Rp200 Triliun Suntik Perbankan: Dampaknya Bagi Ekonomi RI?

Posted on

Injeksi Rp200 Triliun ke Perbankan: Solusi Jitu atau Sekadar Tambal Sulam?

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana penyuntikan dana sebesar Rp200 triliun ke bank-bank komersial. Langkah kontroversial ini, yang diambil dari total simpanan pemerintah Rp440 triliun di Bank Indonesia, bertujuan untuk menggenjot perekonomian nasional yang tengah lesu. Presiden Prabowo Subianto telah memberikan lampu hijau kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk melaksanakan kebijakan ini. Menkeu Purbaya menjelaskan mekanismenya serupa dengan penempatan deposito, memberikan akses cepat bagi pemerintah jika membutuhkan dana tersebut, sekaligus meningkatkan likuiditas perbankan.

Menurut Purbaya, dana ini akan meningkatkan jumlah uang tunai di bank, memudahkan penarikan deposito, tabungan, dan pemenuhan pinjaman jatuh tempo. Ia menegaskan bahwa dana tersebut tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SBRI), dua instrumen investasi yang selama ini dianggap aman dan menguntungkan bagi bank, namun dinilai kurang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi riil.

Pemerintah berharap, dengan likuiditas yang lebih tinggi, bank akan lebih bersemangat menyalurkan kredit, khususnya kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini diharapkan dapat menciptakan efek domino: peningkatan lapangan kerja dan belanja barang. Namun, kenyataannya, pertumbuhan kredit perbankan telah melambat, mencapai 7,03% secara tahunan pada Juli 2025, jauh lebih rendah dari 10,27% di Januari 2025. Ini mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat yang membuat minat meminjam kredit juga menurun.

Purbaya optimistis kebijakan ini tidak akan menyebabkan inflasi, mengingat pertumbuhan ekonomi saat ini sekitar 5% dan masih terdapat ruang pertumbuhan yang luas. Ia menggambarkan kebijakan ini sebagai “memberi bahan bakar supaya market mechanism berjalan”. Bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, BSI, dan Bank Syariah Nasional, yang tergabung dalam Himbara, akan menjadi penerima dana ini, mulai disalurkan pada 12 September 2025.

Namun, beberapa ekonom meragukan efektivitas kebijakan ini. Pengamat ekonomi dan perbankan, Doddy Ariefianto, menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) Indonesia masih berada pada level aman (86,4% pada Juli 2025), menunjukkan ketersediaan uang tunai di bank masih cukup. Persoalan utamanya bukan ketersediaan dana, tetapi lemahnya daya beli masyarakat yang menyebabkan rendahnya permintaan kredit, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut semakin memperkuat indikasi ini.

Doddy mengungkapkan kekhawatiran bahwa dana tersebut justru berpotensi digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah yang ambisius, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), dan hilirisasi, dengan risiko kredit macet yang akhirnya ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Skema serupa sebenarnya sudah berjalan, dengan penempatan Rp16 triliun untuk program KDMP yang dijamin oleh dana desa.

Yusuf Rendy Manilet dari CORE Institute mengingatkan potensi peningkatan inflasi jika dana tersebut tidak disalurkan secara produktif. Ia menekankan pentingnya aturan turunan yang mengatur penyaluran dana secara spesifik. Senada dengan Doddy dan Yusuf, sejumlah ekonom lain meragukan dampak signifikan kebijakan ini terhadap sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Mereka menyarankan agar pemerintah fokus pada penguatan fondasi ekonomi, seperti peningkatan keterampilan tenaga kerja, dukungan UMKM, dan pengembangan sektor-sektor baru.

Teuku Riefky dari Universitas Indonesia menganggap kebijakan ini berpotensi menjadi “misalokasi anggaran” jika tidak diimplementasikan sesuai tujuan awal. Ia juga menyoroti kurangnya studi dan penilaian dampak dari peraturan ini. Hal ini juga sejalan dengan “Tujuh Desakan Darurat Ekonomi” dari Aliansi Ekonom Indonesia, yang menyerukan perbaikan APBN, pemulihan independensi lembaga negara, hentikan dominasi negara, deregulasi birokrasi, reformasi kebijakan untuk mengurangi ketimpangan, kebijakan berbasis bukti, dan perbaikan institusi dan demokrasi.

Kesimpulannya, kebijakan injeksi Rp200 triliun ke perbankan masih menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan. Meskipun pemerintah bermaksud baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, efektivitasnya masih diragukan dan membutuhkan implementasi yang tepat sasaran serta pengawasan yang ketat untuk menghindari potensi risiko seperti inflasi dan misalokasi anggaran. Fokus pada perbaikan fondasi ekonomi dan pemberdayaan sektor riil tampaknya menjadi kunci yang lebih berkelanjutan dalam mengatasi permasalahan ekonomi saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *