Prabowo Temui Mahasiswa: Redam Demo atau Ada Agenda Lain?

Posted on

Belasan organisasi mahasiswa dari berbagai latar belakang, baik intra maupun ekstra kampus, melayangkan tuntutan mereka secara langsung di gedung DPR, Jakarta, pada Rabu (03/09). Aspirasi tersebut disambut dengan sejumlah janji dari pimpinan DPR, namun para peneliti mengingatkan potensi besar fenomena ini sebagai “politik performatif yang usang” apabila tidak diikuti dengan tindak lanjut yang nyata dan terukur.

Di tengah gelombang demonstrasi, kehadiran beberapa organisasi mahasiswa tersebut justru memicu pertanyaan mengenai legalitasnya. Salah satu yang disorot adalah BEM UI, yang tengah mengalami dualisme kepemimpinan. BEM UI yang hadir di hadapan anggota dewan ternyata merupakan bentukan rektorat, bukan hasil dari Pemilihan Raya yang sah diikuti oleh seluruh mahasiswa UI.

Inti dari tuntutan mahasiswa yang disampaikan mencakup desakan agar DPR mendesak kepolisian untuk segera membebaskan rekan-rekan mereka yang masih ditahan, menolak penambahan kewenangan polisi dalam revisi UU Polri, serta menuntut penghentian anggaran tunjangan bagi anggota DPR.

Para perwakilan mahasiswa tersebut diterima dan didengarkan oleh tiga Wakil Ketua DPR: Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurizal. Ketua DPR, Puan Maharani, berhalangan hadir dan hanya dapat menyampaikan salam.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengklaim bahwa beberapa tuntutan mahasiswa sudah mulai dipenuhi. “Khusus tunjangan dewan dihentikan sejak 31 Agustus 2025,” ujar Dasco, memberikan satu contoh konkret.

Tidak hanya mahasiswa, sehari setelah pertemuan tersebut, tepatnya Kamis (04/09), sejumlah perwakilan masyarakat sipil juga mendatangi DPR untuk menyerahkan tuntutan mereka dan diterima oleh anggota dewan.

Masih pada Kamis (04/09), rangkaian peristiwa berlanjut dengan diterima masuknya perwakilan mahasiswa ke Kompleks Istana, Jakarta. Mereka bertemu dengan Presiden Prabowo untuk menyampaikan aspirasinya, meski hingga kini hasil pertemuan tersebut belum diketahui publik.

Secara bersamaan, gelombang demonstrasi mahasiswa dan kelompok lainnya tetap berlanjut. Sejumlah aksi massa masih terlihat di area Gedung DPR dan di Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, menunjukkan bahwa desakan publik masih kuat.

Apa saja tuntutan mahasiswa di dalam gedung DPR?

Dalam pertemuan penting dengan pimpinan DPR, sejumlah organisasi mahasiswa hadir untuk menyampaikan suara mereka. Berikut adalah daftar perwakilan yang tercatat:

  • BEM UI pimpinan Agus Setiawan
  • Keluarga Besar Mahasiswa Trisakti
  • Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
  • Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
  • Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO)
  • Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
  • Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) DIPO
  • Perwakilan Universitas Pembangunan Nasional
  • Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Indonesia (Himapolindo)
  • Aliansi Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri seluruh Indonesia (DEMA PTKIN se-Indonesia)
  • BEM Seluruh Indonesia-Kerakyatan (BEM SI-Kerakyatan)
  • BEM Seluruh Indonesia (BEM SI)
  • Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (BEM PTMA) Zona III
  • BEM Nusantara
  • Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nadatul Ulama Se-Nusantara
  • Persatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
  • Perwakilan Universitas Trisakti

Mayoritas organisasi mahasiswa yang hadir tersebut menyuarakan aspirasi serupa terkait gelombang demonstrasi yang belakangan berujung ricuh. Mereka mengindikasikan adanya pihak yang “menunggangi” aksi ini dan mendesak agar dalangnya segera diusut tuntas.

Selain itu, mahasiswa menuntut pembentukan tim investigasi independen untuk menyelidiki dugaan makar, yang sebelumnya juga diutarakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Mereka menekankan bahwa tim investigasi ini harus bekerja secara independen, transparan, dan melibatkan elemen masyarakat luas.

Salah satu tuntutan mahasiswa yang paling mendesak adalah pembebasan segera para demonstran yang masih ditahan polisi di berbagai wilayah Indonesia. Di Jakarta saja, Komnas HAM mencatat angka mencengangkan: 1.683 orang ditangkap selama demonstrasi antara 25-31 Agustus.

