Polemik Royalti Musik di Indonesia: Pemerintah Jadi Penonton?
Musisi, pelaku usaha, dan masyarakat kini berada dalam pusaran polemik pembayaran royalti lagu. Pengamat menilai, pemerintah terkesan hanya menjadi penonton di tengah kisruh ini, minim dalam memberikan informasi dan sosialisasi yang memadai terkait royalti musik.
Keresahan melanda para pelaku usaha, terutama setelah kasus pengelola restoran Mie Gacoan di Bali yang ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin. Dampaknya, banyak restoran dan kafe kini memilih untuk membungkam musik, menciptakan suasana hening yang tak biasa.
Di sisi lain, para musisi mempertanyakan transparansi laporan royalti yang seharusnya menjadi hak mereka. Keterbatasan informasi mengenai prosedur dan perhitungan royalti membuat sebagian musisi enggan mendaftarkan diri ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Sebuah langkah hukum pun ditempuh. Sejak Maret lalu, 29 musisi mengajukan uji materi Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi, terkait aturan royalti yang dianggap bermasalah. Pengajuan ini terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025, menunjukkan keseriusan para musisi dalam memperjuangkan hak mereka.
Pemerintah dan LMKN, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengumpulan royalti, didesak untuk segera memberikan solusi nyata atas polemik yang berkepanjangan ini.
Kafe dan Restoran Mendadak Hening
Suasana berbeda terasa di sebuah kedai kopi waralaba di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (04/08). Hanya deru mesin kopi dan obrolan lirih yang terdengar dari empat pengunjung. Biasanya, kedai ini selalu diisi dengan lagu-lagu kekinian, baik dari dalam maupun luar negeri.
“Sudah semingguan ini tidak boleh pasang lagu lagi. Katanya karena harus bayar,” ujar Sinta (29), seorang pelayan di kafe tersebut.
Sinta dan rekan-rekannya terbiasa memutar lagu-lagu populer dari gawai yang terhubung ke pengeras suara bluetooth. Kedai kopi itu bahkan berlangganan layanan musik digital untuk memfasilitasi pemutaran lagu.
Namun, Sinta baru menyadari bahwa berlangganan layanan musik digital tidak serta merta memberikan izin untuk memutar lagu di tempat komersial. “Ternyata cuma boleh didengerin sendiri ya. Mikirnya kan ini udah langganan, jadi ya bebas mau disetel di mana-mana,” katanya.
Bagi Sinta, musik bukan hanya hiburan bagi pengunjung, tetapi juga penyemangat kerja. “Kadang kita pasang lagu yang kita suka juga biar enak mood-nya. Sekarang ya sepi aja begini,” keluhnya.
Di Semarang, Jawa Tengah, suasana sebuah kafe minimalis dekat Simpang Lima masih diisi dengan lagu “Is It The Answer” dari Reality Club. Temy (35), yang telah bekerja di kafe itu selama tujuh tahun, mengatakan bahwa musik sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman menikmati kopi dan kudapan di sana.
Seperti kedai kopi di Jakarta, kafe tempat Temy bekerja juga berlangganan layanan musik digital. Ia mengaku akan mencari solusi lain jika kafenya harus membayar royalti musik.
“Kalau kebijakan itu untuk musik Indonesia saja, kita pilih yang dari luar saja. Kalau sama-sama kena royalti, ya enggak usah pakai musik sekalian,” kata Temy kepada wartawan Kamal dari BBC News Indonesia.
Khalis, pemilik kafe di Kota Medan, Sumatra Utara, juga menggunakan layanan musik digital untuk memutar beragam genre musik bagi pelanggannya. Ia khawatir kehilangan pelanggan, terutama anak muda, jika kafenya tak lagi memutar musik.
Meski demikian, ia akan mematuhi aturan jika memang diwajibkan membayar royalti musik. “Kalau sekarang saya kurang setuju [pengutipan royalti]. Tapi kalau pemerintah sudah menjalankan dengan lebih tegas, saya sebagai pemilik usaha terpaksa mengikutinya,” ujar Khalis kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara dari BBC News Indonesia.
