Tragedi ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025 yang menewaskan 63 santri, kini memicu polemik nasional terkait rencana pembangunan ulang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Usulan ini, meski mendapat dukungan dari sejumlah pihak, menuai kritik tajam dari berbagai pengamat kebijakan publik.
Wacana penggunaan APBN untuk Ponpes Al Khoziny pertama kali digaungkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, pada 14 Oktober 2025. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang besar di lingkungan pesantren ini berargumen bahwa Ponpes Al Khoziny, dengan 1.900 santri, sangat layak dibantu. “Mau dibiarkan di tenda? Pemerintah mau diam saja?” tanya Muhaimin, bahkan menantang balik pihak DPR yang memprotes, “apa solusi Anda? Dengan 1.900 santri yang sedang belajar.” Dukungan serupa datang dari Ketua GP Ansor Banten, Adam Marifat, dan anggota Komisi V Fraksi PKB, Syaiful Huda. Menanggapi polemik ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pemerintah tak menutup kemungkinan, namun masih menanti proposal dan rincian sumber dana.
Namun, rencana ini dibantah keras oleh sejumlah pengamat. Herry Gunawan, Pengamat Kebijakan Publik dari Next Indonesia, pada Rabu (15/10) menjelaskan kepada BBC News Indonesia bahwa APBN memang memiliki pos anggaran untuk bantuan sosial. Namun, dana tersebut hanya bisa disalurkan jika suatu peristiwa telah ditetapkan sebagai bencana nasional. “Pertanyaannya, apakah [Al Khoziny] sudah ditetapkan sebagai bencana nasional?” ujar Herry, menegaskan bahwa hingga kini belum ada penetapan status tersebut. Akibatnya, rekening dana sosial di Bank Indonesia tidak dapat digunakan. Herry menambahkan, penggunaan dana sosial APBN diatur sangat ketat, membutuhkan penetapan bencana nasional, penetapan Kementerian/Lembaga pemilik Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta rincian Daftar Pelaksanaan Isian Anggaran (DIPA) agar tata kelola pemerintahan tidak rusak.
Senada dengan Herry, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Parlaungan Iffah Nasution, menilai rencana tersebut “tak dapat dibenarkan”. Menurut Parlaungan, Pondok Pesantren Al Khoziny merupakan entitas privat berbentuk yayasan, bukan milik negara. Oleh karena itu, penggunaan APBN untuk membangunnya kembali akan menimbulkan ketidakadilan fiskal. “Pemerintah harus dapat memisahkan secara tegas antara milik pribadi dan negara,” tegasnya, terutama tanpa adanya audit dan akuntabilitas menyeluruh terhadap penyebab tragedi. Ia mengingatkan bahwa dana yang masuk ke yayasan akan menjadi kekayaan yayasan, bukan lagi bagian dari keuangan negara.
Kritik terhadap usulan penggunaan APBN juga disuarakan oleh anggota Komisi VIII dari Fraksi Golkar, Atalia Praratya, yang berpendapat bahwa proposal tersebut harus dikaji secara serius. Sikapnya ini bahkan berujung pada aksi unjuk rasa sekelompok orang yang mengaku santri di kediamannya di Bandung, Jawa Barat, pada 14 Oktober, dengan argumen “sejarah peradaban Indonesia merupakan peradaban yang dijalankan pesantren.”
Baik Herry Gunawan maupun Parlaungan Iffah Nasution menyarankan pemerintah mencari sumber dana alternatif jika tetap ingin membantu pembangunan ulang Ponpes Al Khoziny. Dana tersebut bisa berasal dari dana operasional presiden dan wakil presiden, sumbangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Danantara, atau skema dana hibah yang diatur dalam Undang-undang Yayasan, termasuk dari masyarakat dan Corporate Social Responsibility (CSR). Memaksakan penggunaan APBN dinilai akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan anggaran negara.
Di sisi lain, penyelidikan mendalam atas ambruknya bangunan masih terus berlangsung. Koordinator Jaringan Alumni Santri Jombang dan Aktivis Gusdurian Jawa Timur, Mohammad Anshori, mengapresiasi niat baik pemerintah untuk membantu, namun menegaskan bahwa “bukan itu masalahnya”. Menurut Anshori, akar masalah sesungguhnya adalah dugaan kelalaian konstruksi fatal yang merenggut nyawa 63 santri. Ia mendesak aparat kepolisian untuk bersikap tegas dalam mengungkap penyebab tragedi, termasuk segera menetapkan tersangka. “Sangat mungkin ada kelalaian spesifikasi yang harus diaudit terlebih dahulu,” katanya, seraya menuntut pertanggungjawatan dari kontraktor, pengawas, dan pihak terkait lainnya.
Anshori juga menyoroti pengakuan sejumlah santri yang dilibatkan dalam proses pengecoran bangunan yang rubuh, bahkan disebut sebagai bentuk hukuman. Ia mendesak praktik ini dihentikan, mengingat pengecoran membutuhkan keahlian khusus dan tidak bisa dilakukan sembarang orang, terutama anak-anak. Hal ini, menurut Anshori, melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak yang melarang eksploitasi anak di bawah umur. “Upaya kritik kepada pesantren harus dipahami sebagai upaya menghasilkan itu [pesantren] menjadi lebih baik lagi. Jangan dipahami sebagai upaya mendiskreditkan pesantren,” pesannya.
Dari kalangan keluarga korban, Hamida Soetadji asal Sedati, Sidoarjo, mendesak percepatan identifikasi jenazah agar keluarga dapat segera memakamkan. Meski tim DVI Polda Jawa Timur berdalih kondisi jenazah yang rusak butuh waktu lama, identifikasi lima jenazah terakhir dari total 63 korban telah dituntaskan pada 15 Oktober di RS Bhayangkara HS Samsoeri Mertojoso Surabaya. Hamida juga menuntut transparansi penuh dalam proses hukum, mulai dari aspek konstruksi hingga pihak yang mengarahkan anak-anak beraktivitas di area pembangunan. “Ini akan menjadi pertaruhan, supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi,” ujarnya, sembari mempertanyakan apakah kondisi overcapacity santri menjadi pemicu pembangunan yang terburu-buru dan berisiko.
Hingga 15 Oktober, Kepolisian Daerah Jawa Timur belum menetapkan tersangka dalam kasus ambruknya Ponpes Al Khoziny. Juru Bicara Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Jules Abraham Abast, menyatakan tim penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) masih memeriksa saksi-saksi dan telah melibatkan ahli dari berbagai bidang seperti pidana, konstruksi, dan forensik. Penyelidikan, yang telah meningkat ke tahapan penyidikan sejak 13 Oktober, telah memeriksa 17 saksi dan sejumlah saksi tambahan. Abast meminta waktu dan kesabaran, menegaskan bahwa proses ini tidak bisa dilakukan tergesa-gesa demi memastikan penyelidikan berjalan komprehensif dan berbasis keilmuan.
Wartawan Petrus Riski dan Roni Fauzan di Surabaya berkontribusi dalam laporan ini.