Kekhawatiran semakin memuncak setelah aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka, menambah daftar panjang aktivis yang terjerat masalah hukum.

“Aktivis bukan kriminalitas. Bukan perusak negara,” tegas seorang perwakilan mahasiswa yang hadir, mencerminkan suara kolektif mereka.

Secara garis besar, berikut adalah ringkasan tuntutan utama organisasi mahasiswa yang disampaikan di DPR:

  • Pengesahan RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
  • Supremasi sipil: menolak dwifungsi TNI/Polri, mendorong reformasi kepolisian, serta mengembalikan TNI ke barak.
  • Reformasi DPR dan partai politik: membatalkan tunjangan/gaji yang besar, melakukan audit kinerja, dan “memecat anggota DPR yang toxic”.
  • Kebijakan ekonomi pro-rakyat: menghentikan kenaikan tarif listrik, air, dan BBM, mereformasi perpajakan, mengaudit BUMN, serta meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen.

Apa respons DPR?

Menanggapi gelombang kritik publik terkait kinerja dan fasilitas yang diterima anggota dewan, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan permintaan maaf. Ia menekankan bahwa permohonan maaf saja tidak cukup tanpa diikuti evaluasi dan perbaikan menyeluruh.

“Harus ada evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh, dan akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya,” janjinya, menegaskan komitmen DPR.

Dasco kemudian mengumumkan beberapa langkah konkret yang telah dan akan dilakukan DPR:

  • Penghentian tunjangan perumahan anggota DPR yang akan berlaku efektif mulai 31 Agustus 2025.
  • Moratorium perjalanan dinas luar negeri, diikuti dengan efisiensi kunjungan kerja di dalam negeri.
  • Reformasi DPR yang akan dipimpin langsung oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dengan tujuan mewujudkan parlemen yang lebih baik dan transparan.

Lebih lanjut, Dasco mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan pemerintah terkait sejumlah tuntutan mahasiswa, termasuk usulan pembentukan tim investigasi dugaan makar, pembahasan RUU Perampasan Aset, hingga upaya pengurangan pajak bagi masyarakat.

“Kawan-kawan sekalian akan diterima oleh pihak pemerintah besok (Kamis, 04/09), untuk menyampaikan langsung, ada beberapa hal yang nantinya itu harus dilakukan kerjasama antara DPR dan pemerintah,” jelas Dasco, menjanjikan kelanjutan dialog.

Menambahkan pernyataan Dasco, Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurizal mengonfirmasi bahwa kesepakatan mengenai penghentian tunjangan perumahan per 31 Agustus 2025 telah ditetapkan melalui dialog antara presiden, pimpinan DPR, dan pimpinan partai politik. Pimpinan fraksi akan bertanggung jawab untuk sosialisasi lebih lanjut.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Saan Mustopa menyinggung aspirasi krusial mahasiswa terkait pembebasan para aktivis yang ditahan dalam gelombang demonstrasi. Ia menyatakan DPR akan memilah kasus-kasus tersebut bersama kepolisian.

“Kalau murni demonstrasi, tentu akan kami komunikasikan kepada Kapolri agar bisa segera dibebaskan,” kata Saan, menekankan komitmen DPR terhadap demokrasi dan supremasi sipil, serta kesediaan mereka untuk menerima kritik publik.

Terkait pembahasan legislasi, Saan menegaskan komitmen DPR untuk menuntaskan sejumlah RUU prioritas, termasuk RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat.

Namun, Saan menjelaskan bahwa untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset, DPR perlu merevisi KUHAP terlebih dahulu. “Karena ini [RUU Perampasan Aset] terkait KUHAP, UU TPPU, UU Tipikor, supaya tidak tumpang tindih,” paparnya.

“Maka yang pertama akan diselesaikan adalah KUHAP, dan setelah itu kita akan masuk ke UU perampasan aset,” pungkasnya, memberikan gambaran prioritas legislasi.

Apakah mereka layak mewakili semua suara selama ini?

Pada Kamis (04/09), ratusan orang dari berbagai elemen, termasuk gabungan organisasi buruh dan aktivis, turut berdemo di Medan Merdeka Selatan, Jakarta, tepat di depan BSi tower. Mereka, yang semula berencana bergerak menuju Istana Negara, akhirnya dihadang polisi dan tertahan di seputaran Medan Merdeka Selatan.

Keputusan untuk tetap turun ke jalan ini merupakan bentuk desakan agar tuntutan 17+8 yang diinisiasi oleh masyarakat sipil, dan sebagian juga telah disampaikan di DPR, benar-benar dipenuhi sesuai tenggat waktu yang ditentukan.

“Untuk 17 tuntutan itu deadline besok (05/09), kami mendorong untuk ditepati. Sebagian sudah dipenuhi, seperti pertemuan dengan mahasiswa, tunjangan DPR dan menarik anggota DPR yang memancing kemarahan masyarakat,” ujar Dwi Yunanto, peserta demo dari Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak).

Di sisi lain, peserta demo bernama Putri menyuarakan kecurigaannya terhadap gerakan DPR dan pemerintah. “Melihat pemerintah dan DPR itu agak hopeless untuk direspons (tuntutannya). Perlu diperiksa satu per satu, anggota partai dinonaktifkan itu kan termnya tidak ada di UU MD3. Mereka tetap dapat hak mereka, digaji, dan tidak ada konsekuensi,” kritik Putri, mempertanyakan ketulusan dan dampak riil dari langkah-langkah yang diambil.

Putri juga mempertanyakan esensi dialog yang terjadi: “Periksa juga, berdialog ini apakah melibatkan berbagai kelompok? Apakah partisipasinya bermakna? Atau tokenisme saja? Ini kan yang sudah bertemu tapi juga banyak dipertanyakan kan siapa yang diajak.”

Permasalahan representasi semakin mengemuka ketika BEM UI yang terpilih melalui Pemilu Raya UI mempertanyakan legitimasi kehadiran Agus Setiawan sebagai wakil BEM UI dalam pertemuan dengan DPR.

Melalui pernyataan sikap resmi yang diunggah di akun @bemui_official, BEM UI yang sah menegaskan bahwa tuntutan yang diungkapkan Agus Setiawan tidak merepresentasikan hasil kesepakatan aliansi BEM se-UI. Mereka berpandangan bahwa kehadiran Agus menyesatkan publik karena bukan merupakan representasi sah dari mahasiswa UI.

Herlian, seorang partisipan dari Gejayan Memanggil, berpendapat bahwa tuntutan yang disampaikan oleh mereka yang hadir di Gedung DPR secara garis besar sedikit banyak mewakili suara yang juga telah digaungkan selama ini.

“Tapi alangkah baiknya nanti diadakan pertemuan lagi yang itu memang diwakili oleh akar rumput, bukan hanya sebagian orang yang mengklaim mereka mewakili ‘kita’ dalam hal ini,” Herlian menambahkan, menyerukan representasi yang lebih inklusif.

Oji dari Social Movement Institute, yang juga tergabung dalam Jogja Memanggil, berpandangan bahwa tidak ada satu organ maupun satu individu pun yang memiliki legitimasi khusus untuk secara eksklusif mewakili seluruh suara rakyat.

Menurut Oji, sejumlah poin yang disampaikan oleh para perwakilan di DPR memiliki benang merah yang kuat dengan aspirasi yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat selama ini.

“Tapi yang kami highlight itu kenapa pertemuan baru dilakukan saat sudah banyak korban yang berjatuhan. Bahkan teman-teman kami juga ditangkap. Kami juga melihat dan bisa ngebaca ini jelas sebagai upaya untuk menenangkan saja,” ungkap Oji, menyiratkan keraguan terhadap motif di balik dialog yang terlambat.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, memiliki pandangan senada. Menurutnya, panggilan dialog yang datang dari DPR maupun Presiden Prabowo cenderung bersifat politis, bukan dialog kerakyatan yang otentik. “Bagaimana dialog kerakyatan, representasi masyarakat diajak,” ujarnya.

Dewi menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa lagi menunggu. Persoalan yang ada saat ini merupakan akumulasi dari masalah struktural yang telah berlangsung bertahun-tahun, jauh melampaui masa satu tahun pemerintahan Prabowo.

“Kalau Presiden tidak mendiagnosa secara betul, maka nanti penyelesaiannya hanya jangka pendek, kemudian seperti pemadam kebakaran saja. Hanya untuk biar kemarahan masyarakat reda, tapi akar masalahnya enggak langsung dibongkar,” kritik Dewi, memperingatkan risiko solusi parsial.

Politik performatif atau serius mendengar rakyat?

Vidhyandika Djati Perkasa, peneliti senior dari departemen politik dan perubahan sosial CSIS, meyakini bahwa masyarakat saat ini semakin cerdas dan kritis dalam menyikapi tindakan yang dilakukan oleh para pejabat negara, baik dari eksekutif maupun legislatif.

