Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya untuk menempatkan pasukan di Gaza sebagai bagian dari upaya mewujudkan rencana perdamaian yang digagas oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kesiapan Indonesia ini disampaikan Prabowo dalam KTT ASEAN-Amerika Serikat di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 26 Oktober 2025, yang juga dihadiri oleh Trump.
Namun, hingga saat ini, rencana tersebut belum menemui titik terang. Israel bersikeras bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan negara asing mana yang boleh terlibat dalam pasukan perdamaian tersebut.
“Kami memegang kendali atas keamanan kami. Terkait pasukan internasional, Israel akan menentukan pasukan mana yang tidak dapat kami terima. Beginilah cara kami beroperasi dan akan terus beroperasi,” tegas Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Israel sebelumnya telah menolak niatan Turki untuk berpartisipasi dalam pasukan perdamaian di Gaza. Sementara itu, Yordania menyatakan keengganannya untuk terlibat jika misi pasukan tersebut adalah menegakkan perdamaian di Gaza.
Penempatan prajurit yang disebut sebagai Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) merupakan salah satu dari 20 poin rencana perdamaian yang diinisiasi oleh Trump.
Lantas, sejauh mana Prabowo dapat berperan dalam mendukung upaya perdamaian yang digagas Trump ini?
‘Bola di Tangan Israel’
Dalam pernyataan di sela-sela KTT ASEAN-Amerika Serikat di Kuala Lumpur, Prabowo menegaskan bahwa pemerintahannya siap dan berkomitmen untuk mendukung upaya perdamaian dan stabilisasi di Gaza, termasuk melalui pengiriman prajurit ke dalam pasukan perdamaian internasional.
“Mari kita memilih untuk berada di sisi sejarah yang benar,” seru Prabowo. “Marilah ASEAN dan AS menjadi mitra perdamaian, membangun perdamaian yang lestari, memupuk kerja sama yang membangun, dan memperkuat kemitraan yang memberikan manfaat nyata bagi rakyat kita dan dunia.”
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, berpendapat bahwa niatan Prabowo ini sejalan dengan konstitusi negara terkait keterlibatan dalam menjaga perdamaian dunia.
Namun, Rezasyah meragukan komitmen Prabowo akan berjalan mulus, karena keputusan pengiriman pasukan perdamaian tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah Indonesia. Ia merujuk pada pernyataan Netanyahu yang menegaskan bahwa pemerintahannya yang berhak menentukan negara asing yang terlibat dalam pasukan multinasional tersebut.
“Bola di tangan Israel,” ujar Rezasyah.
Untuk dapat berperan dalam mewujudkan pasukan perdamaian internasional, Rezasyah menekankan bahwa Prabowo perlu mengintensifkan lobi kepada Amerika Serikat dan PBB. Hal ini penting karena Amerika Serikat masih menjadi salah satu pihak utama yang dapat menekan Netanyahu.
“Bagaimanapun, harus ada komunikasi yang baik dengan Amerika Serikat dan Dewan Keamanan PBB. Lagipula, hubungan kita kan sudah semakin enggak mesra setelah kasus atlet gimnastik,” lanjut Rezasyah, merujuk pada penolakan Indonesia memberikan visa kepada para atlet Israel untuk mengikuti Kejuaraan Dunia Senam 2025 di Jakarta.
“Saya pikir cukup ikut [mandat] PBB, karena Dewan Keamanan PBB yang memberikan mandat akan diberikan kepada negara [kirim pasukan perdamaian].”
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Marco Rubio, mengungkapkan bahwa pemerintahan Trump telah mempertimbangkan untuk mengajukan resolusi PBB mengenai mandat bagi pasukan perdamaian di Gaza.
Pasukan multinasional tersebut bertujuan untuk menjadi kekuatan penstabil di wilayah Gaza, jelas Rubio di Doha, Qatar.
Rubio menambahkan bahwa pemerintah Amerika Serikat tidak akan mengirim prajurit mereka ke Gaza, tetapi telah membahas topik tersebut dengan Indonesia, Azerbaijan, Uni Emirat Arab, Mesir, Qatar, dan Turki.
Baca juga:
*   Pasukan internasional tidak akan mau menegakkan perdamaian di Gaza, kata Raja Yordania
*   Presiden Trump ajukan rencana perdamaian di Gaza – Apa saja butir-butir lengkapnya?
*   Tolak atlet Israel, Indonesia disanksi penyelenggara Olimpiade – Bagaimana kontroversinya?
Namun, Israel menyatakan penolakannya terhadap keterlibatan Turki dalam program tersebut.
“Negara-negara yang ingin atau siap mengirim pasukan bersenjata harus setidaknya adil terhadap Israel,” kata Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Sementara itu, Raja Abdullah dari Yordania menyatakan bahwa negaranya dan Mesir hanya bersedia melatih pasukan keamanan Palestina.
“Jika kami berpatroli di sekitar Gaza dengan senjata, negara manapun tidak ingin terlibat dalam situasi itu,” kata Abdullah dalam wawancara eksklusif dengan BBC.