Fadli, pemilik kafe lain di Kota Medan, memiliki pandangan berbeda. Ia merasa musik tidak terlalu penting bagi pelanggannya. Oleh karena itu, ia tidak khawatir dengan isu royalti lagu. “Karena dari awal kami tidak memakai musik, kami tidak pernah membayar itu [royalti lagu],” ujarnya.
Boby (41), manajer kafe di Kota Semarang, mengaku terkejut dengan kebijakan royalti yang dibebankan kepada pengusaha kafe, restoran, hotel, dan lainnya.
“Semua pengusaha kafe juga lagi sibuk bahas itu di grup Whatsapp pengusaha kafe Semarang. Sampai ada list musik yang tidak mempermasalahkan jika diputar di kafe, seperti Peterpan, Iwan Fals, dan lainnya,” ungkapnya sambil menunjukkan telepon genggam miliknya.
Bagi Boby, masalahnya bukan hanya soal royalti, tetapi juga kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Banyak pelaku usaha yang belum mengetahui aturan ini. Ia juga mempertanyakan apakah uang royalti benar-benar sampai ke para musisi.
“Jangan-jangan dibuat aji mumpung [peluang] buat pemerasan berbentuk undang-undang,” kata Boby dengan nada curiga.
Bagaimana Sebenarnya Aturan Royalti Musik? Bagaimana dengan Suara Alam?
Aturan mengenai pembayaran royalti sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang kemudian diperjelas dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Dalam PP tersebut, terdapat 14 jenis layanan publik yang bersifat komersial dan wajib membayar royalti jika menggunakan lagu dan musik. Jenis layanan tersebut meliputi:
- Seminar dan konferensi komersial
- Restoran, kafe, pub, bar, bistri, kelab malam, dan diskotek
- Konser musik
- Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut
- Pameran dan bazar
- Bioskop
- Nada tunggu telepon
- Bank dan kantor
- Pertokoan
- Pusat rekreasi
- Lembaga penyiaran televisi
- Lembaga penyiaran radio
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel
- Usaha karaoke
Penarikan dan pengelolaan royalti dilakukan oleh LMKN. Royalti dikumpulkan berdasarkan laporan penggunaan data lagu/musik yang terdaftar di Sistem Informasi Lagu/Musik. Hasil pengumpulan royalti kemudian didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Tarif royalti diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016. Misalnya, promotor konser harus membayar 2% dari hasil kotor penjualan tiket (gross ticket box) ditambah 1% dari nilai tiket yang digratiskan. Tarif hotel didasarkan pada jumlah kamar, sedangkan tarif pertokoan disesuaikan dengan luas area.
Sistem yang digunakan adalah sistem blanket, yang menetapkan tarif tetap untuk tempat usaha yang memutar seluruh katalog musik yang dilindungi, tanpa batasan jumlah lagu atau frekuensi pemutaran. Tarif ini berlaku selama satu tahun dan dapat diperbarui. Artinya, pembayaran tarif bukan dihitung per lagu atau berdasarkan berapa banyak lagu yang diputar.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, memahami adanya perbedaan persepsi di kalangan pelaku usaha. Banyak yang beranggapan bahwa berlangganan layanan musik digital sudah mencukupi legalitas terkait pemutaran musik di ruang publik.
“Padahal aturannya tidak demikian. Ini yang belum dipahami oleh semua pelaku usaha. Pemerintah harus jelas melakukan sosialisasinya agar tidak ada banyak persepsi yang ujung-ujungnya malah pidana,” kata Yusran.
Kurator musik, Dimas Ario Adrianto, menjelaskan bahwa membeli rilisan fisik atau berlangganan layanan musik digital hanya diperuntukkan untuk penggunaan pribadi. “Haknya tidak otomatis meliputi pemutaran di ruang usaha.”
Memutar lagu/musik di depan pelanggan dianggap sebagai penggunaan komersial dan memerlukan pembayaran lisensi pengumuman, yang mencakup hak atas komposisi musik dan hak atas rekaman suara yang disalurkan melalui LMK. Aturan ini berlaku untuk pemutaran lagu melalui radio maupun televisi, baik untuk lagu Indonesia maupun lagu asing.
Lagu religi hingga lagu daerah pun berpotensi terkena royalti hak terkait atas rekaman suara ulang atau cover version. “Komposisi musiknya bisa bebas royalti, tapi rekaman suara ulangnya bisa kena hak terkait.”
Bahkan, rekaman suara alam, kicau burung, dan lain-lain tetap dianggap sebagai fonogram karena ada musisi, produser, dan label yang merekam dan merilisnya. “Hak atas fonogram itu termasuk hak terkait. Jadi, pemutarannya di ruang publik tetap wajib dapat royalti,” tegas Dimas.
Bagaimana Penerapan Royalti Selama 10 Tahun Terakhir?
Penyanyi Dewi Gita, meski rutin menerima laporan tiap tahun, menilai bahwa penghitungan royalti dari LMKN kurang transparan. Ketidakjelasan ini menjadi keluhan utama para pencipta lagu dan pemegang hak cipta.
“Para pencipta lagu atau yang punya hak cipta kadang merasa tidak puas. Yang merasa lagunya memang hits, tapi kok dapatnya sedikit? Penghitungannya itu seperti apa, datanya seperti apa? Misal yang dapat sedikit walau lagunya hits itu ternyata hitsnya hanya di Jakarta bagian mana, tapi di daerah lain tidak. Ini perlu diketahui pencipta lagu,” ungkap Dewi.
Ia berharap LMK lebih tertib dan transparan. Selama ini, laporan yang diterima hanya berupa besaran persentase dan nominal yang dibayarkan.
“Di situ hanya tertulis, misal laguku Penari sepanjang 2024 hanya diputar 1%, terus dapatnya 150 perak (Rp150). Hanya gitu doang. Jadi, memang kurang detil dan kurang penjelasan. Enggak ada 1% di area mana, di lingkup mana,” jelas Dewi.
“Ingin lebih jelasnya di situ, enggak hanya kesannya ya udah lah dapat segitu ya udah aja. Banyak pencipta lagu yang menginginkan haknya benar-benar transparan dan benar-benar didapatkan sejelas mungkin,” tambahnya.
Dewi Gita juga mengajak para musisi untuk lebih aktif. Bagi yang sudah mendaftar, ia menyarankan untuk terus berupaya dan tidak menyerah karena ini berkaitan dengan hak mereka. Bagi yang belum mendaftar, ia menyarankan untuk segera mendaftar karena prosesnya tidak sulit, hanya memerlukan identitas diri, karya, dan rekening aktif.
Penyanyi Melly Goeslaw juga mengungkapkan perolehan royaltinya dalam setahun, yaitu sebesar Rp4,9 juta. Ia menekankan bahwa nominal royalti tidak bersifat tetap, sehingga ia terus mendorong transparansi dari LMK. “Kadang bisa gede banget, kadang bisa kecil banget,” ujar Melly.
Gitaris Satriyo Yudi Wahono, atau Piyu dari Padi Reborn, mengungkapkan kepada Kompas.com bahwa nominal royalti yang ia terima melalui LMKN/LMK tahun lalu sekitar Rp125.000. Pada 2022, royalti yang diterima sekitar Rp349.283.
Pengamat musik, Wendi Putranto, menyadari bahwa metode distribusi yang dianggap tidak akurat ini menimbulkan masalah kepercayaan.
“Jadi ada trust issue, bagaimana metode yang akurat nih untuk bisa menghasilkan report yang fair gitu. Karena kan pembagian royaltinya juga masih agak membingungkan.”
Sementara itu, sejumlah musisi seperti Endah Widiastuti memilih untuk mengumpulkan dan mengelola royalti secara mandiri melalui agregator. Royalti jenis ini berbeda dengan royalti yang saat ini sedang ramai dibicarakan.
Royalti melalui agregator atau layanan musik digital disebut royalti mekanis. Sedangkan royalti yang terkait dengan konser dan pemutaran di ruang publik disebut royalti pertunjukan/pengumuman.
Tim pengawas LMKN dan LMK, Candra Darusman, menjelaskan bahwa perolehan royalti dari LMKN mengalami peningkatan pesat dibandingkan dengan eranya pada tahun 1991. Saat itu, royalti yang dikumpulkan hanya sekitar Rp495 juta. Pada tahun 2024, distribusi royalti mencapai Rp54,2 miliar, berdasarkan data dari LMKN.
Meskipun mengalami peningkatan, Candra terus menekankan pentingnya transparansi. “Pembagian royalti harus lebih adil dan transparan dan untuk itu tentu diperlukan infrastruktur, data dan juga solusi IT yang tepat guna, yang pas buat mereka,” ucap Candra.
Menurut Candra, transparansi juga menjadi tanggung jawab LMK lain. Ada 12 LMK yang menjadi tempat LMKN menyalurkan hasil pengumpulan royalti. LMK inilah yang berkewajiban melakukan transfer kepada para penerima royalti.
“Kami menilai ada LMK yang bagus dan profesional. Ada LMK yang tidak. Itu kami laporkan semua kepada menteri hukum yang harus mengambil keputusan apakah diperpanjang atau tidak izin operasional LMK itu. Anggota bisa bertanya pada LMK masing-masing.”
Candra menjelaskan cara penghitungan royalti yang didistribusikan kepada musisi dan pencipta lagu. Secara umum, ada nilai satu kali putar yang diperoleh dari jumlah royalti terkumpul dibagi jumlah lagu yang diputar dalam setahun berdasarkan laporan pemakaian lagu dari para pengguna yang melaporkan.
“Nah, nilai satu kali putar untuk tiap pencipta lagu atau musisi ini tergantung prestasi lagu. Kalau lagu diputar terus-menerus gitu atau lagi hits gitu ya dapatnya banyak gitu. Secara umum, formulanya begitu,” ucap Candra.
Wendi Putranto, yang pernah menjadi jurnalis musik, menuturkan bahwa sejak tahun 2008, urusan royalti masih terkendala masalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Akibatnya, informasi yang diterima seringkali simpang siur.
“Dari sisi kesadaran para penggunanya ini masih cukup rendah. Tapi mungkin karena dari sisi edukasinya masih belum berjalan karena masih banyak korporasi dan para pengusaha yang belum memahami konsep hak cipta di sini,” kata Wendi.
“Bagaimana hak cipta itu bekerja. Karena ini adalah aturan legal formal dari undang-undang yang mana itu memiliki sanksi juga sebenarnya.”
Uang Royalti Mengalir ke Mana?
Boby (41), manajer sebuah kafe di Semarang, sempat melihat aturan tarif royalti dari temannya yang juga memiliki kafe.
“Angka Rp120.000 per kursi itu sangat besar. Meja dengan empat kursi itu, belum tentu yang nempati empat. Bisa dua atau tiga. Kalau lagi sepi gitu, jangan kan untung. Balik modal saja sudah bersyukur,” kata Boby.
Menurutnya, omzet kafenya menurun sejak Juli 2025. Kondisinya, ujar dia, justru lebih berat dibandingkan masa pandemi. Ia terpaksa mengurangi karyawan dan mengatur ulang jam kerja.
“Jujur meresahkan ya. Indonesia ini lagi banyak isu, daya beli turun, isu perpajakan, rekening diblokir. Nah, sekarang ada royalti,” ujarnya dengan nada prihatin.
Temy (35), pekerja kafe di Semarang, juga mengakui bahwa pendapatan tempatnya bekerja menurun. “Pastinya ngefek [pembayaran royalti], karena ada pengeluaran tambahan lagi,” ucap Temy.
