“Apakah Anda seorang profesor kimia?” tanya hakim.
“Ya,” jawab Mamta Pathak, menggenggam tangannya dengan hormat, memberi salam namaste. Berbalut sari putih dan kacamata yang bertengger di hidungnya, pensiunan dosen ini berdiri tegar di hadapan dua hakim di ruang sidang Negara Bagian Madhya Pradesh, India Tengah. Penampilannya tenang, namun aura seorang ahli kimia forensik terpancar darinya; ia berbicara seolah tengah menyampaikan kuliah.
“Dalam post-mortem,” ujarnya dengan suara gemetar namun tetap tenang, “tidak mungkin membedakan antara luka bakar termal dan bekas luka bakar listrik tanpa analisis kimia yang tepat.”
Di meja hakim, Hakim Vivek Agarwal mengingatkannya. “Dokter yang melakukan post-mortem mengatakan ada tanda-tanda sengatan listrik yang jelas.”
Momen tersebut begitu unik, hampir surealis. Seorang perempuan berusia 63 tahun, dituduh membunuh suaminya dengan sengatan listrik, tengah menjelaskan kepada pengadilan bagaimana reaksi asam dan jaringan tubuh dapat mengungkapkan sifat luka bakar. Percakapan ini, yang terekam dalam video selama persidangan April lalu, viral di India dan menghebohkan internet. Ironisnya, pemaparan ahli ini tak cukup untuk membebaskannya dari jerat hukum. Suami Mamta telah meninggal, dan motif pembunuhannya berakar pada kecurigaan dan konflik rumah tangga yang mendalam.
Pada Juli berikutnya, Pengadilan Tinggi India menolak banding Mamta Pathak, menguatkan hukuman seumur hidup atas pembunuhan suaminya, Neeraj Pathak, seorang pensiunan dokter, pada April 2021. Sepanjang persidangan, Pathak menampilkan pembelaan yang gigih dan berapi-api, membela diri sendiri. Ia menunjuk celah dalam autopsi, kondisi isolasi rumah, dan bahkan memaparkan teori elektrokimia.
Namun, pengadilan menemukan bukti tidak langsung yang cukup kuat: Mamta diduga memberi suaminya pil tidur sebelum menyetrumnya. Di pengadilan, Mamta, seorang ibu dua anak, tampak tekun memeriksa berkas kasusnya yang tebal. Ia membolak-baliknya dengan penuh semangat.
“Pak, bekas luka bakar listrik tidak dapat dibedakan antara ante-mortem [sebelum kematian] atau post-mortem [setelah kematian],” tegas Mamta, mengutip buku forensik. “Bagaimana mereka [para dokter] menuliskannya sebagai bekas luka bakar listrik dalam laporan post-mortem?”
Secara mikroskopis, luka bakar listrik memang tampak serupa sebelum dan sesudah kematian, sehingga pemeriksaan standar seringkali tidak meyakinkan. Studi lebih teliti terhadap perubahan kulit, menurut sebuah makalah ilmiah, dapat mengungkapkan apakah luka bakar terjadi sebelum atau sesudah kematian. Perdebatan spontan tentang reaksi kimia pun terjadi antara Mamta dan hakim, yang penasaran dengan metodologi laboratoriumnya. Mamta menjelaskan berbagai asam, dan menekankan perbedaan yang dapat dideteksi menggunakan mikroskop elektron—sesuatu yang tak tersedia di ruang post-mortem.
Mamta dengan sabar menjelaskan mikroskop elektron dan berbagai jenis asam kepada hakim. Tiga pengacara perempuan di belakangnya tersenyum menyaksikan dedikasi Mamta. Ia melanjutkan penjelasannya, sambil menambahkan bahwa ia telah belajar hukum selama setahun masa penahanannya. Dengan cekatan membolak-balik berkas dan mengutip buku-buku kedokteran forensik, ia menunjukkan dugaan kecacatan dalam penyelidikan, termasuk lokasi kejadian yang tidak diperiksa secara menyeluruh dan kurangnya ahli listrik dan forensik yang berkualifikasi di tempat kejadian.
“Rumah kami diasuransikan dari tahun 2017 hingga 2022, dan inspeksi menunjukkan bahwa rumah tersebut terlindungi dari kebakaran listrik,” jelasnya.
Mamta juga menyebutkan riwayat penyakit suaminya, Neeraj, yang menderita tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Ia berpendapat bahwa penyebab kematian suaminya sebenarnya adalah penyempitan dan “pengapuran arteri koronernya akibat usia tua,” mungkin diakibatkan terpeleset dan mengalami hematoma, meskipun tak pernah ada pemindaian untuk memastikannya.
