‘Rumah bergetar keras, kami lari ke luar’ – Cerita WNI saat gempa 7,5 guncang Jepang

Posted on

Sedikitnya 30 orang terluka setelah gempa berkekuatan M 7,5 mengguncang wilayah timur laut Jepang pada Senin (8/12) malam, memaksa ribuan warga mengungsi. Seorang warga negara Indonesia (WNI) mengisahkan saat gempa terjadi.

Alka Hidaka adalah WNI yang tinggal di Hidaka di Prefektur Hokaido, salah-satu zona merah dalam gempa dan tsunami kali ini.

Saat gempa mengguncang, Alka mengaku tengah terlelap.

Namun, tiba-tiba rumahnya bergetar hebat, disusul peringatan gempa meraung keras dari ponsel pintarnya.

“Rumah bergetar keras,” ujar Alka saat dihubungi wartawan Arie Firdaus yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, lalu menirukan suara getaran: “Gedubrak… Gedubrak.”

Getaran itu dirasakan Alda sekitar 20 detik.

Kaget dengan goyangan itu, Alka bersama kedua WNI lain yang tinggal serumah sontak panik.

Mereka sempat melongok ke jendela, mengecek situasi.

Dalam kegelapan, ia sempat menyaksikan seseorang berlari menuju suatu titik.

Tanpa pikir panjang, ketiganya kemudian menyambar tas yang berisi paspor dan sejumlah uang.

“Kami lari bertiga ke luar [rumah],” ujar Alka yang bekerja di sektor konstruksi di Jepang.

Di luar rumah, Alka Cs kemudian diinstruksikan salah seorang warga Jepang untuk ikut menuju ke Balai Desa yang berada di ketinggian. Ia dan kedua rekan lain menuju balai menggunakan sepeda.

Balai Desa itu, disebut Alka merupakan tempat pengungsian yang sudah ditetapkan pemerintah jika ada kejadian gempa dan tsunami.

“Di sana sudah ramai. Ada yang panik juga,” kata Alka yang mengaku bahwa gempa kemarin merupakan gempa besar pertama yang pernah dialaminya selama menetap lebih dari dua tahun di Jepang.

Di Balai Desa, Alka ditemui salah seorang yang disebutnya “petugas balai desa”.

Petugas itu meminta sejumlah informasi seperti nama, tempat tinggal, dan nomor telepon. Setelah itu, mereka pun dipersilakan masuk.

Pria asal Subang, Jawa Barat, mengaku penanganan gempa yang dialaminya di Jepang sangat baik, seraya menambahkan bahwa ia belum pernah mengalami gempa besar saat berada di Indonesia.

Warga diminta waspada selama sepekan

Gempa terjadi pada pukul 23.15 waktu setempat dengan pusat gempa di kedalaman 50 kilometer yang berlokasi sekitar 80 kilometer dari lepas pantai Prefektur Aomori, demikian pernyataan Badan Meteorologi Jepang (JMA).

Peringatan tsunami sempat dikeluarkan, tapi kemudian dicabut.

Namun, gelombang setinggi 70 sentimeter sempat terpantau di sejumlah pesisir.

Gempa juga memaksa sejumlah layanan kereta dihentikan dan ribuan rumah mengalami pemadaman listrik akibat guncangan tersebut.

Sejumlah media lokal melaporkan, pejabat penanggulangan bencana memperingatkan kemungkinan terjadinya gempa yang lebih kuat dalam beberapa hari ke depan.

Warga juga diminta untuk tetap waspada setidaknya selama satu minggu ke depan.

‘Tidak ada WNI yang menjadi korban’

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo memperkirakan sekitar 1.000 warga negara Indonesia (WNI) bermukim di Prefektur Aomori.

Ada pula sekitar 1.500 WNI berada di wilayah Iwate dan sebanyak 8.000 orang di Hokkaido.

Kedua daerah ini masuk ke dalam zona merah gempa dan tsunami yang ditetapkan Pemerintah Jepang.

Beruntung, dalam data yang dikumpulkan hingga Selasa (9/12), KBRI Tokyo mencatat tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban gempa M 7,5 yang terjadi di lepas pantai prefektur tersebut.

Namun, KBRI Tokyo dalam keterangan tertulis meminta WNI “untuk tetap waspada terkait kemungkinan gempa susulan.”

Kewaspadaan itu, terang KBRI Tokyo, meliputi pembelajaran akan rute ekvakuasi, mempersiapkan tas darurat, dan menyiapkan dokumen penting serta uang tunai secukupnya.

“KBRI Tokyo telah menyampaikan imbauan kepada WNI di Jepang agar terus memantau situasi dan mengikuti instruksi yang disampaikan oleh otoritas resmi Jepang,” demikian pernyataan KBRI Tokyo, seraya meminta WNI menghubungi hotline KBRI Tokyo dalam keadaan darurat pada nomor +81-80-3506-8612 atau +81-80-4940-7419.

“Komunikasi kami lakukan dengan seluruh simpul-simpul masyarakat Indonesia di wilayah terdampak gempa sejak beberapa menit setelah terjadinya gempa. Alhamdulillah hingga Selasa, 9 Desember 2025, pukul 17.00 JST, situasi dan kondisi WNI aman,” lanjut KBRI Tokyo.

“Komunikasi dengan teman-teman WNI kami lakukan untuk mengetahui langsung kondisi terkini baik keadaan diri dan sekitar, hunian tempat mereka bermukim, akses jalur evakuasi ke tempat aman, dan ketersediaan makanan. Saat ini WNI di wilayah terdampak dilaporkan sudah kembali melakukan aktivitas seperti biasa.”

Bagaimana Jepang berupaya melindungi warganya saat bencana?

Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengeluarkan peringatan untuk wilayah Hokkaido dan Sanriku —yang mencakup pesisir Prefektur Aomori, Miyagi, dan Iwate— agar tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa yang lebih besar dalam beberapa hari ke depan.

Penerbitan peringatan seperti ini normal dilakukan ketika gempa bermagnitudo 7 atau lebih terjadi di suatu kawasan.

Hal itu ditempuh JMA lantaran peluang terjadinya gempa yang lebih besar meningkat signifikan tepat setelah guncangan kuat.

Dalam kondisi normal, kemungkinan terjadinya gempa besar berkekuatan lebih dari 8 hanya sekitar 0,1%.

Namun, angka itu berpotensi naik hingga 1% pada minggu pertama setelah sebuah gempa besar terjadi.

“Meski kita belum bisa memastikan apakah gempa besar benar-benar akan terjadi, [tapi] mohon ambil langkah-langkah pencegahan dengan prinsip bahwa keselamatan hidup Anda adalah tanggung jawab pribadi,” kata Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, dilansir dari The Japan Times.

Takaichi juga meminta warga di wilayah terdampak tetap menjalankan aktivitas sehari-hari.

Namun mereka diminta terus memantau informasi dari JMA dan otoritas lokal.

Mereka juga diminta meninjau kembali rencana evakuasi jika terjadi gempa yang lebih besar.

Berbicara kepada warga yang terdampak gempa, Sanae Takaichi meminta masyarakat untuk “mengecek kembali kesiapsiagaan sehari-hari, termasuk memastikan furnitur terpasang kuat, dan bersiap mengungsi segera jika merasakan guncangan.”

Menurut kantor berita Reuters, perintah evakuasi juga telah diterbitkan untuk sekitar 90.000 penduduk.

Pemerintah Prefektur Aomori melaporkan sekitar 2.700 rumah mengalami pemadaman listrik.

Sejauh ini, Pemerintah Jepang telah membentuk kantor respons darurat di pusat manajemen krisis perdana menteri dan menggelar tim tanggap darurat, kata Kepala Sekretaris Kabinet Minoru Kihara.

“Kami melakukan segala upaya untuk menilai kerusakan dan menjalankan langkah-langkah penanganan darurat, termasuk operasi penyelamatan dan bantuan,” ujar Kihara.

Sebuah tim riset pemerintah juga telah dikerahkan Perdana Menteri Sakachi ke Prefektur Aomori untuk menilai kerusakan akibat guncangan tersebut.

Sebuah gelombang “long-period ground motion”—gelombang seismik yang berlangsung lama dan dapat dirasakan jauh dari pusat gempa sebagai guncangan panjang dan lambat—memang terpantau saat gempa pada Senin malam.

Tingkat guncangan tertinggi yang tercatat adalah Level 3 di wilayah Sanpachi–Kamikita yang berada di selatan Aomori—sampai membuat warga kesulitan untuk tetap berdiri.

Bahkan di wilayah Kanto, termasuk sebagian Tokyo, Saitama, Chiba, Kanagawa, dan Ibaraki, terdeteksi level 1.

Pada level ini, sebagian besar orang di dalam ruangan merasakan guncangan dan benda-benda gantung seperti tirai dan jendela ikut bergoyang.

Dilansir dari The Asahi Shimbun, JMA dan Kantor Kabinet pada 9 Desember telah pula menerbitkan imbauan terkait potensi gempa susulan kepada 182 kota dan kabupaten di tujuh prefektur, terutama di sepanjang pesisir Pasifik dari Hokkaido hingga Chiba.

Imbauan tersebut meminta kewaspadaan lebih tinggi terhadap kemungkinan gempa dengan intensitas lower-6 atau lebih kuat, serta potensi tsunami setinggi 3 meter atau lebih.

Imbauan ini berlaku untuk satu minggu ke depan, hingga 16 Desember dini hari. Namun, imbauan itu tidak mewajibkan evakuasi dini secara menyeluruh.

Ini adalah pertama kalinya imbauan tersebut dikeluarkan sejak diperkenalkan pada Desember 2022.

“Sebagian orang mungkin bingung karena ini adalah imbauan pertama dari jenisnya, tetapi kami meminta semua pihak untuk tenang dan bersiap menghadapi kemungkinan gempa berikutnya,” ujar seorang pejabat Kantor Kabinet.

“Pada dasarnya, aktivitas sosial dan ekonomi tetap berjalan, jadi sekolah serta transportasi publik diharapkan beroperasi seperti biasa.”

Selain meminta waspada, pengumpulan data dan evakuasi pun dilakukan secara cepat.

Menteri Penanggulangan Bencana Jiro Akama mengatakan, hingga pukul 08.30 pada Selasa (09/12), sebanyak 35 orang sudah diungsikan ke 11 pusat evakuasi yang tersebar di Prefektur Aomori, Iwate, dan di Hokkaido—pulau utama paling utara Jepang.

Kementerian Infrastruktur Jepang melaporkan sekitar 1.360 rumah tangga tidak mendapat pasokan air hingga pukul 05.00 pada Selasa (09/12) di kota Hashikami dan Shichinohe yang berada di Prefektur Aomori serta Karumai di Prefektur Iwate.

East Japan Railway telah pula menghentikan operasional Tohoku Shinkansen dihentikan antara Stasiun Morioka dan Shin-Aomori sejak kereta pertama pada 9 Desember.

Layanan diperkirakan akan kembali pulih sekitar pukul 15.00 waktu setempat.

Di Prefektur Aomori, Kementerian Pendidikan juga segera menangguhkan kegiatan belajar mengajar di 139 sekolah negeri—mulai dari SD, SMP hingga SMA.

Guncangan dengan intensitas “lower 6” tercatat di kota Oirase dan Hashikami di Prefektur Aomori.

Ini merupakan pertama kalinya intensitas upper-6 tercatat di Prefektur Aomori, sejak peralatan pemantauan dipasang pada Oktober 1996.

Setelah guncangan terjadi, perusahaan listrik Tohoku Electric Power menyatakan tidak ada kejanggalan yang terdeteksi di pembangkit nuklir Higashidori dan Onagawa.

Dalam laporan otoritas Jepang kepada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), tidak ditemukan pula masalah di kompleks Pembangkit Nuklir Fukushima yang sudah tidak lagi beroperasi.

Pada 11 Maret 2011, pembangkit listrik Fukushima mengalami kerusakan akibat gempa bermagnitudo 9,0 mengguncang lepas pantai timur Jepang.

Gempa paling kuat yang pernah tercatat dalam sejarah Jepang itu kemudian memicu tsunami yang menerjang Pulau Honshu, menewaskan lebih dari 18.000 orang dan menghancurkan sejumlah kota.

Akrab dengan gempa

Jepang merupakan salah satu negara dengan aktivitas gempa paling tinggi di dunia karena terbentang di jalur Cincin Api Pasifik.

Negara itu mengalami sekitar 1.500 gempa setiap tahunnya.

Awal tahun ini, panel investigasi gempa Jepang memroyeksikan dalam 30 tahun ke depan sekitar 60-90 persen megagempa akan terjadi di Palung Nankai.

Dalam skenario terburuk, bencana tersebut dapat menyebabkan kerugian bernilai triliunan dan menewaskan ratusan ribu orang.

Gempa-gempa di sepanjang Palung Nankai—zona aktivitas seismik yang membentang di pesisir Pasifik Jepang—telah menyebabkan ribuan korban jiwa dalam sejarahnya.

Paling banyak dibaca:

  • Kisah imigran perempuan mencari kehidupan baru – ‘Kami diminta membayar dengan tubuh kami’
  • Pemerintah tolak bantuan asing, pemulihan wilayah terdampak banjir-longsor di Sumatra diprediksi butuh 30 tahun
  • Prabowo didesak tetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional – ‘Masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup’

Mungkin Anda tertarik:

  • Gempa Jepang begitu dahsyat, tapi mengapa jumlah korban terbilang minim?
  • Gempa dan tsunami Jepang – Cara masyarakat belajar dari gempa satu abad lalu
  • NASA membuat terobosan sistem peringatan dini tsunami
  • Gempa Jepang begitu dahsyat, tapi mengapa jumlah korban terbilang minim?
  • Gempa dan tsunami Jepang – Cara masyarakat belajar dari gempa satu abad lalu
  • Ratusan orang meninggal, puluhan WNI mengungsi akibat gempa Jepang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *