Anggaran Pendidikan Rp757,8 Triliun: Janji Kesejahteraan Guru yang Belum Terwujud?
Pemerintah Indonesia berencana mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Presiden Prabowo Subianto menyebutnya sebagai anggaran pendidikan “terbesar sepanjang sejarah”, naik dari Rp724,3 triliun di APBN 2025. Namun, klaim ini dipertanyakan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), yang menilai anggaran tersebut belum tentu berdampak pada kesejahteraan guru, terutama guru non-ASN.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah alokasi hampir setengah dari anggaran pendidikan, tepatnya Rp335 triliun, untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meskipun Presiden Prabowo menekankan pentingnya pendidikan berkualitas sebagai senjata ampuh mencetak SDM unggul, banyak pihak mempertanyakan kepatutan alokasi dana yang signifikan ini, mengingat masih banyak permasalahan fundamental pendidikan yang belum terselesaikan.
Pengumuman anggaran besar ini bertepatan dengan “Kado HUT RI dari Presiden untuk Guru”, berupa insentif bagi guru non-ASN, bantuan subsidi upah (BSU) guru non-formal (PAUD), dan insentif bagi 12.500 guru untuk melanjutkan pendidikan S1. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebut program-program ini sebagai terobosan pemerintah.
Namun, realitas di lapangan berbeda. Mila, seorang guru honorer PAUD di Jakarta Timur, yang selama lima tahun menggantungkan hidupnya dari “saweran” orang tua murid, mengungkapkan ketidakseimbangan antara janji kesejahteraan dan realita yang dihadapinya. Gajinya yang fluktuatif, berkisar antara Rp100.000 hingga Rp500.000 per bulan, hanya dapat terbantu dengan dana hibah Pemprov DKI Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia bahkan harus menjadi tukang masak hajatan.
Mendengar rencana alokasi dana besar untuk MBG, Mila mengatakan, “Harusnya yang adil”. Ia pun turut menyoroti berita mengenai tambahan tunjangan rumah bagi anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan, seraya menambahkan, “Awal dari mereka jadi anggota DPR, mereka jadi presiden, mereka jadi pejabat kan awalnya kan guru yang mengajar. Sedih. Kasihlah tunjangan (guru) yang memadai.”
Senada dengan Mila, Alfian Bahri, guru swasta non-ASN di Surabaya, menilai pengalihan anggaran yang besar ke MBG sebagai “misorientasi”. Ia berpendapat bahwa dana tersebut seharusnya diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan guru, baik ASN maupun non-ASN. Dengan anggaran MBG sebesar Rp335 triliun, Alfian menghitung bahwa setiap guru berpotensi menerima Rp7 juta per bulan jika dana tersebut dialokasikan secara merata.
Presiden Prabowo membela program MBG, mengklaim program tersebut telah meningkatkan angka kehadiran dan prestasi siswa serta menciptakan lapangan kerja. Program ini ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima. Namun, Iman Zanatul Haeri dari P2G menilai alokasi dana yang besar untuk MBG tidak banyak mengubah situasi kesejahteraan guru non-ASN.
P2G pun menjabarkan sejumlah permasalahan mendasar pendidikan yang perlu dibenahi, antara lain: belum adanya standar upah minimum guru non-ASN, rendahnya skor literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan PISA, peningkatan kompetensi guru, dan masih banyaknya guru yang belum mendapatkan tunjangan profesi. Mereka juga menyoroti belum terpenuhinya amanat Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pendidikan dasar gratis di sekolah dan madrasah swasta.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, bahkan mendesak Presiden untuk menghentikan alokasi anggaran pendidikan yang dianggapnya “ngawur”.
Meskipun pemerintah memberikan “kado” berupa insentif dan subsidi upah kepada guru, nilai insentif guru non-ASN justru berkurang dibandingkan tahun sebelumnya, meski jumlah penerima meningkat. Subsidi upah untuk guru PAUD non-formal sebesar Rp600.000 untuk dua bulan, sementara insentif guru non-ASN sebesar Rp2,1 juta untuk tujuh bulan. Namun, potongan pajak dan biaya administrasi membuat nilai bantuan tersebut berkurang di tangan penerima.
Alfian Bahri menilai bantuan insentif tersebut sarat muatan politis, sementara hak-hak dasar guru belum terpenuhi. Permasalahan kesejahteraan guru dan alokasi anggaran pendidikan yang kontroversial ini menunjukkan betapa kompleksnya tantangan dalam mewujudkan pendidikan berkualitas di Indonesia.
Baca juga:
- Guru honorer berjalan kaki 6km melintasi hutan dan sungai – ‘Gaji tidak cukup tapi ini demi anak-anak’
- Kasus 107 guru honorer di Jakarta dipecat karena dianggap ‘tak sesuai aturan’
- Pensiunan guru TK di Jambi diminta mengembalikan gaji dan tunjangan Rp75 juta – ‘Ini hak saya, masa saya harus membayar?’
- Gaji dan tunjangan anggota DPR lebih Rp100 juta per bulan – ‘Tidak patut saat masyarakat kesulitan ekonomi’
- Pidato RAPBN Prabowo bahas MBG, pengangguran, dan nasib IKN — Apa kata ahli ekonomi?
- Ratusan guru Sekolah Rakyat mundur – Bagaimana nasib para murid?