Neeraj Pathak, 65 tahun, ditemukan tewas di rumah keluarganya pada 29 April 2021. Autopsi menyatakan sengatan listrik sebagai penyebab kematian. Beberapa hari kemudian, Mamta ditangkap dan didakwa dengan pembunuhan. Polisi menyita kabel listrik sepanjang 11 meter dengan steker dua pin, rekaman CCTV rumah mereka, dan enam tablet pil tidur dari strip berisi sepuluh tablet.
Laporan post-mortem menyatakan syok kardiorespirasi akibat sengatan listrik sebagai penyebab kematian Neeraj, yang diperkirakan terjadi 36 hingga 72 jam sebelum otopsi dilakukan pada 1 Mei. “Tetapi mereka tidak menemukan sidik jari saya pada strip tablet tersebut,” kata Mamta kepada para hakim. Namun, argumennya dengan cepat terbantahkan, membuat Hakim Agarwal dan Devnarayan Sinha tetap tidak yakin.
Selama hampir empat dekade, Mamta dan Neeraj Pathak menjalani kehidupan kelas menengah yang tampak harmonis di Chhatarpur, sebuah distrik di Madhya Pradesh. Mamta mengajar kimia di perguruan tinggi negeri setempat, sementara Neeraj menjabat sebagai kepala petugas medis di rumah sakit milik pemerintah distrik. Pasangan ini membesarkan dua putra; satu menetap di luar negeri, dan yang lainnya tinggal bersama mereka.
Kematian Neeraj terjadi pada masa pandemi Covid-19. Neeraj menunjukkan gejala Covid dan diketahui tetap tinggal di lantai atas rumah. Mamta dan putranya, Nitish, tinggal di lantai bawah. Dua tangga menghubungkan kamar Neeraj ke galeri terbuka dan ruang tunggu klinik pribadinya, di mana enam stafnya beraktivitas.
Putusan pengadilan setebal 97 halaman mencatat bahwa Mamta melaporkan suaminya tidak sadarkan diri pada 29 April, namun baru melapor ke dokter atau polisi pada 1 Mei. Ia bahkan membawa putra sulungnya ke Jhansi—lebih dari 130 kilometer—tanpa alasan yang jelas, menurut keterangan pengemudi mereka. Mamta mengaku tidak tahu bagaimana suaminya meninggal saat melapor ke polisi.
Di balik kematian tragis ini, tersimpan kisah pernikahan yang bermasalah. Para hakim menyoroti perselisihan rumah tangga yang telah berlangsung lama. Pasangan ini hidup terpisah, dan Mamta mencurigai suaminya berselingkuh. Pada pagi kematiannya, Neeraj menelepon seorang rekannya, menuduh Mamta “menyiksanya”, menguncinya di kamar mandi, menahan makanan berhari-hari, dan menyebabkan cedera fisik. Ia juga menuduh Mamta mengambil uang tunai, kartu ATM, kunci kendaraan, dan dokumen deposito berjangka bank. Putra Neeraj meminta bantuan dan menghubungi seorang teman yang kemudian melaporkannya ke polisi, yang menyelamatkan Neeraj dari apa yang disebut sebagai “penyekapan”. Keadaan mereka yang terpisah semakin memperkuat kecurigaan pengadilan.
Mamta membela diri dengan menunjukkan dirinya sebagai “ibu terbaik,” memperlihatkan kartu ucapan selamat ulang tahun dari anak-anaknya dan foto-foto dirinya menyuapi suaminya serta foto keluarga. Namun, para hakim tetap tidak terpengaruh, menekankan bahwa kasih sayang tak menghapus motif. Seorang “ibu yang penyayang” juga bisa menjadi “istri yang mencurigakan,” menurut hakim.
Lima puluh menit setelah menyampaikan pembelaannya, ketenangan Mamta runtuh. “Saya tahu satu hal… saya tidak membunuhnya,” kata Mamta, suaranya melemah. Di saat lain, ia mengaku, “Saya tidak tahan lagi.” Mencoba meredakan ketegangan, Hakim Agarwal berkomentar, “Anda pasti sudah terbiasa dengan ini… Anda pasti mengajar selama 50 menit di perguruan tinggi.” “40 menit, Pak. Tapi mereka anak-anak kecil,” jawab Mamta. “Anak-anak kecil kuliah? Tapi jabatan Anda asisten profesor,” desak hakim. “Tapi mereka anak-anak, Pak,” jawabnya. “Jangan ceritakan kisah seperti itu kepada kami,” sela Hakim Agarwal tajam.
Mamta berjuang bukan hanya sebagai terdakwa, tetapi juga sebagai dosen yang mengubah ruang sidang menjadi laboratorium kimia, berharap membuktikan ketidakbersalahannya melalui sains. Namun, pada akhirnya, fakta-fakta yang ada terbukti lebih kuat daripada ilmu pengetahuan yang ia kuasai.