Sekjen PHRI, Maulana Yusran, mengatakan bahwa aturan mengenai okupansi dan jumlah kursi tidak memiliki simulasi penghitungan yang jelas, sehingga membuat para pelaku usaha kebingungan. Pembayaran royalti berpotensi menjadi biaya tetap operasional bisnis jika merujuk pada aturan yang ada.
“Persoalannya, usahanya itu sekarang memang jualan lagu untuk bisnis atau hanya untuk membangun mood pengunjung? Kalau sebagai mood saja, pilihannya bisa tidak memutar lagu akhirnya. Tapi kan ada banyak penyanyi atau home band kafe yang hidupnya dari hotel, restoran, dan kafe,” ujar Yusran.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa aturan okupansi dan jumlah kursi tidak dihitung penuh.
“Bukan 100% okupansi atau jumlah kursi dikali 365 hari. Kita beri kemudahan kurang lebih 60% okupansi atau tingkat ketergunaannya dan Rp 120.000 bukan penuh 365 hari, bahkan enggak sampai 300 hari,” ujar Dharma.
Selain itu, bisnis kuliner, terutama kafe berskala UMKM, diberikan keringanan tarif royalti. Besaran keringanan tersebut ditetapkan oleh menteri atau Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Para pelaku usaha dan bahkan para musisi mempertanyakan aliran dana royalti ini, karena merasa distribusinya kurang transparan.
Dharma mengklaim bahwa pihaknya berusaha transparan dengan rutin menampilkan besaran royalti yang dikumpulkan.
Namun, saat diperiksa dalam laman LMKN.id, data yang diberikan hanya berisi nominal dan distribusi ke tiap LMK. Detail mengenai asal royalti hingga penggunaannya tidak tercantum dalam laporan yang diberikan.
Padahal, sebagian royalti dialokasikan untuk dana operasional dan dana cadangan. Dana ini umumnya berasal dari royalti yang tidak diklaim pemiliknya selama dua tahun atau pemilik hak ciptanya belum terdaftar di LMK.
Dana operasional digunakan untuk kelangsungan kinerja LMKN sebagai lembaga nirlaba dan non-APBN. Dharma mengklaim bahwa dana cadangan digunakan untuk memberikan sumbangan kepada para pemilik hak cipta yang mengalami kesulitan finansial atau menderita sakit keras.
Sayangnya, detail pelaporan penggunaan dana operasional dan dana cadangan ini tidak tersedia. Kolom financial statement di situs LMKN.id hanya menampilkan halaman kosong ketika diklik.
Bagaimana dengan Skema Creative Commons?
Pengamat musik, Wendi Putranto, menyarankan agar para pemilik bisnis atau tempat usaha mempertimbangkan penggunaan musik dengan lisensi creative commons sebagai alternatif.
“Untuk ambience di kafe atau backsound di lounge room, menurut saya [creative commons] solusi paling ideal. Karena dengan itu no copyright. Jadi enggak ada kewajiban untuk membayar performing royalty,” kata Wendi.
Kurator musik, Dimas Ario Adrianto, juga berpendapat bahwa lisensi creative commons bisa menjadi jalan tengah. Meskipun di Indonesia belum banyak tersedia bank lagu dengan lisensi ini, penggunaan creative commons tetap harus diperiksa izin eksplisitnya untuk penggunaan di ruang publik komersial.
Solusi lain adalah menggunakan lagu yang masuk ranah domain publik, yaitu komposisi lagu yang sudah tidak dilindungi hak cipta karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun lalu.
Ada juga musik stok yang bisa didapatkan dari penyedia seperti NoCopyrightSounds. “Tapi penggunaan komersil perlu isi form berbeda dan mungkin ada fee tambahan,” kata Dimas.
Dimas menekankan pentingnya pengakuan hak cipta atas karya. Persoalan royalti ini termasuk dalam hak ekonomi bagi para pencipta. Selain itu, ada juga hak moral sebagai bentuk penghormatan pada pencipta. Sayangnya, kesadaran ini seringkali terabaikan.
