Di sisi lain, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpandangan bahwa pembelian KAAN telah tepat dan rasional, karena dilakukan dengan skema kontrak jangka panjang. “Artinya kita bisa tetap menjaga kesinambungan modernisasi tanpa harus mengorbankan stabilitas keuangan. Jadi menurut saya ini bukan belanja impulsif, tapi bagian dari strategi, ada pertimbangan geopolitiknya, efisiensi industrinya, dan juga kesinambungan kekuatan,” kata Fahmi. Ia melihat jet KAAN akan menjadi tulang punggung TNI AU pada tahun 2030 mendatang, sementara pembelian jet Rafale dari Prancis akan menjadi penjaga langit pada tahun depan. “Jadi yang penting saya kira pengawasan dan pengelolaannya yang harus diawasi dengan baik. Jangan sampai kita bisa mengadakan tapi tidak bisa memelihara dan merawat,” tambah Khairul.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Mohamad Tonny Harjono menyatakan, enam unit pertama Rafale diperkirakan tiba pada awal 2026. Dalam proses pembuatan Rafale, juga terjadi kerja sama alih teknologi (ToT) dan offset antara Dassault Aviation, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Len Industri. Rafale adalah pesawat tempur canggih generasi 4.5 yang dikenal sebagai salah satu andalan negara anggota NATO, dan termasuk dalam kategori pesawat omnirole yang mampu melakukan berbagai jenis misi mulai dari superioritas udara, pertahanan udara, dukungan udara jarak dekat, serangan in-depth, pengintaian udara, dan serangan anti-kapal.
- Pakistan klaim tembak jatuh pesawat Rafale milik India – Apakah Indonesia perlu was-was?
- Jet tempur Rafale buatan Prancis dan rencana Indonesia untuk perkuat alutsista, apa istimewanya?
- Rusia disebut tertarik menempatkan pesawat-pesawat militer di Biak, Papua – Seberapa strategis lokasi Biak?
- TNI masuk ranah perguruan tinggi di Bali hingga Papua, apa tujuannya?
- Tentara jaga kejaksaan, upaya Prabowo lemahkan pengaruh Jokowi?
- Mahasiswa UIN Walisongo Semarang ‘diteror’ anggota TNI buntut pemberitaan kehadiran militer di kampus – ‘Saya diancam dengan UU ITE’
- Disebut Prabowo ‘terlalu lemah’, seberapa kuat sistem pertahanan Indonesia?
- Seaglider tiga kali ditemukan di perairan Indonesia dalam dua tahun terakhir ‘bukti ketiadaan alat deteksi’
- Tragedi kapal selam KRI Nanggala: Kecelakaan ketiga libatkan kapal tua TNI, apa dampaknya bagi keamanan laut?