“Yang kita butuhkan adalah suatu perubahan nyata. Bukan suatu kosmetik politik yang istilahnya itu untuk mengelabui. Seakan-akan memenuhi keinginan masyarakat. Itu udah enggak mempan lagi di dunia yang sangat terbuka dan kritikal,” tegas Vidhyandika, menyoroti kebutuhan akan substansi, bukan sekadar pencitraan.

Menurutnya, masyarakat sudah mulai memahami adanya upaya untuk mempersempit ruang publik. Ia memberikan contoh seperti pemberian konsesi tambang kepada sejumlah organisasi keagamaan, yang dapat dilihat sebagai salah satu cara kekuasaan membungkam elemen kritis masyarakat.

Selain itu, pertemuan Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka dengan sejumlah pengemudi ojek online, yang disertai pemberian sembako di Gondangdia, Jakarta, juga menuai pertanyaan dan memunculkan spekulasi publik.

Pertemuan DPR dengan mahasiswa pasca rentetan aksi sepekan yang kemudian menuai polemik ini dinilainya sebagai respons yang wajar terjadi. “Rasanya bangsa ini sudah sangat lelah dengan begitu banyak manipulasi. Memang saat ini, DPR dan pemerintah cukup terdesak sehingga melakukan hal ini untuk meredam amarah,” ucap Vidhyandika, menganalisis tekanan yang dihadapi pemerintah dan DPR.

Sebagai contoh, terkait pembatalan tunjangan, Vidhyandika menyarankan agar DPR membuka surat resmi pembatalannya secara transparan kepada publik. Hal serupa juga berlaku untuk penonaktifan anggota DPR; ia menekankan pentingnya memberhentikan secara penuh agar tidak lagi menerima hak dan fasilitas sebagai anggota dewan.

Ia juga melihat pertemuan atau dialog sebagai bentuk politik performatif lainnya. Vidhyandika memberikan gambaran ketika Presiden Joko Widodo di periode sebelumnya mengundang perwakilan Papua untuk membicarakan masalah di sana, namun justru mendapat kritik dari warga di Papua karena perwakilan tersebut dinilai bukan suara asli mereka.

“Jadi ada permasalahan representasi di sini sehingga kemudian muncul istilahnya elemen masyarakat buatan, massa pilihan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka sudah mendengarkan aspirasi. Bisa jadi juga ini upaya untuk memecah masyarakat di tengah krisis politik yang sering terjadi,” kata Vidhyandika, menyoroti potensi manipulasi representasi.

Profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Amalinda Savirani, berpendapat bahwa permasalahan sesungguhnya bukan hanya terletak pada pertemuan yang diinisiasi DPR, melainkan pada bagaimana tindak lanjutnya dan bagaimana publik dapat memantau proses tersebut secara transparan setelah audiensi.

“Agak sulit untuk berpikir positif bahwa itu akan punya efek seperti yang diinginkan oleh gerakan rakyat. Karena selama ini kan sering sekali mekanisme tindak lanjut aspirasi itu sangat tidak clear ya,” ujarnya, menyuarakan skeptisisme atas efektivitas janji.

Terlebih lagi, sebagian langkah yang dilakukan, bahkan oleh Presiden Prabowo dan DPR, justru menunjukkan kontradiksi yang mencolok. Misalnya, ketika para pendemo menuntut Kapolri mundur, respons yang diterima justru berupa makan malam bersama dengan anggota polisi dan TNI di depan gedung DPR, atau kunjungan menjenguk polisi yang terluka bahkan kenaikan pangkat.

Dalam upaya meningkatkan transparansi, warga kini berinisiatif membuat platform rakyatmenuntut.net agar publik bisa memantau perkembangan tuntutan 17+8 yang tengah digagas. “Kalau enggak ada langkah konkret, akhirnya jadi politik performatif lagi,” ucap Amalinda, menyoroti pentingnya aksi nyata.

Amalinda mengungkapkan bahwa situasi saat ini jauh lebih kompleks, mengingat persoalan yang dihadapi sudah sangat banyak dan menumpuk. Ini berbeda dengan gerakan 1998 yang memiliki tuntutan utama yang jelas, yaitu agar Soeharto mengakhiri kekuasaannya selama 32 tahun.

Tantangan lainnya, saat ini masyarakat berhadapan dengan elite yang terkesan satu suara, berlainan dengan kondisi 1998 di mana elitnya sudah terfragmentasi. Namun, dengan peranti yang tersedia di era modern ini, masyarakat berupaya mencari jalan keluar dan memperjuangkan tuntutannya dengan cara yang relevan dengan zamannya.

Sementara itu, pemerintah, menurut Amalinda, masih terjebak dengan cara-cara lama, yaitu berusaha meredam gejolak dengan pendekatan top-down yang bersifat formal, kurang menyentuh akar permasalahan.