Ia mencontohkan tindakan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang menggunakan lagu band Perunggu dalam unggahannya, yang kemudian dipersoalkan oleh salah satu personel band tersebut. Partai Nasional Demokrat juga mendapat sorotan karena menggunakan lagu band .feast dalam unggahannya yang menampilkan pidato Anies Baswedan.
Penyanyi Dewi Gita menilai bahwa kurangnya edukasi mengenai apresiasi seni membuat pembayaran royalti dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan.
“Ini untuk menopang atau mendukung saja kayaknya susah banget karena rasa menghargai seni ini tidak tertanam. Jika itu tertanam, hal-hal seperti ini yang sekarang sedang ribut, tidak akan menjadi satu hal yang rumit.”
Padahal, pembayaran royalti atas hak cipta penggunaan musik di ruang publik adalah hal yang lazim di berbagai negara, mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, hingga Malaysia.
Kepatuhan di berbagai negara dipengaruhi oleh sosialisasi dan edukasi yang baik, sistem yang mudah, serta transparansi data dan keuangan.
Wendi mengingatkan bahwa pemahaman mengenai hak cipta seharusnya meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Apalagi, kini semakin banyak konten kreator yang seharusnya paham mengenai hak cipta atas karya.
“Jadi jangan sampai terjadi standar ganda juga. Ketika bikin konten di media sosial, di Youtube, dan sebagainya, peduli royalti. Tapi ketika menggunakan lagu, khususnya lagu yang hits yang copyrights tapi enggak mau bayar royalti. Alasannya bantu promosi,” ujar Wendi.
“Kalau lagunya udah hits, apa yang perlu dipromosikan? Itu kategorinya menggunakan karya,” sambungnya.
Dinda, seorang pengunjung kafe, berpendapat bahwa royalti penting untuk mendukung perkembangan industri musik Indonesia sekaligus meningkatkan kesejahteraan para musisi pencipta lagu.
“Sebenarnya saya baru tahu beberapa hari ini. Saya kurang tahu seberapa penting [pembayaran royalti], tapi mungkin untuk menghargai musik itu sendiri, pencipta lagunya, aku kira itu penting. Tetapi kebijakannya harus lebih detail, bagaimana mengaturnya, kafe-kafe seperti apa yang benar-benar dikenakan royalti,” ujar Dinda.
Apa Solusinya?
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kementerian Hukum, Agung Damar Sasongko, menegaskan bahwa setiap bentuk pemutaran musik di ruang publik oleh pelaku usaha wajib disertai pembayaran royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, berjanji akan mencari solusi agar para pelaku usaha tidak dirugikan dan para musisi tetap memperoleh haknya. Namun, hingga kini belum ada upaya nyata yang dilakukan.
LMKN bersama Kementerian Hukum dan HAM telah menggelar diskusi terkait revisi tarif royalti penggunaan lagu/musik di ruang publik pada tanggal 4-5 Agustus lalu.
Pengamat musik, Wendi Putranto, berpendapat bahwa pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi kekisruhan ini. Ia menilai bahwa saat ini para musisi, masyarakat, dan pelaku usaha seperti sedang dibenturkan.
“Karena saya melihat pemerintah masih menjadi penonton. Padahal seharusnya jadi regulator dan law enforcement di sini. Butuh political will untuk menjembatani ini,” pungkas Wendi.
*UU Hak Cipta: Musisi Indonesia terpecah menjadi dua kubu, bagaimana duduk perkaranya?
*Polemik lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ band Sukatani – Apakah ini akhir ‘pembungkaman’ kritik terhadap polisi?
*Hidup musisi memasuki dua tahun pandemi Covid, diselamatkan tabungan hingga jual alat
*Mengapa lagu Natal ‘All I Want for Christmas is You’ menjadi hit setiap tahun?
*Musisi Aceh yang karyanya dibredel militer di tengah konflik bersenjata – ‘Disangkakan kita jadi propaganda GAM’
*The Beatles rilis ‘lagu terakhir’ yang tertunda puluhan tahun