Yordania telah menjadi negara penampung pengungsi Palestina terbesar di Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, dengan jumlah mencapai 2,3 juta orang.
Untung-Rugi Mengirim Pasukan Perdamaian
Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, meminta Presiden Prabowo untuk mempertimbangkan ulang rencana pengiriman prajurit ke dalam Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF).
Menurutnya, keberadaan ISF hanya akan melemahkan Hamas, sehingga memudahkan Israel untuk menguasai wilayah Palestina.
Faisal menilai bahwa poin-poin dalam proposal yang diusulkan Trump lebih banyak menguntungkan Israel. Ia menyoroti soal pelucutan senjata Hamas serta keberadaan *buffer zone* yang ditetapkan di dalam Gaza, yang justru semakin mengurangi wilayah tersebut.
Saat ini, Israel disebut telah menguasai lebih dari setengah wilayah Gaza.
Oleh karena itu, Faisal berpendapat, “Ini skenario Amerika Serikat dan Israel, supaya Hamas melemah dan Gaza akhirnya dikuasai Israel.”
“Poin kesepakatan itu sudah rentan sedari awal. Ada wilayah *buffer zone*, tapi kenapa di wilayah Gaza?” tanyanya.
Berbeda dengan Faisal, Teuku Rezasyah menilai bahwa pengiriman pasukan perdamaian internasional akan cukup membantu menstabilkan kondisi di Gaza. Ia percaya bahwa pasukan Indonesia memiliki kemampuan untuk mendekati Hamas sehingga perdamaian dapat segera tercapai. Di sisi lain, Hamas pun tidak memiliki resistensi terhadap Indonesia.
“Hamas tahu diri. Mereka melihat “abang” mereka yang datang. Saya percaya mereka akan bisa menahan diri jika pasukan kita ke sana,” ujar Rezasyah.
“Pasukan kita juga lengkap dan bisa menghargai kearifan lokal. Namun, yang harus dilakukan sekarang adalah harus berkoordinasi dengan Dewan Keamanan PBB.”
Kemlu Tunggu Mandat PBB
Sampai saat ini, posisi Indonesia dalam pasukan perdamaian internasional masih belum jelas, apakah sekadar penyokong atau menjadi pasukan inti.
Namun, sejumlah media Israel melaporkan bahwa Indonesia dan Azerbaijan akan menjadi pasukan inti ISF di Gaza.
Media *Israel Hayom* melaporkan bahwa pembahasan soal posisi Indonesia sempat muncul dalam diskusi antara Wakil Presiden Amerika Serikat saat itu, JD Vance, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Yvonne Mewengkang, tidak memberikan komentar lebih lanjut soal kabar prajurit Indonesia menjadi pasukan inti di Gaza.
Menurutnya, pemerintah Indonesia masih memantau perkembangan di Gaza dan “mendukung penuh upaya rekonstruksi pascaperang.”
“Seperti disampaikan Presiden RI dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB, Indonesia siap berkontribusi nyata dalam bentuk pengiriman pasukan penjaga perdamaian,” kata Yvonne.
“Itu jika PBB melalui Dewan Keamanan telah memberikan mandat resmi.”
Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta pada 20 Oktober, Prabowo menyebut bahwa pemerintahannya siap mengirimkan 20.000 personel perdamaian ke Gaza.
Soal jumlah itu, Yvonne belum memastikan, dengan mengatakan, “Pelaksanaan menyesuaikan kebutuhan dan mandat dari PBB.”
“Prinsipnya adalah setiap penugasan akan mengikuti keputusan dan kerangka yang ditetapkan Dewan Keamanan PBB.”
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Freddy Ardianzah, menyatakan kesiapan TNI jika pemerintah menginstruksikan pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza.
“Pada prinsipnya, TNI selalu siap melaksanakan setiap keputusan dan kebijakan pemerintah, dalam hal ini perintah langsung dari Presiden Republik Indonesia selaku Panglima Tertinggi TNI,” ujar Freddy.
Menurut Freddy, TNI telah memiliki satuan-satuan khusus yang siap diterjunkan untuk operasi di luar negeri, baik misi kemanusiaan maupun perdamaian.
“Segala bentuk keterlibatan TNI di luar negeri itu akan dilaksanakan sesuai mandat dan keputusan politik negara,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa penerjunan pasukan itu akan tetap selaras dengan kebijakan luar negeri Indonesia.
“Prinsipnya, TNI siap menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dan permintaan resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan memperhatikan aspek keamanan, kemampuan, dan mandat operasi,” pungkasnya.
*   Trump dan Netanyahu menyepakati rencana perdamaian di Gaza – Apa sikap Indonesia?
*   Siapa yang akan memerintah Gaza setelah gencatan senjata Hamas dan Israel?
*   Seberapa berat tugas membangun kembali Gaza? — ‘Lebih buruk dari memulai dari nol’

 
				
							