“Saya khawatir itu jadinya seperti mengulang yang sudah negara lakukan selama ini. Enggak pernah ada partisipasi otentik. Itu kan salah satu yang bikin rakyat marah,” pungkasnya, menyoroti kurangnya partisipasi otentik sebagai pemicu kemarahan rakyat.

Bagaimana kelanjutan dari gelombang demonstrasi?

Oji dari Social Movement Institute menegaskan bahwa kondisi saat ini tidak bisa disamakan dengan 1998. Oleh karena itu, upaya menakuti masyarakat dengan isu rasisme, penjarahan, dan kerusuhan yang sempat muncul dapat dihalau dengan lebih efektif di era sekarang.

Ia mencontohkan, ketika terjadi penjarahan di rumah pejabat dan muncul kemungkinan toko milik etnis Tionghoa akan menjadi sasaran, banyak orang dengan sigap bersuara melalui media sosial untuk mengajak agar tidak terprovokasi. Demikian pula ketika ancaman unjuk rasa pada 1 September disebut akan rusuh, berbagai kota, termasuk Jakarta, justru menunjukkan aksi damai.

Bahkan, perpecahan antar kelompok yang selama ini kerap mengemuka, kata Oji, justru terurai ketika aksi beberapa hari lalu karena semua pihak memiliki tuntutan yang sama. “Kami enggak mau mengomparasikan dengan 1998 karena sudah terlalu usang dan sudah enggak relevan dengan zamannya sekarang,” jelasnya, menolak analogi yang dianggap tidak kontekstual.

Lalu, bagaimana kelanjutannya jika tuntutan tersebut tak kunjung dipenuhi?

Oji menyampaikan bahwa perjuangan kali ini ibarat lari maraton, yang membutuhkan strategi untuk menjaga kekuatan dan konsistensi. Bentuk perjuangan, menurutnya, bisa sangat bervariasi sejalan dengan beragam bentuk solidaritas yang terbangun di masyarakat.

Namun, sejumlah peserta aksi dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat, seperti Dwi Yunanto, Putri, dan Hartati, secara tegas menyampaikan kemungkinan untuk tetap turun ke lapangan apabila tuntutan yang telah diberi tenggat waktu tidak dipenuhi oleh pihak eksekutif maupun legislatif.

“Sekarang, selesaikan akar masalahnya. Revisi UU bermasalah seperti cipta kerja. Sahkan UU Perampasan Aset, UU Reformasi Agraria. Jangan ada kriminalisasi pendemo dan kekerasan aparat. TNI kembali ke barak. Bertahun-tahun ini tidak perubahan yang menyeluruh,” ucap peneliti Imparsial, Evitarossi Budiawan, menyuarakan desakan untuk reformasi fundamental.

Menurut Evitarossi, tuntutan yang bisa dijawab dengan cepat dan mendesak saat ini adalah pembebasan mereka yang ditangkap serta pengusutan secara transparan terhadap kasus-kasus korban meninggal dunia.

Vidhyandika Djati Perkasa dari CSIS mengingatkan bahwa situasi ini tidak akan berlangsung lama dan bahkan bisa bertambah parah jika pemerintah dan DPR tidak menunjukkan komitmen nyata dalam menjawab tuntutan publik yang kini terus bergulir.

  • Apa itu aksi damai dan tuntutan 17+8? – ‘Kami belum puas dengan janji, kami butuh bukti konkret’
  • Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’ – Apakah aksi massa bakal membesar?
  • Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
  • Dukungan warga Malaysia dan negara lain untuk aksi di Indonesia – ‘Pemerintah kita sama buruk dan korup’
  • Aliansi Perempuan desak penghentian kekerasan negara – Apa bedanya dengan gerakan Suara Ibu Peduli pada 1998?
  • Trauma kerusuhan 1998 usai rentetan aksi penjarahan – ‘Rumah dijaga TNI bisa dijarah, bagaimana rumah rakyat biasa?’
  • Demonstrasi di berbagai kota – Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata di kampus Unisba Bandung
  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
  • Sopir kendaraan taktis Brimob yang melindas Affan Kurniawan dihukum demosi tujuh tahun – ‘Kami mohon dibukakan maaf’
  • Aktivis Lokataru ditangkap buntut gelombang demonstrasi Agustus – ‘Pola yang berulang usai unjuk rasa besar’
  • Sepuluh orang meninggal dalam gelombang demonstrasi – ‘Negara harus menjawab tuntutan masyarakat’
  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *